Minggu, 31 Juli 2011

Kisah Sahabat Nabi: Hudzaifah Ibnul Yaman, Pemegang Rahasia Rasulullah


Hudzaifah Ibnul Yaman lahir di rumah tangga Muslim, dipelihara dan dibesarkan dalam pangkuan kedua orang tuanya yang telah memeluk agama Allah, sebagai rombongan pertama.

Oleh sebab itu, Hudzaifah telah Islam sebelum dia bertemu muka dengan Rasulullah. Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, Hudzaifah selalu mendampingi beliau bagaikan seorang kekasih. Hudzaifah turut bersama-sama dalam setiap peperangan yang dipimpinnya, kecuali dalam Perang Badar.

Dalam Perang Uhud, Hudzaifah ikut memerangi kaum kafir bersama dengan ayahnya, Al-Yaman. Dalam perang itu, Hudzaifah mendapat cobaan besar. Dia pulang dengan selamat, tetapi bapaknya syahid oleh pedang kaum Muslimin sendiri, bukan kaum musyrikin. Kaum Muslimin tidak mengetahui jika Al-Yaman adalah bagian dari mereka, sehingga mereka membunuhnya dalam perang.

Rasulullah menilai dalam pribadi Hudzaifah Ibnul Yaman terdapat tiga keistimewaan yang menonjol. Pertama, cerdas, sehingga dia dapat meloloskan diri dalam situasi yang serba sulit. Kedua, cepat tanggap, berpikir cepat, tepat dan jitu, yang dapat dilakukannya setiap diperlukan. Ketiga, cermat memegang rahasia, dan berdisiplin tinggi, sehingga tidak seorang pun dapat mengorek yang dirahasiakannya.

Kesulitan terbesar yang dihadapi kaum Muslimin di Madinah ialah kehadiran kaum Yahudi munafik dan sekutu mereka, yang selalu membuat isu-isu dan muslihat jahat. Untuk menghadapi kesulitan ini, Rasulullah memercayakan suatu yang sangat rahasia kepada Hudzaifah Ibnul Yaman—dengan memberikan daftar nama orang munafik itu kepadanya. Itulah suatu rahasia yang tidak pernah bocor kepada siapa pun hingga sekarang.

Dengan memercayakan hal yang sangat rahasia itu, Rasulullah menugaskan Hudzaifah memonitor setiap gerak-gerik dan kegiatan mereka, untuk mencegah bahaya yang mungkin dilontarkan mereka terhadap Islam dan kaum Muslimin. Karena inilah, Hudzaifah Ibnul Yaman digelari oleh para sahabat dengan "Shahibu Sirri Rasulullah (Pemegang Rahasia Rasulullah).

Pada puncak Perang Khandaq, Rasulullah memerintahkan Hudzaifah melaksanakan suatu tugas yang amat berbahaya. Beliau mengutus Hudzaifah ke jantung pertahanan musuh, dalam kegelapan malam yang hitam pekat.

"Ada beberapa peristiwa yang dialami musuh. Pergilah engkau ke sana dengan sembunyi-sembunyi untuk mendapatkan data-data yang pasti. Dan laporkan kepadaku segera!" perintah beliau.

Hudzaifah pun bangun dan berangkat dengan takutan dan menahan dingin yang sangat menusuk. Maka, Rasulullah berdoa, "Ya Allah, lindungilah dia, dari depan, dari belakang, kanan, kiri, atas, dan dari bawah."

"Demi Allah, sesudah Rasulullah selesai berdoa, ketakutan yang menghantui dalam dadaku dan kedinginan yang menusuk-nusuk tubuhku hilang seketika, sehingga aku merasa segar dan perkasa," tutur Hudzaifah.

Tatkala ia memalingkan diri dari Rasulullah, beliau memanggilnya dan berkata, "Hai Hudzaifah, sekali-kali jangan melakukan tindakan yang mencurigakan mereka sampai tugasmu selesai, dan kembali kepadaku!"

"Saya siap, ya Rasulullah," jawab Hudzaifah.

Hudzaifah pun pergi dengan sembunyi-sembunyi dan hati-hati sekali, dalam kegelapan malam yang hitam kelam. Ia berhasil menyusup ke jantung pertahanan musuh dengan berlagak seolah-olah anggota pasukan mereka. Belum lama berada di tengah-tengah mereka, tiba-tiba terdengar Abu Sufyan memberi komando.

"Hai, pasukan Quraisy, dengarkan aku berbicara kepada kamu sekalian. Aku sangat khawatir, hendaknya pembicaraanku ini jangan sampai terdengar oleh Muhammad. Karena itu, telitilah lebih dahulu setiap orang yang berada di samping kalian masing-masing!"

Mendengar ucapan Abu Sufyan, Hudzaifah segera memegang tangan orang yang di sampingnya seraya bertanya, "Siapa kamu?"

Jawabnya, "Aku si Fulan, anak si Fulan."

Sesudah dirasanya aman, Abu Sufyan melanjutkan bicaranya, "Hai, pasukan Quraisy. Demi Tuhan, sesungguhnya kita tidak dapat bertahan di sini lebih lama lagi. Hewan-hewan kendaraan kita telah banyak yang mati. Bani Quraizhah berkhianat meninggalkan kita. Angin topan menyerang kita dengan ganas seperti kalian rasakan. Karena itu, berangkatlah kalian sekarang dan tinggalkan tempat ini. Sesungguhnya aku sendiri akan berangkat."

Selesai berkata demikian, Abu Sufyan kemudian mendekati untanya, melepaskan tali penambat, lalu dinaiki dan dipukulnya. Unta itu bangun dan Abu Sufyan langsung berangkat. Seandainya Rasulullah tidak melarangnya melakukan suatu tindakan di luar perintah sebelum datang melapor kepada beliau, tentu ia akan membunuh Abu Sufyan dengan pedangnya.

Hudzaifah Ibnul Yaman sangat cermat dan teguh memegang segala rahasia mengenai orang-orang munafik selama hidupnya, sampai kepada seorang khalifah sekali pun. Bahkan Khalifah Umar bin Khathtab, jika ada orang Muslim yang meninggal, dia bertanya, "Apakah Hudzaifah turut menyalatkan jenazah orang itu?" Jika mereka menjawab, "Ada," Umar turut menyalatkannya.

Suatu ketika, Khalifah Umar pernah bertanya kepada Hudzaifah dengan cerdik, "Adakah di antara pegawai-pegawaiku orang munafik?"

"Ada seorang," jawab Hudzaifah.

"Tolong tunjukkan kepadaku siapa?" kata Umar.

Hudzaifah menjawab, "Maaf Khalifah, saya dilarang Rasulullah mengatakannya."

Walau demikian, amat sedikit orang yang mengetahui bahwa Hudzaifah Ibnul Yaman sesungguhnya adalah pahlawan penakluk Nahawand, Dainawar, Hamadzan, dan Rai. Dia membebaskan kota-kota tersebut bagi kaum Muslimin dari genggaman kekuasaan Persia. Hudzaifah juga termasuk tokoh yang memprakarsai keseragaman mushaf Alquran, sesudah kitabullah itu beraneka ragam coraknya di tangan kaum Muslimin.

Ketika Hudzaifah sakit keras menjelang ajalnya tiba, beberapa orang sahabat datang mengunjunginya pada tengah malam. Hudzaifah bertanya kepada mereka,"Pukul berapa sekarang?"

Mereka menjawab, "Sudah dekat Subuh."

Hudzaifah berkata, "Aku berlindung kepada Allah dari Subuh yang menyebabkan aku masuk neraka."

Ia bertanya kembali, "Adakah kalian membawa kafan?"

Mereka menjawab, "Ada."

Hudzaifah berkata, "Tidak perlu kafan yang mahal. Jika diriku baik dalam penilaian Allah, Dia akan menggantinya untukku dengan kafan yang lebih baik. Dan jika aku tidak baik dalam pandangan Allah, Dia akan menanggalkan kafan itu dari tubuhku."

Sesudah itu dia berdoa kepada Allah, "Ya Allah, sesungguhnya Engkau tahu, aku lebih suka fakir daripada kaya, aku lebih suka sederhana daripada mewah, aku lebih suka mati daripada hidup."

Sesudah berdoa demikian, ruhnya pun pergi menghadap Ilahi. Seorang kekasih Allah kembali kepada Allah dalam kerinduan. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya.

sumber : republika.co.id

Wanita-Wanita Teladan: Zainab binti Abu Salamah, Wanita Ahli Fiqih


Nama lengkapnya Zainab binti Abu Salamah Al-Makhzumiyah. Ia adalah seorang wanita yang menguasai hadits dan fiqih. Bahkan termasuk salah seorang yang paling menguasai fiqih pada zamannya di Madinah.

Dia meriwayatkan sekitar tujuh hadits Rasulullah SAW. Beberapa orang juga meriwayatkan hadits darinya, seperti Abu Ubaidah bin Abdullah bin Zam’ah, Muhammad bin Atha, Urak bin Malik, Hamid bin Nafi’, Urwah bin Zubair, Abu Salamah bin Abdurrahman, dan Zainal Abidin Ali bin Husein.

Ketika anak-anak Zainab binti Abu Salamah terbunuh, Hasan pernah berkata, "Demi Allah, tidak selamat seorang pun diantara mereka dan sungguh telah terbunuh dua anak Zainab binti Abu Salamah, sedangkan dia (Zainab) merupakan anak yang pernah diasuh Rasulullah SAW."

Ketika jenazah kedua anaknya didatangkan di hadapannya. Zainab berkata, "Demi Allah, sesungguhnya musibah pada kalian berdua sungguh amat besar. Padahal kehilangan salah seorang dari mereka berdua sudah merupakan kejadian besar."

Hasan memberikan isyarat pada yang lain, dan merasa tidak tenang. "Zainab kemudian duduk di rumahnya. Aku hanya berharap agar rahmat tercurah padanya," kata Hasan.

Zainab meninggal dunia pada tahun 73 Hijriyah.

sumber : republika.co.id

Sejarah Hidup Muhammad SAW: Menjelang Penaklukan Makkah


Abu Sufyan kembali ke Makkah dan melaporkan segala yang dialaminya selama di Madinah serta perlindungan yang dimintanya dari masyarakat atas saran Ali, dan bahwa Rasulullah belum memberikan persetujuannya.

"Sial!" kata mereka. "Orang itu lebih-lebih lagi mempermainkan kau."

Lalu mereka kembali lagi mengadakan perundingan. Sebaliknya, Rasulullah berpendapat tidak akan memberikan kesempatan mereka mengadakan persiapan untuk memerangi kaum Muslimin. Beliau percaya pada kekuatan sendiri dan pada pertolongan Allah. Rasulullah berharap dapat menyergap mereka dengan tiba-tiba, sehingga mereka tidak sempat lagi mengadakan perlawanan. Dan dengan demikian mereka menyerah tanpa pertumpahan darah.

Oleh karena itu, beliau memerintahkan kaum Muslimin untuk bersiap-siap. Dan setelah persiapan selesai, Rasulullah memberitahukan kepada mereka, bahwa waktunya berangkat ke Makkah telah tiba. Beliau memerintahkan mereka segera berkemas. Saat itu pula, beliau berdoa kepada Allah, mudah-mudahan Quraisy tidak sampai mengetahui berita perjalanan ini.

Ketika tentara Muslimin sudah siap-siap akan berangkat, Hatib bin Abi Balta'ah mengirim sepucuk surat lewat seorang wanita dari Makkah, budak salah seorang Bani Abdul Muthalib bernama Sarah. Ia diberi upah supaya surat itu disampaikan kepada pihak Quraisy, yang isinya memberitahukan bahwa Rasulullah sedang mengadakan persiapan hendak menghadapi mereka.

Sebenarnya Hatib orang besar dalam Islam. Tapi sebagai manusia, dari segi kejiwaannya, ia mempunyai beberapa kelemahan, yang kadang cukup menekan jiwanya sendiri. Masalah ini diketahui oleh Rasulullah SAW.

Beliau segera menyuruh Ali bin Abi Thalib dan Zubair bin Awwam untuk mengejar Sarah. Wanita itu disuruh turun, surat dicarinya di tempat barang tapi tidak juga diketemukan. Wanita itu diperingatkan, bahwa kalau surat itu tidak dikeluarkan,
merekalah yang akan membongkarnya. Melihat keadaan yang begitu sungguh-sungguh, wanita itu pun mengalah.

Ia membuka ikatan rambutnya dan surat itu pun dikeluarkannya. Ali dan Zubair membawanya kembali ke Madinah. Hatib pun dipanggil oleh Rasulullah dan ditanya kenapa ia tega berbuat demikian.

"Rasulullah," kata Hatib. "Demi Allah, saya tetap beriman kepada Allah dan kepada Rasulullah. Sedikit pun tak ada perubahan pada diri saya. Akan tetapi saya, yang tidak punya hubungan keluarga atau kerabat dengan mereka itu, mempunyai seorang anak dan keluarga di tengah-tengah mereka. Maka itu sebabnya saya hendak membantu mereka."

"Wahai Rasulullah," sela Umar bin Khathab. "Serahkan kepada saya, akan saya penggal lehernya. Orang ini bermuka dua."

"Dari mana engkau mengetahui itu, wahai Umar?" tanya Rasulullah. "Jika Allah sudah menempatkan dia sebagai orang-orang Badar ketika terjadi Perang Badr."

Rasulullah kemudian berkata kepada Hatib, "Berbuatlah sekehendakmu. Kau sudah kumaafkan."

Dan Hatib memang orang yang ikut dalam Perang Badar. Saat itulah firman Allah turun: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus." (QS Al-Mumtahanah: 1)

Kini pasukan Muslimin sudah mulai bergerak dari Madinah menuju Makkah, dengan tujuan membebaskan kota itu serta menguasai Rumah Suci, yang oleh Allah telah dijadikan tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman.

Pasukan ini bergerak dalam suatu jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya di Madinah. Mereka terdiri dan kabilah-kabilah Sulaim, Muzainah, Ghatafan dan yang lain. Mereka menggabungkan diri, baik kepada Muhajirin atau pun kepada Anshar. Mereka berangkat bersama-sama dengan mengenakan baju perang.

Mereka melingkar ke tengah-tengah padang sahara yang membentang luas itu, sehingga ketika kemah-kemah mereka sudah dikembangkan, semuanya tertutup debu dan pasir sahara. Sehingga orang takkan dapat melihatnya. Mereka yang terdiri dari ribuan orang itu bergerak cepat. Setiap mereka melangkah maju, kabilah-kabilah lain ikut menggabungkan diri, yang menambah jumlah dan kekuatan mereka.

Semuanya berangkat dengan kalbu yang penuh iman, bahwa dengan pertolongan Allah mereka akan mendapat kemenangan. Perjalanan ini dipimpin oleh Rasulullah SAW dengan pikiran dan perhatian hanya tertuju untuk memasuki Rumah Suci tanpa pertumpahan darah setetes setetes pun.

Ketika pasukan ini sampai di Mar Az-Zahran—suatu tempat dekat Makkah—jumlah anggota pasukan sudah mencapai 10.000 orang, sementara pihak Quraisy belum juga mendapat berita. Mereka masih dalam ribut sendiri, bagaimana caranya menangkis serangan Rasulullah dan kaum Muslimin.

sumber : republika.co.id

Para Perawi Hadits: Imam Bukhari, Perawi Hadits yang Utama


Nama sebenarnya adalah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim dijuluki Al-Mughirah bin Bardizbah. Namun ia dikenal dengan sebutan Imam Bukhari. Ia lahir di Bukhara pada tahun 194 H.

Semua ulama, baik dari gurunya maupun dari sahabatnya memuji dan mengakui ketinggian ilmunya. Ia seorang Imam yang tidak tercela hapalan haditsnya dan kecermatannya. Bukhari mulai menghapal hadits ketika umurnya belum mencapai 10 tahun. Ia mencatat lebih dari seribu guru, hapal 100.000 hadits shahih dan 200.000 hadits tidak shahih.

Karyanya yang amat masyhur di dunia Islam adalah "Al-Jami’us Shahih Al-Musnad min Haditsi Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamihi" yang kemudian terkenal dengan nama kitab "Shahih Al-Bukhari". Kata “Bukhari” sendiri maknanya adalah orang dari negeri Bukhara. Jadi kalau dikatakan "Imam Bukhari", maknanya ialah seorang tokoh dari negeri Bukhara.

Bukhari lahir pada hari Jum’at, 13 Syawal 194 H di tengah-tengah keluarga yang mencintai ilmu sunnah Nabi Muhammad SAW. Ayahnya, Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah, adalah seorang ulama ahli hadits yang meriwayatkan hadits-hadits Nabi dari Imam Malik bin Anas, Hammad bin Zaid, dan sempat pula berpegang tangan dengan Abdullah bin Mubarak. Riwayat-riwayat Ismail bin Ibrahim tentang hadits Nabi tersebar di kalangan orang-orang Irak.

Ayah Bukhari meninggal dunia ketika ia masih kecil. Di saat menjelang wafatnya, Ismail bin Ibrahim sempat membesarkan hati anaknya yang masih kecil sembari berpesan, "Aku tidak mendapati pada hartaku satu dirham pun dari harta yang haram atau satu dirham pun dari harta yang syubhat."

Tentu anak yang ditumbuhkan dari harta yang bersih dari perkara haram atau syubhat akan lebih baik dan mudah dididik kepada yang baik. Sehingga sejak wafatnya sang ayah, Bukhari hidup sebagai anak yatim dalam dekapan kasih sayang ibunya.

Muhammad bin Ismail atau Bukhari kecil mendapat perhatian penuh dari ibunya. Sejak usia belia ia telah hapal Alquran dan tentunya belajar membaca dan menulis. Kemudian pada usia sepuluh tahun, Bukhari mulai bersemangat mendatangi majelis-majelis ilmu hadits yang tersebar di berbagai tempat di negeri Bukhara.

Pada usia sebelas tahun, dia sudah mampu menegur seorang guru ilmu hadits yang salah dalam menyampaikan urut-urutan periwayatan hadits (yang disebut sanad). Masa kanak-kanaknya dihabiskan dalam kegiatan menghapal ilmu dan memahaminya sehingga ketika menginjak usia remaja (enam belas tahun), ia telah hapal kitab-kitab karya imam-imam ahli hadits dari kalangan tabi’it tabi’in (generasi ketiga umat Islam), seperti karya Abdullah bin Mubarak, Waqi’ bin Jarrah, dan memahami betul kitab-kitab tersebut.

Di awal usianya yang ke-18, Bukhari diajak ibunya bersama kakaknya yang bernama Ahmad bin Ismail berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Sesampainya di Makkah, Bukhari mendapati Kota Suci itu penuh dengan ulama ahli hadits yang membuka halaqah-halaqah ilmu. Tentu saja kondisi ini semakin menggembirakan hatinya. Oleh karena itu, setelah selesai pelaksanaan ibadah haji, ia tetap tinggal di Makkah sementara kakak kandungnya kembali ke Bukhara bersama ibunya.

Ia pergi bolak-balik antara Makkah dan Madinah, kemudian akhirnya mulai menulis biografi para tokoh. Sehingga lahirlah untuk pertama kalinya karya tulis dalam bidang ilmu hadits yang berjudul "Kitabut Tarikh". Ketika kitab karyanya ini mulai tersebar ke seluruh penjuru dunia Islam, khalayak ramai mulai memperbincangkan tokoh ilmu hadits tersebut dan semua orang amat mengaguminya.

Imam Bukhari pun akhirnya terkenal di berbagai negeri Islam. Ketika ia berkeliling ke berbagai penjuru negeri, para ulama ahli hadits menghormatinya. Bukhari berkeliling ke berbagai negeri pusat-pusat ilmu hadits seperti Mesir, Syam, Baghdad (Irak), Bashrah, Kufah dan lain-lainnya.

Di saat berkeliling ke berbagai negeri itu, pada suatu hari, ia duduk di majelisnya Ishaq bin Rahuyah. Di sana ada satu saran dari hadirin untuk kiranya ada upaya mengumpulkan hadits-hadits Nabi dalam satu kitab. Dengan usul ini mulailah Bukhari menulis kitab shahihnya dan kitab tersebut baru selesai dalam tempo enam belas tahun sesudah itu.

Ia menuliskan dalam kitab ini hadits-hadits yang diyakininya shahih setelah menyaring dan meneliti enam ratus ribu hadits. Dan seluruhnya dikumpulkan dalam Kitab Shahih-nya—yang kemudian terkenal dengan nama kitab Shahih Al-Bukhari. Kitab ini pun mendapat pujian dan sanjungan dari berbagai pihak di seantero negeri-negeri Islam. Sehingga ketokohannya dalam ilmu hadits semakin diakui kalangan luas di dunia Islam. Para imam-imam ahli hadits sangat memuliakannya, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ali bin Al-Madini, Yahya bin Ma`in dan lain-lainnya.

Karya-karya Bukhari dalam bidang hadits terus mengalir dan beredar di dunia Islam. Kepiawaiannya dalam menyampaikan keterangan tentang berbagai kerumitan di seputar ilmu hadits di berbagai majelis ilmu bersinar cemerlang. Tak heran jika majelis-majelis ilmu Imam Bukhari selalu dijejali ribuan para penuntut ilmu.

Dan bila ia memasuki suatu negeri, puluhan ribu bahkan ratusan ribu kaum Muslimin menyambutnya di perbatasan kota karena beberapa hari sebelum kedatangannya, telah tersebar berita akan datangnya imam ahli hadits. Kaum Muslimin pun berjejalan di pinggir jalan yang akan dilewatinya, hanya untuk sekedar melihat wajahnya atau kalau bernasib baik, kiranya dapat bersalaman dengannya.

Ketika akan kembali ke tanah kelahirannya di Bukhara, penduduk setempat melakukan berbagai persiapan untuk menyambutnya di pintu kota. Bahkan warga membangun gapura penyambutan di tempat yang berjarak satu farsakh (kurang lebih 5 kilometer) sebelum masuk kota Bukhara.

Dan ketika Imam Bukhari sampai di gapura “selamat datang” tersebut, ia mendapati hampir seluruh penduduk negeri Bukhara menyambutnya dengan penuh suka cita. Sampai-sampai disebutkan bahwa penduduk melemparkan kepingan emas dan perak di jalan yang akan diinjak oleh telapak kaki Bukhari. Mereka berdiri di kedua sisi jalan masuk kota Bukhara sambil berebut memberikan buah anggur yang istimewa kepada sang Imam Ahlul Hadits yang amat mereka cintai itu.

Tetapi suka cita penduduk negeri Bukhara ini tidak berlangsung lama. Beberapa hari setelah itu, para ahli fikih mulai resah dengan beberapa perubahan pada cara beribadah orang-orang Bukhara. Yang berlaku di negeri tersebut adalah madzhab Hanafi, sedangkan Bukhari mengajarkan hadits sesuai dengan pengertian ahli hadits yang tidak terikat dengan madzhab tertentu. Sehingga yang nampak pada masyarakat ialah sikap-sikap yang diajarkan oleh Ahli Hadits, dan bukan pengamalan madzhab Hanafi.

Dengan berbagai perubahan ini keresahan para ulama fiqih tambah menjadi-jadi sehingga tokoh ulama fiqih di negeri tersebut yang bernama Huraits bin Abi Wuraiqa’ menganggap Imam Bukhari sebagai seorang pengacau yang akan merusak kehidupan keagamaan di kota itu. Maka Huraits dan kawan-kawannya mulai memengaruhi Gubernur Bukhara, Khalid bin Ahmad As-Sadusi Adz-Dzuhli, agar mengusir Imam Bukhari ini.

Gubernur Khalid pernah meminta Bukhari datang ke istananya untuk mengajarkan kitab At-Tarikh dan Shahih Al-Bukhari bagi anak-anaknya. Namun Imam Bukhari menolak permintaan gubernur tersebut. "Aku tidak akan menghinakan ilmu ini dan aku tidak akan membawa ilmu ini dari pintu ke pintu. Oleh karena itu bila anda memerlukan ilmu ini, maka hendaknya anda datang saja ke masjidku atau ke rumahku. Bila sikapku yang demikian ini tidak menyenangkanmu, engkau adalah penguasa. Silakan engkau melarang aku untuk membuka majelis ilmu ini agar aku punya alasan di sisi Allah di hari kiamat, bahwa aku tidaklah menyembunyikan ilmu (tetapi dilarang oleh penguasa untuk menyampaikannya)," ujarnya.

Tentu saja gubernur Khalid sangat kecewa dengan jawaban ini. Maka berkumpullah padanya hasutan Huraits bin Abil Wuraiqa’ dan kawan-kawan serta kekecewaan pribadinya. Gubernur Khalid akhirnya mengusir Imam Bukhari dengan paksa.

Bukhari meninggalkan Bukhara dengan penuh kekecewaan dan dilepas penduduk dengan penuh kepiluan. Ia berjalan menuju Desa Bikanda kemudian berjalan lagi ke desa Khartanka, yang keduanya adalah desa-desa negeri Samarkand. Di desa terakhir inilah ia jatuh sakit dan dirawat di rumah salah seorang kerabatnya di desa itu.

Dalam suasana hati yang terluka, tubuhnya yang kurus kering di usia ke-62 tahun, Bukhari berdoa mengadukan segala kepedihannya kepada Allah. "Ya Allah, bumi serasa sempit bagiku. Tolonglah ya Allah, Engkau panggil aku keharibaan-Mu."

Dan sesaat setelah itu, ia pun menghembuskan nafas terakhir. Ia wafat pada malam Sabtu di malam hari Raya Idul Fitri 1 Syawwal 256 H. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, ia sempat berwasiat agar mayatnya nanti dikafani dengan tiga lapis kain kafan tanpa imamah (ikat kepala). Ia juga berwasiat agar kain kafannya berwarna putih.

Semua wasiat itu dilaksanakan dengan baik oleh kerabat yang merawat jenasahnya. Imam Bukhari dikuburkan di desa itu di hari Idul Fitri 1 Syawal 256 H, setelah shalat Dzuhur.

Kamis, 28 Juli 2011

Saat Bertugas di Perang Teluk, Abdal Malik Rezeski Terkesan Kesalehan dan Sikap Rendah Hati Muslim


Ia adalah warga New York kelas menengah sekaligus perwira dalam Angkatan Darat Amerika Serikat (AS). Pada 1991 ia dengan senang hati bergabung melayani negara dalam tugas di Perang Teluk I.

Tahun berikut ia dikirim ke Pakistan, dimana ia bertemu orang saleh dan terkesan dengan mereka. "Mereka baik, orang-orang rendah hati yang mencoba menjalankan ibadah dengan taat," tuturnya.

Ia mulai belajar Islam pertama karena didorong oleh rasa ingin tahu, lalu keluar dari keyakinan. Tepat di akhir tahun, ia menjadi seorang Muslim.

"Ayah saya seorang Yahudi, ibu saya Kristiani," tutur Abdal Malik Rezeski yang tinggal di Dallas. "Islam adalah agama pertama yang masuk akal bagi saya."

Islam adalah salah satu agama yang tumbuh cepat di Amerika. Salah satu penyebab adalah pertambahan imigran dan angka kelahiran yang tinggi di kalangan mereka. Namun seiring waktu, justru lebih banyak warga asli Amerika yang beralih ke Islam.

Mereka tertarik dengan aturan moral ketat yang diusung Islam, sistem keyakinan yang sebenarnya serupa dengan Yudaisme dan Nasrani. Kemiripan itu, menurut ulama, memudahkan langkah-langkah untuk mempraktekan dan beralih ke Islam.

"Pesan langsung mengenai Tuhan, jauh lebih mudah dipahami ketimbang konsep Trinitas, ujar Jane Smith, seorang pakar studi Islam di Hartford Seminary.

Mayoritas warga Amerika yan beralih, 64 persen adalah Afrika-Amerika, demikian menurut The Mosque Report, sebuah kajian nasional yang dilakukan empat organisasi Muslim. Salah satunya adalah Share Muhammed, 48, yang sejak kecil rajin mendatangi gereja kulit hitam.

"Yang langsung menarik perhatian saya dari Islam adalah saya tidak melihat rasisme," ujarnya. Di masjid, wanita itu mengaku bertemu dengan banyak imigran dari penjuru dunia dan kemajemukan Amerika.

Sekitar 6 juta Muslim tinggal Amerika Serikat. The Mosque Report memperkirakan sekitar 30 persen jamaah adalah mualaf.

Namun tak seorang pun tak pasti berapa mualaf di sana karena Muslim tidak mencatat informasi itu. Mereka mengatakan hal itu juga cukup sulit karena orang kerap beralih memeluk Islam tanpa keterlibatan masjid.

"Bagi Muslim, itu adalah antara diri anda dan Tuhan," ujar seorang pakar sosiologi agama, Dr. Behrooz Ghamari-Tabrizi, di Georgia State University. "Sementara dalam Yahudi dan Kristen, anda harus mengikuti ritual formal."

Seperti yang dialami Rezeksi, di hari ia memutuskan memeluk Islam, ia mencari teman-teman Pakistannya. Dengan keberadaan mereka ia mengucapkan dua kalimat syahadt. "Tiada Tuhan selain Allah (swt) dan Muhammad adalah rasul-Nya."

Begitu mengkaji Al Qur'an, kitab suci Muslim, ia mengaku kian tertarik lebih dalam dengan agama tersebut.

"Dengan Islam saya bisa melihat ramuan bagaimana agar berhasil menjalani kehidupan saat ini dan kehidupan masa nanti." ujarnya. "Tidak hanya panduan praktikal mengenai perceraian dan bagaimana memperlakukan anak yatim, tetapi juga petunjuk spiritual yang memaparkan apa Tuhan itu dan bagaimana kita seharusnya berhubungan dengan-Nya."

sumber : republika.co.id

Rabu, 27 Juli 2011

Sejarah Hidup Muhammad SAW: Pengkhianatan Quraiys pada Hudaibiyah


Malam itu pihak Khuza'ah sedang berada di tempat pangkalan air milik mereka sendiri yang bernama Al-Watir, oleh pihak Bani Bakar mereka diserang dengan tiba-tiba dan beberapa orang dari pihak Khuza'ah dibunuh.

Pihak Khuza'ah lari ke Makkah, berlindung kepada keluarga Budail bin Waraqah, dengan mengadukan perbuatan Quraisy dan Bani Bakar yang telah melanggar perjanjian dengan Rasulullah itu.

Untuk itu Amr bin Salim dari Khuza'ah cepat-cepat pula pergi ke Madinah. Dan ketika menghadap Rasulullah yang saat itu sedang berada di masjid dengan beberapa orang, diceritakannya apa yang telah terjadi itu dan ia meminta pertolongan beliau.

"Amr bin Salim, engkau mesti dibela," kata Rasulullah.

Setelah itu, Budail bin Waraqah dan beberapa orang dari pihak Khuza'ah kemudian berangkat pula ke Madinah. Mereka melaporkan kepada Nabi tentang nasib yang mereka alami serta adanya dukungan Quraisy kepada Bani Bakar.

Melihat apa yang telah dilakukan Quraisy dengan merusak perjanjian itu, maka tak ada jalan lain menurut Nabi, Makkah harus dibebaskan. Untuk itu, beliau bermaksud mengutus orang kepada kaum Muslimin di seluruh jazirah supaya bersiap-siap menantikan panggilan yang belum mereka ketahui apa tujuannya.

Sebaliknya orang-orang yang dapat berpikir lebih bijaksana di kalangan Quraisy, mereka sudah dapat menduga bahaya apa yang akan timbul akibat tindakan Ikrimah dan kawan-kawannya dari kalangan pemuda itu.

Kini Perjanjian Hudaibiyah sudah dilanggar, dan pengaruh Rasulullah di seluruh jazirah kini bertambah kuat. Sekiranya apa yang telah terjadi itu dipikirkan, bahwa pihak Khuza'ah akan menuntut balas terhadap penduduk Makkah, pasti Kota Suci itu akan terancam bahaya. Jadi apa yang harus mereka lakukan sekarang?

Mereka mengutus Abu Sufyan ke Madinah, dengan maksud supaya persetujuan itu diperkuat kembali dan diperpanjang waktunya. Barangkali waktu yang sudah lewat itu berlaku untuk dua tahun, sekarang mereka mau supaya menjadi sepuluh tahun.

Abu Sufyan, sebagai pemimpin mereka dan sebagai orang yang bijaksana di kalangan mereka kini berangkat menuju Madinah. Ketika sampai di Usfan dalam perjalanannya itu, ia bertemu dengan Budail bin Waraqah dan rombongannya. Ia khawatir Budail sudah menemui Rasulullah dan melaporkan apa yang telah terjadi.

Hal ini akan lebih mempersulit tugasnya. Tetapi Budail membantah bahwa dirinya telah menemui Rasulullah. Sungguhpun demikian, dari kotoran binatang tunggangan Budail itu, ia mengetahui bahwa orang itu memang dari Madinah. Oleh karena itulah, Abu Sufyan tidak akan langsung menemui Rasulullah lebih dulu, melainkan menuju rumah putrinya—Ummu Habibah, istri Nabi.

Ketika Abu Sufyan akan duduk di alas yang biasa diduduki Nabi, Ummu Habibah langsung melipatnya. Ayahnya bertanya, "Kenapa kau lakukan itu, putriku? Apakah kau lebih sayang tikar itu ataukah ayahmu?"

Ummu Habibah menjawab, "Ini alas Rasulullah SAW. Ayah adalah orang musyrik
yang kotor. Aku tidak ingin ayah duduk di tempat itu."

"Sungguh engkau akan mendapat celaka, anakku," kata Abu Sufyan, lalu keluar sambil menahan amarah.

Setelah itu, ia pergi menemui Rasulullah, berbicara mengenai perjanjian serta perpanjangan waktunya. Namun Nabi SAW tidak memberikan jawaban sama sekali. Selanjutnya, ia pergi menemui Abu Bakar supaya membicarakan maksudnya itu dengan Nabi. Tetapi Abu Bakar juga menolak.

Kini ia menemui Umar bin Khathab, tapi Al-Faruq malah memberikan jawaban yang cukup keras, "Aku menjadi perantaramu kepada Rasulullah? Sungguh, kalau yang ada padaku hanya remah, pasti dengan itu pun akan kulawan engkau."

Seterusnya ia menemui Ali bin Abi Talib dan Fatimah ada di tempat itu. Dikemukakannya maksud kedatangannya dan dimintanya supaya Ali menjadi perantaranya kepada Rasulullah. Tetapi Ali mengatakan dengan lemah-lembut bahwa tak ada orang yang akan dapat menyuruh Rasulullah menarik kembali sesuatu yang sudah menjadi keputusannya.

Tak putus asa, Abu Sufyan—utusan Quraisy itu—meminta pertolongan Fatimah supaya Hasan—putranya—berusaha memintakan perlindungan di kalangan khalayak ramai.

"Tak ada orang akan berbuat demikian dengan maksud akan dihadapkan kepada Rasulullah," jawab Fatimah.

Keadaan makin gawat buat Abu Sufyan. Ia meminta pendapat Ali. "Sungguh aku tidak tahu, apa yang kiranya akan berguna buatmu," kata Ali. "Tetapi engkau pemimpin Bani Kinanah. Cobalah minta perlindungan kepada orang ramai, sesudah itu, pulanglah ke negerimu! Aku kira ini tidak cukup memuaskan. Tapi hanya itu yang dapat kuusulkan padamu."

Abu Sufyan kemudian pergi ke masjid dan di sana ia mengumumkan bahwa ia sudah meminta perlindungan khalayak ramai. Kemudian ia menaiki untanya dan pulang ke Makkah dengan membawa perasaan kecewa, karena kehinaan yang ia dapatkan dari anaknya sendiri dan orang-orang—kaum Muhajirin—yang pernah mengharap belas-kasihannya.

sumber : republika.co.id

Wanita-Wanita Teladan: Zainab binti Ali, Sang Pembela Saudara


Ia adalah eorang wanita mulia yang mempunyai logika berpikir yang jernih, banyak ide, fasih dan juga menguasai ilmu bahasa.

Zainab binti Ali bin Abi Thalib adalah cucu pertama Rasulullah SAW dari putrinya, Fatimah Az-Zahra. Dia terkenal karena keberanian dan dukungannya terhadap Husain, kakaknya yang syahid di medan Karbala. Ia juga melindungi seluruh keluarga Husain beberapa bulan setelahnya, ketika mereka dipenjara oleh dinasti Umayyah.

Zainab dilahirkan sebelum kakeknya, Rasulullah SAW wafat. Sekitar lima tahun sebelum Rasulullah menghadap Ilahi.

Dia adalah anak ketiga pasangan Ali dan Fatimah—setelah Hasan dan Husain—dengan jarak kelahiran sekitar satu tahun antara setiap anak. Kelahirannya diikuti oleh saudara perempuannya, Ummu Kultsum.

Zainab menikah dengan anak pamannya atau sepupunya, Abdullah bin Ja’far. Dia melahirkan beberapa orang anak seperti Muhammad, Ali, Abbas, Ummi Kultsum dan ‘Aunal Akbar. Dia juga sering menceritakan tentang ibunya, Fatimah binti Muhammad SAW dan Asma binti Umais.

Zainab juga meriwayatkan beberapa hadits. Beberapa orang juga meriwayatkan hadits yang berasal darinya, seperti Muhammad bin Amru, Atha bin As-saib, dan Fathimah binti Husain bin Ali.

Di antara beberapa perkataan Zainab yang dikenal adalah, "Barangsiapa yang menginginkan makhluk menjadi syafaat (mediator) baginya menuju keridhaan Allah, maka hendaklah dia sering-sering memuji Allah (dengan ucapan alhamdulillah). Tidakkah kau mendengar perkataan mereka 'sami'a Allahu liman hamidah' (Allah Maha Mendengar orang yang memuji-Nya) kemudian Allah meringankan qudrah-Nya yang akan menimpamu. dan merasa malu untuk menurunkan cobaan lebih besar karena kedekatan-Nya padamu."

Zainab meninggal dunia pada tahun 65 Hijriyah, dan dikuburkan di Qanathir As-Siba’, Mesir. Kini makamnya banyak dikunjungi peziarah. Bahkan namanya dijadikan nama sebuah masjid di Mesir, Masjid Sayyidah Zainab. Pada tahun 1173 H bangunan masjid tersebut direnovasi.

sumber : republika.co.id

Kisah Sahabat Nabi: Habib bin Zaid, Keteguhan Hati Pembela Rasul


Habib bin Zaid dibesarkan dalam sebuah rumah yang penuh keharuman iman di setiap sudutnya, di lingkungan keluarga yang melambangkan pengorbanan.

Ayah Habib, Zaid bin Ashim, adalah salah seorang dari rombongan Yatsrib yang pertama-tama masuk Islam. Zaid termasuk Kelompok 70 orang yang melakukan baiat dengan Rasulullah di Aqabah. Bersama Zaid bin Ashim turut pula di baiat istri dan dua orang putranya.

Ibu Habib, Ummu Amarah Nasibah Al-Maziniyah, merupakan wanita pertama yang memanggul senjata untuk mempertahankan agama Allah dan membela Nabi Muhammad SAW.

Saudaranya, Abdullah bin Zaid, adalah pemuda yang mempertaruhkan lehernya sebagai tebusan dalam Perang Uhud, untuk melindungi Rasul yang mulia. Tak heran jika Rasulullah berdoa bagi keluarga tersebut, "Semoga Allah melimpahkan barakah dan rahmat-Nya bagi kalian sekeluarga."

Cahaya iman telah menyinari hati Habib bin Zaid sejak dia masih muda belia, sehingga melekat kokoh di hatinya. Allah telah menakdirkannya bersama-sama ibu, bapak, bibi, dan saudaranya pergi ke Makkah, turun beserta Kelompok 70 untuk melakukan baiat dengan Rasulullah SAW dan melukis sejarah.

Habib bin Zaid mengulurkan tangannya yang kecil kepada Rasulullah sambil mengucapkan sumpah setia pada malam gelap gulita di Aqabah. Maka sejak hari itu, dia lebih mencintai Rasulullah daripada ayah bundanya sendiri. Dan Islam lebih mahal baginya daripada dirinya sendiri.

Habib bin Zaid tidak turut berperang dalam Perang Badar, karena ketika itu dia masih kecil. Begitu pula dalam Perang Uhud, dia belum memperoleh kehormatan untuk ikut ambil bagian, karena dia belum kuat memanggul senjata. Tetapi setelah kedua peperangan itu, dia selalu ikut berperang mengikuti Rasulullah SAW, dan bertugas sebagai pemegang bendera perang yang dibanggakan.

Pengalaman-pengalaman perang yang dialami Habib bagaimana pun besar dan mengejutkannya, pada hakikatnya tiada lain ialah merupakan proses mematangkan mental Habib untuk menghadapi peristiwa yang sungguh mengguncangkan hati, seperti terguncangnya miliaran kaum Muslimin sejak masa kenabian hingga masa kita sekarang.

Pada tahun ke-9 Hijriyah, tiang-tiang Islam telah kuat tertancap dalam di Jazirah Arab. Jamaah dari seluruh pelosok Arab berdatangan ke Yatsrib menemui Rasulullah SAW, masuk Islam di hadapan beliau, dan berjanji (baiat) patuh dan setia.

Di antara mereka terdapat pula rombongan Bani Hanifah dari Najd. Mereka menambatkan unta-untanya di pinggir kota Madinah, dijaga oleh beberapa orang kawannya. Seorang di antara penjaga ini bernama Musailamah bin Habib Al-Hanafy. Para utusan yang tidak bertugas menjaga kendaraan, pergi menghadap Rasulullah SAW. Di hadapan beliau mereka menyatakan masuk Islam beserta kaumnya. Rasulullah menyambut kedatangan mereka dengan hormat dan ramah tamah. Bahkan beliau memerintahkan supaya memberi hadiah bagi mereka dan bagi kawan-kawannya yang tidak turut hadir, karena bertugas menjaga kendaraan.

Tidak berapa lama setelah para utusan Bani Hanifah ini sampai di kampung mereka, Najd, Musailamah bin Habib Al-Hanafy murtad dari Islam. Dia berpidato di hadapan orang banyak menyatakan dirinya Nabi dan Rasul Allah. Dia mengatakan bahwa Allah mengutusnya menjadi Nabi untuk Bani Hanifah, sebagaimana Allah mengutus Muhammad bin Abdullah untuk kaum Quraisy. Bani Hanifah menerima pernyataan Musailamah tersebut dengan berbagai alasan. Tetapi yang terpenting di antaranya ialah karena fanatik kesukuan.

Seorang dari pendukungnya berkata, "Saya mengakui sungguh Muhammad itu benar dan Musailamah sungguh bohong. Tetapi kebohongan orang Rabi’ah (Musailamah) lebih saya sukai dari pada kebenaran orang Mudhar (Muhammad)."

Tatkala pengikut Musailamah bertambah banyak dan kuat, dia mengirim surat kepada Rasulullah: "Teriring salam untuk Anda. Adapun sesudah itu... Sesungguhnya aku telah diangkat menjadi sekutu Anda. Separuh bumi ini adalah untuk kami, dan separuh lagi untuk kaum Quraisy. Tetapi kaum Quraisy berbuat keterlaluan."

Surat tersebut diantar oleh dua orang utusan Musailamah kepada Rasulullah SAW. Selesai membaca surat itu, Rasulullah bertanya kepada keduanya, “Bagaimana pendapat kalian (mengenai pernyataan Musailamah ini)?"

"Kami sependapat dengan Musilamah!" jawab mereka ketus.

Rasulullah bersabda, "Demi Allah, seandainya tidak dilarang membunuh para utusan, sesungguhnya kupenggal leher kalian."

Rasulullah membalas surat Musailamah sebagai berikut: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad Rasulullah, kepada Musailamah pembohong. Keselamatan hanyalah bagi siapa yang mengikuti petunjuk (yang benar). Adapun sesudah itu... Sesungguhnya bumi ini adalah milik Allah, Dialah yang berhak mewariskannya kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendakinya.
Kemenangan adalah bagi orang-orang yang takwa."

Surat balasan tersebut dikirimkan melalui kedua utusan Musailamah. Musailamah bertambah jahat, dan kejahatannya semakin meluas. Rasulullah mengirim surat lagi kepada Musailamah, memperingatkan supaya dia menghentikan segala kegiatannya yang menyesatkan itu. Beliau menunjuk Habib bin Zaid, untuk mengantarkan surat tersebut kepada Musailamah. Ketika itu Habib masih muda belia. Tetapi dia pemuda mukmin yang beriman kuat, dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.

Habib bin Zaid berangkat melaksanakan tugas yang dibebankan Rasulullah kepadanya dengan penuh semangat, tanpa merasa lelah dan membuang-buang waktu. Akhirnya sampailah dia ke perkampungan Najd. Maka diberikannya surat Rasulullah itu langsung kepada Musailamah.

Ketika membaca surat tersebut, dada Musailamah turun naik karena iri dan dengki. Mukanya memerah disaput kemurkaan. Lalu diperintahkannya kepada pengawal supaya mengikat Habib bin Zaid.

Keesokan harinya, Musailamah muncul di majelisnya diiringkan para pembesar dan pengikutnya. Dia menyatakan majelis terbuka untuk orang banyak. Ia kemudian memerintahkan agar Habib bin Zaid diseret ke hadapannya. Habib masuk ke dalam majelis dalam keadaan terbelenggu, dan berjalan tertatih-tatih karena beratnya belenggu yang dibawanya.

Habib bin Zaid berdiri di tengah-tengah orang banyak dengan kepala tegak, kokoh dan kuat.

Musailamah bertanya kepadanya, "Apakah kamu mengaku Muhammad itu Rasulullah?"

“Ya, benar! Aku mengakui Muhammad sesungguhnya Rasulullah!” jawab Habib tegas.

Musailamah terdiam karena marah. “Apakah kamu mengakui, aku sebagai Rasulullah?" tanya Musailamah lagi.

Habib bin Zaid menjawab dengan nada menghina dan menyakitkan hati. "Agaknya telingaku tuli. Aku tidak pernah mendengar yang begitu."

Wajah Musailamah berubah. Bibirnya gemeretak karena marah. Lalu katanya kepada algojo, "Potong tubuhnya sepotong!"

Algojo menghampiri Habib bin Zaid, lalu dipotongnya bagian tubuh Habib, dan potongan itu menggelinding di tanah.

Musailamah bertanya kembali, "Apakah kamu mengakui Muhammad itu Rasulullah?"

Jawab Habib, "Ya, aku mengakui sesungguhnya Muhammad Rasulullah!”

"Apakah kamu mengakui aku Rasulullah?"

"Telah kukatakan kepadamu, telingaku tuli mendengar ucapanmu itu!"

Musailamah kembali menyuruh algojo memotong bagian lain tubuh Habib, dan potongannya jatuh di dekat potongan yang pertama. Orang banyak terbelalak melihat keteguhan hati Habib yang nekat menentang sang nabi palsu.

Musailamah terus bertanya, dan algojo terus pula memotong-motong tubuh Habib berkali-kali sesuai dengan perintah Musailamah. Walaupun begitu, bibir Habib tetap berujar, "Aku mengakui sesungguhnya Muhammad Rasulullah!"

Separuh tubuh Habib telah terpotong-potong dan potongannya berserakan di tanah. Separuhnya lagi bagaikan onggokan daging yang bicara. Akhirnya, jiwa Habib melayang menemui Tuhannya. Kedua bibirnya senantiasa mengucapkan bahwa ia hanya mengakuai Muhammad SAW—yang telah ia baiat pada malam Aqabah—sebagai Rasulullah.

Setelah berita kematian Habib bin Zaid disampaikan orang kepada ibunya, Nasibah bin Maziniyah, ia hanya berucap, "Seperti itu pulalah aku harus membuat perhitungan dengan Musailamah Al-Kadzdzab. Dan kepada Allah jua aku berserah diri. Anakku Habib bin Zaid telah bersumpah setia dengan Rasulullah SAW sejak kecil. Sumpah itu dipenuhinya ketika dia muda belia. Seandainya Allah memungkinkanku, akan kusuruh anak-anak perempuan Musailamah menampar pipi bapaknya."

Beberapa lama kemudian, setelah kematian Habib bin Zaid, tibalah hari yang dinanti-nantikan Nasibah. Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq mengerahkan kaum Muslimin memerangi nabi-nabi palsu, termasuk Musailamah Al-Kadzdzab. Kaum Muslimin berangkat untuk memerangi Musailamah. Dalam pasukan itu terdapat Nasibah Al-Maziniyah dan putranya, Abdullah bin Zaid.

Ketika perang di Yamamah itu telah berkecamuk, Nasibah membelah barisan demi barisan musuh bagaikan seekor singa, sambil berteriak, "Di mana musuh Allah itu, tunjukkan kepadaku!"

Ketika Nasibah menemukan Musailamah, sang nabi palsu ternyata telah pulang ke akhirat, tewas tersungkur di medan pertempuran tubuh bermandi darahnya sendiri. Tidak lama kemudian, Nasibah pun gugur sebagai syahidah.

sumber : republika.co.id

Berhasil Atasi Prasangka Buruk, Richard Beuchamp Total Menerima Islam


Richard Beauchamp duduk di area parkir memandng para Muslim keluar Masuk. Ia tak pernah sekalipun memasuki masjid dan ia gugup

Begitu berhasil mengumpulkan keberanian untuk masuk, ia disambut hangat. Lelaki itu mengaku dibesarkan dalam tradisi Baptis, namun ia sangat tertarik Islam.

"Mereka luar biasa baik," ujar Beauchamp, 36 tahun, warga asal Irving. "Mudah sekali untuk kembali datang ke sana," tuturnya.

Pada kunjungan berikut bertepatan dengan pelaksanaan shalat Jumat. Beuchamp tidak tahu sama sekali cara Muslim beribadah. Ia pun hanya duduk dan melihat. Hampir semua pria berdiri di lantai. "Kursi hanya digunakan untuk orang tua yang tak sanggup berdiri." ungkapnya. "Saat itu saya larut dalam doa sehingga hampir tidak memperhatikan sekitar."

Apa yang membuat ia tertarik kepada Islam. Rupanya saat usia muda, Beuchamp sudah kecewa dengan Kristen. Ia tidak memahami bagaimana Kristiani meyakini satu Tuhan dan Trinitas sekaligus bersamaan.

Perjalanannya menuju Islam adalah pencarian seorang diri, sesuatu yang umum terjadi pada warga Amerika yang beralih ke Muslim. Ia menemukan Islam lewat buku bahkan sebelum bertemu dan menjalin hubungan dengan seorang Muslim.

Dalam kunjungan rutin ke masjid selama satu tahun, ia meyakini telah menemukan rumah spritual di dalam Islam. Namun Beuchamp menyadari menjadi Muslim berarti mengubah total seluruh gaya hidupnya.

"Saya saat itu memiliki gaya hidup seperti warga Amerika lain berusia 20-an," tuturnya. "Saya keluar ke club malam, minum dan bergaul bebas dengan para wanita. Sebagai muslim kini saya tak bisa lagi bebas bergaul dan bepergian seenaknya dengan teman wanita. Yang pasti saya tak bisa minum lagi."

Saat beralih, ia mendapati respon temannya ternyata jauh lebih keras ketimbang tanggapan kedua orangtuanya. "Gaya hidup saya berubah banyak dan sulit bagi teman saya untuk menerima," ujarnya. "Namun ketika saya membaca tulisan teman-teman Muslim lain, justru kian sulit untuk menengok kebelakang," tuturnya.

Tak dipungkiri oleh Beuchamp, saat tumbuh besar ia memiliki pandangan kelam tentang Muslim. Itu pun sedikit menghambat peralihannya. Cerita-cerita mengenai revolusi Iran, kekerasan dan penangkapan warga Amerika sebagai sandera yang kadang dibunuh di Timur-Tengah membuat ia curiga.

"Benar-benar perjuangan untuk mengatasi prasangka yang telah saya miliki" ungkapnya. Namun pengalaman pertama berkunjung ke masjid langsung mendobrak semua pandangan negatif tadi. "Say menyaksikan orang-orang yang begitu beriman, tulus dan penuh kasih sayang." tuturnya.

Pada 2006, Beucham pergi ke Indonesia untuk menikahi seorang wanita. Ia mengenalnya lewat sebuah situs kontak jodoh di Internet. "Ia wanita yang baik dan taat," ujarnya.

Ia berkorespondensi lewat internet dengan wanita itu selama enam bulan lalu terbang ke Indonesia untuk bertemu dengannya dan keluarganya. Ia berada di Indonesia ketika serangan 11 September terhadap menara kembar WTC dan pentagon terjadi.

"Banyak warga Amerika seketika itu memiliki pandangan distorsi terhadap Islam." ujarnya. "Itu sungguh melukai hati saya karena Islam telah membawa rasa damai dan tujuan hidup yang sebelumnya tak pernah saya miliki,"

sumber : republika.co.id

Selasa, 26 Juli 2011

Wanita-Wanita Teladan: Ummu Ruman, Sang Bidadari Surga


Nama lengkapnya Zainab binti Amir bin Uwaimir bin Abdi Syams bin Iqab bin Udzainah bin Sabi’ bin Duhman bin Al-Harits bin Ghanm bin Malik bin Kinanah. Namun ia lebih dikenal dengan panggilan Ummu Ruman. Ia adalah istri Abu Bakar Ash-Shiddiq, salah seorang manusia terbaik setelah Rasulullah SAW.

Sebelum Islam datang, Ummu Ruman adalah istri Abdullah bin Al-Harits bin Sakhbarah. Dari perkawinannya dengan Abdullah, ia dikarunia seorang putra bernama Ath-Thufail. Mereka tinggal di As-Surah.

Tak lama kemudian Abdullah membawa istrinya ke Makkah untuk tinggal di sana. Sebagaimana kebiasaan para pendatang kala itu yang bersekutu dengan para pembesar Makkah yang dapat melindunginya. Begitu pun dengan Abdullah bin Al-Harits, ia bersekutu dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Sayang, Abdullah tidak dikarunia Allah SWT dengan umur panjang. Ia meninggal setelah setahun tinggal di Makkah. Abu Bakar kemudian menikahi Ummu Ruman dan merawat Ath-Thufail. Ummu Ruman pun menjadi istri kedua Abu Bakar.

Dari istri pertamanya, Abu Bakar memiliki dua orang anak, yaitu Asma' dan Abdullah. Dari pernikahan dengan Ummu Ruman, Abu Bakar pun mendapat dua orang anak, yaitu Aisyah (Ummul Mukminin) dan Abdurrahman. Selisih usia Asma' dan Aisyah sepuluh tahun. Ummu Ruman menyatukan Ath-Thufail, Asma', Abdullah, Aisyah, dan Abdurrahman dalam asuhannya.

Ketika Abu Bakar, suaminya, masuk Islam, Ummu Ruman juga memeluk Islam. Ia termasuk salah seorang Assabiqunal Awwalun (kelompok pertama yang masuk Islam). Semua anaknya mengikuti jejaknya masuk Islam, kecuali Abdurrahman. Dengan demikian, rumah Ummu Ruman adalah rumah kedua yang berada dalam naungan Islam setelah rumah Rasulullah SAW.

Berbagai macam siksaan yang dilakukan kafir Quraisy kepada kaum Muslimin di Makkah juga menimpa Ummu Ruman. Apalagi ia aktif bahu-membahu dengan suaminya, menyelamatkan orang-orang yang telah memeluk Islam ketika itu dari gangguan kafir Quraisy.

Sebagai ibu, Ummu Ruman sangat disiplin dan berhasil mendidik anak-anaknya. Sebagai seorang istri, ia sangat menghormati hak-hak suaminya. Dan ia adalah seorang wanita yang menepati janji lagi bijak. Sifat-sifat mulia itu terekam dalam peristiwa ketika Rasulullah SAW meminang Aisyah.

Ketika Khadijah telah wafat, Khaulah binti Hakim –istri Utsman bin Mazh’un—datang menemui Rasulullah SAW dan berkata, "Ya Rasulullah, tidakkah engkau menikah lagi?"

Beliau berkata, "Dengan siapa?"

"Apabila engkau mau, engkau dapat menikahi seorang gadis, atau seorang janda," kata Khaulah.

"Siapakah gadis tersebut?"

"Putri hamba Allah yang paling engkau cintai di muka bumi, Aisyah binti Abu Bakar."

"Lalu siapakah janda tersebut?"

"Saudah binti Zam’ah. Ia telah beriman kepadamu dan mengikuti segala yang engkau ucapkan."

Rasulullah berkata, "Kalau begitu pergilah kepada keduanya, dan sebutkan namaku kepada mereka."

Khaulah kemudian datang ke rumah Abu Bakar. Dan ketika masuk ia berkata, "Wahai Ummu Ruman, kebaikan dan keberkahan apakah yang dicurahkan Allah kepada kalian?"

"Apakah itu?"

"Rasulullah SAW mengutusku meminang Aisyah untuk beliau."

"Kalau begitu, tunggulah sampai Abu Bakar pulang," kata Ummu Ruman.

Setelah Abu Bakar tiba, Khaulah menyampaikan maksud Rasulullah SAW. Setelah mendengan kabar itu, Abu Bakar berkata, “Tunggu sebentar.” Abu Bakar pun keluar rumah.

Ketika kembali, Abu Bakar berkata kepada Khaulah, "Pergilah kepada Rasulullah, undang beliau kemari!"

Khaulah pun pergi menjemput Rasulullah SAW. Tak lama kemudian Abu Bakar menikahkan Rasulullah dengan putrinya, Aisyah.

Tak lama setelah pernikahan itu, Rasulullah mendapat perintah untuk berhijrah. Beliau meminta Abu Bakar untuk menemaninya. Abu Bakar segera menyampaikan hal itu kepada istrinya, Ummu Ruman.

Berita itu tidak membuat Ummu Ruman takut, meski ia harus tetap tinggal di Makkah bersama dengan anak-anaknya di bawah ancaman bahaya yang mungkin terjadi. Ummu Ruman justru berkata, "Sesungguhnya keluarga Rasulullah SAW harus menjadi teladan kita."

Tak lama setelah sang suami hijrah bersama Rasulullah SAW, Ummu Ruman pun menyusul bersama keluarganya dan keluarga Rasulullah. Ketika tiba di Madinah, Ummu Ruman berkata kepada suaminya, "Wahai Abu Bakar, tidakkah engkau mengingatkan Rasulullah SAW tentang perkara Aisyah?"

Maka Abu Bakar segera berangkat menemui Rasulullah dan berkata, "Tidakkah engkau ingin menggauli keluargamu, ya Rasulullah?"

Di Madinah Aisyah berkumpul dengan Rasulullah dan menjadi pendamping hidup beliau bersama dengan Ummul Mukminin yang lain.

Hubungan Rasulullah SAW dan Aisyah mendapat cobaan yang begitu dahsyat. Peristiwa ini juga dirasakan oleh Ummu Ruman, ibu Aisyah. Pada tahun keenam Hijriyah, kaum munafikin menghembuskan fitnah yang menyerang kehormatan dan kemuliaan Aisyah. Peristiwa ini dikenal dengan Hadits Ifk, berita dusta. Namun akhirnya Allah SWT sendiri yang menegaskan kesucian Aisyah, sementara para penyebar kabar dusta itu mendapatkan hukuman yang setimpal.

Setelah peristiwa itu—juga di tahun keenam Hijriyah—Ummu Ruman wafat karena sakit yang dideritanya. Rasulullah SAW ikut turun ke dalam kuburannya dan berdoa di sana. Beliau bersabda, "Barangsiapa yang ingin melihat wanita bidadari surga, hendaklah melihat Ummu Ruman."

Ummu Ruman dikenal sebagai salah seorang periwayat hadits Rasulullah. Dia juga dikenal sebagai seorang wanita yang taat dan selalu beribadah. Sebagai seorang perawi, dia meriwayatkan beberapa hadits dari Rasulullah saw dan juga meriwayatkan dari Masruq. Beberapa imam hadits menggunakan hadits yang diriwayatkannya, salah satunya Imam Bukhari.

sumber : republika.co.id

Senin, 25 Juli 2011

Kisah Sahabat Nabi: Hamzah bin Abdul Muthalib, Pemimpin Para Syuhada


Pada suatu hari Hamzah bin Abdul Muthalib keluar dari rumahnya sambil membawa busur dan anak panah untuk berburu. Sejak muda, paman Rasulullah ini memang hobi dan gemar berburu binatang.

Setelah hampir seharian menghabiskan waktunya di tempat perburuan tanpa mendapatkan hasil, ia pun beranjak pulang. Sebelum kembali ke rumahnya, ia lebih dulu mampir di Ka'bah untuk melakukan thawaf.

Sebelum sampai di Ka'bah, seorang budak perempuan milik Abdullah bin Jud'an At-Taimi menghampirinya seraya berkata,"Hai Abu Umarah, andai saja tadi pagi kau melihat apa yang dialami oleh keponakanmu, Muhammad bin Abdullah, niscaya kamu tidak akan membiarkannya. Ketahuilah, bahwa Abu Jahal bin Hisyam telah memaki dan menyakiti keponakanmu itu, hingga akhirnya ia mengalami luka-luka di sekujur tubuhnya."

Usai mendengarkan panjang lebar peristiwa yang dialami oleh keponakannya, Hamzah terdiam sambil menundukkan kepalanya sejenak. Ia kemudian membawa busur dan anak panahnya, kemudian bergegas menuju Ka'bah dan berharap dapat bertemu Abu Jahal di sana.

Sampai di Ka'bah ia melihat Abu Jahal dan beberapa pembesar Quraisy sedang berbincang-bincang. Dengan tenang Hamzah mendekati Abu Jahal. Lalu dengan gerakan yang cepat ia lepaskan busur panahnya dan dihantamkan ke kepala Abu Jahal berkali-kali hingga jatuh tersungkur. Darah segar mengucur deras dari dahinya.

"Mengapa kamu memaki dan mencederai Muhammad, padahal aku telah menganut agamanya dan meyakini apa yang dikatakannya? Sekarang, coba ulangi kembali makian dan cercaanmu itu kepadaku jika kamu berani!" bentak Hamzah kepada Abu Jahal.

Dalam beberapa saat, orang-orang yang berada di sekitar Ka'bah lupa akan penghinaan yang baru saja menimpa pemimpin mereka. Mereka begitu terpesona oleh kata-kata yang keluar dari mulut Hamzah yang menyatakan bahwa ia telah menganut dan menjadi pengikut Muhammad.

Tiba-tiba beberapa orang dari Bani Makhzum bangkit untuk melawan Hamzah dan menolong Abu Jahal. Tetapi Abu Jahal melarang dan mencegahnya seraya berkata,"Biarkanlah Abu Umarah melampiaskan amarahnya kepadaku. Karena tadi pagi, aku telah memaki dan mencerca keponakannya dengan kata-kata yang tidak pantas."

Hamzah bin Abdul Muthalib adalah seorang yang mempunyai otak yang cerdas dan pendirian yang kuat. Ia adalah paman Nabi dan saudara sepersusuannya. Dia memeluk Islam pada tahun kedua kenabian. Ia juga hijrah bersama Rasulullah SAW dan ikut dalam perang Badar. Pada Perang Uhud syahid dan Rasulullah menjulukinya dengan "Asadullah" (Singa Allah) dan menyebutnya "Sayidus Syuhada" (Penghulu atau Pemimpin Para Syuhada).


Ketika sampai di rumah, ia duduk terbaring sambil menghilangkan rasa lelahnya dan membawanya berpikir serta merenungkan peristiwa yang baru saja dialaminya.

Sementara itu, Abu Jahal yang telah mengetahui bahwa Hamzah telah berdiri dalam barisan kaum Muslimin berpendapat, perang antara kaum kafir Quraisy dengan kaum Muslimin sudah tidak dapat dielakkan lagi.

Oleh sebab itu, ia mulai menghasut dan memprovokasi orang-orang Quraisy untuk melakukan tindak kekerasan terhadap Rasulullah dan pengikutnya. Bagaimanapun Hamzah tidak dapat membendung kekerasan yang dilakukan kaum Quraisy terhadap para sahabat yang lemah. Akan tetapi harus diakui, bahwa keislamannya telah menjadi perisai dan benteng pelindung bagi kaum Muslimin lainnya.

Lebih dari itu menjadi daya tarik tersendiri bagi kabilah-kabilah Arab yang ada di sekitar Jazirah Arab untuk lebih mengetahui agama Islam lebih mendalam. Sejak memeluk islam, Hamzah telah berniat untuk membaktikan segala keperwiraan, keperkasaan, dan juga jiwa raganya untuk kepentingan dakwah Islam.

Pada Perang Badar, Rasulullah menunjuk Hamzah sebagai salah seorang komandan perang. Ia dan Ali bin Abi Thalib menunjukkan keberanian dan keperkasaannya yang luar biasa dalam mempertahankan kemuliaan agama Islam. Akhirnya, kaum Muslimin berhasil memenangkan perang tersebut secara gilang gemilang.

Kaum kafir Quraisy tidak mau menelan kekalahan begitu saja, maka mereka mulai mempersiapkan diri dan menghimpun segala kekuatan untuk menuntut balas. Akhirnya, tibalah saatnya Perang Uhud di mana kaum kafir Quraisy disertai beberapa kafilah Arab lainnya bersekutu untuk menghancurkan kaum Muslimin. Sasaran utama perang itu adalah Rasulullah dan Hamzah bin Abdul Muthalib.

Seorang budak bernama Washyi bin Harb diperintahkan oleh Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan bin Harb, untuk membunuh Hamzah. Wahsyi dijanjikan akan dimerdekakan dan mendapat imbalan yang besar pula jika berhasil menunaikan tugasnya.

Akhirnya, setelah terus-menerus mengintai Hamzah, Wahsyi melempar tombaknya dari belakang yang akhirnya mengenai pinggang bagian bawah Hamzah hingga tembus ke bagian muka di antara dua pahanya. Tak lama kemudian, Hamzah wafat sebai syahid.

Usai sudah peperangan, Rasulullah dan para sahabatnya bersama-sama memeriksa jasad dan tubuh para syuhada yang gugur. Sejenak beliau berhenti, menyaksikan dan membisu seraya air mata menetes di kedua belah pipinya. Tidak sedikitpun terlintas di benak beliau bahwa moral bangsa arab telah merosot sedemikian rupa, hingga dengan teganya berbuat keji dan kejam terhadap jasad Hamzah. Dengan keji mereka telah merusak jasad dan merobek dada Hamzah dan mengambil hatinya.

Kemudian Rasulullah mendekati jasad Sayyidina Hamzah bin Abdul Muthalib, Singa Allah, Seraya berkata,"Tak pernah aku menderita sebagaimana yang kurasakan saat ini. Dan tidak ada suasana apa pun yang lebih menyakitkan diriku daripada suasana sekarang ini."

Setelah itu, Rasulullah dan kaum Muslimin menyalatkan jenazah Hamzah dan para syuhada lainnya satu per satu.

Ibnu Atsir dalam kitab Usud Al-Ghabah, mengatakan dalam Perang Uhud, Hamzah berhasil membunuh 31 orang kafir Quraisy. Sampai pada suatu saat ia tergelincir sehingga terjatuh kebelakang dan tersingkaplah baju besinya, dan pada saat itu ia langsung ditombak dan dirobek perutnya. Lalu hatinya dikeluarkan oleh Hindun kemudian dikunyahnya. Namun Hindun memuntahkannya kembali karena bisa menelannya.

Ketika Rasulullah melihat keadaan tubuh pamannya Hamzah bin Abdul Muthalib, Beliau sangat marah dan Allah menurunkan firmannya: "Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar." (QS An-Nahl: 126)

Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq Sirah-nya, bahwa Ummayyah bin Khalaf bertanya pada
Abdurahman bin Auf, "Siapakah salah seorang pasukan kalian yang dadanya dihias dengan bulu bulu itu?"

"Dia adalah Hamzah bin Abdul Muthalib," jawab Abdurrahman bin Auf.

"Dialah yang membuat kekalahan kepada kami," ujar Khalaf.

Abdurahman bin Auf menyebutkan bahwa ketika perang Badar, Hamzah berperang disamping Rasulullah dengan memegang dua bilah pedang.

Diriwayatkan dari Jabir bahwa ketika Rasulullah SAW melihat Hamzah terbunuh, maka beliau menagis.

sumber : republika.co.id

Sejarah Hidup Muhammad SAW: Dampak Perang Muktah


Di bawah pimpinan Khalid bin Walid, pasukan Muslimin kini kembali pulang setelah terjadi peristiwa Muktah itu. Mereka pulang tanpa membawa kemenangan, tidak pula kekalahan. Mereka kembali pulang dengan hati riang.

Penarikan mundur ini—setelah Zaid bin Haritsah, Ja'far bin Abi Thalib dan Abdullah bin Rawahah syahid—meninggalkan kesan yang berbeda-beda pada pihak Romawi, kaum Muslimin yang tinggal di Madinah, dan pada pihak Quraisy di Makkah.

Romawi merasa sangat gembira dengan penarikan mundur pasukan Muslimin itu. Mereka merasa bersyukur, sebab pertempuran itu tidak sampai berlangsung lama, meskipun tentara Romawi terdiri dari 100.000 orang menurut satu sumber, atau 200.000 menurut sumber yang lain. Sementara pasukan Muslimin terdiri dari 3.000 orang. Kabilah-kabilah Arab yang tinggal di perbatasan dengan Syam sangat kagum melihat tindakan Muslimin ketika itu.

Karena peristiwa itu pula salah seorang pemimpin mereka (Farwa bin Amr Al-Judhami, seorang komandan pasukan Romawi) langsung menyatakan diri masuk Islam. Akan tetapi, atas perintah Heraklius dia kemudian ditangkap dengan tuduhan berkhianat.

Sungguhpun begitu Heraklius masih bersedia membebaskannya kembali asal saja ia mau kembali ke dalam pangkuan agama Nasrani. Bahkan ia bersedia mengembalikannya pada jabatan semula sebagai komandan pasukan. Namun Farwa menolak dan tetap bertahan dalam keislamannya, sehingga akhirnya ia dibunuh juga. Tetapi karena itu pula Islam makin luas tersebar di kalangan kabilah-kabilah Najd yang berbatasan dengan Irak dan Syam. Ketika itu Romawi sedang berada di puncak kekuasaannya di sana.

Dengan bertambah banyaknya orang masuk ke dalam agama baru ini, Kerajaan Bizantium makin goyah kedudukannya, sehingga ada penguasa Heraklius, yang bertugas membayar gaji militer, berkata lantang kepada orang-orang Arab Syam yang ikut dalam perang, "Lebih baik kalian menarik diri. Kerajaan dengan susah payah baru dapat membayar gaji angkatan perangnya. Untuk makanan anjingnya pun sudah tidak ada."

Tidak heran kalau mereka lalu meninggalkan kerajaan dan meninggalkan angkatan perangnya. Sebaliknya, agama baru ini makin cemerlang sinarnya memancar di hadapan mereka, yang akan mengantarkan mereka kepada kebenaran yang lebih tinggi, yang akan menjadi tujuan umat manusia.

Itu pula sebabnya, selama waktu itu saja ribuan orang telah masuk Islam, yang terdiri dari kabilah Sulaim dengan pemimpinnya Al-Abbas ibnu Mirdas, kabilah-kabilah Asyja' dan Ghatafan yang dahulu telah bersekutu dengan Yahudi sampai hancurnya Yahudi di Khaibar, demikian juga kabilah-kabilah Abs, Dhubyan dan Fazara. Peristiwa Muktah ini jugalah yang telah memudahkan persoalan bagi Muslimin di bagian utara Madinah sampai ke perbatasan Syam itu, dan ini pula yang telah membuat Islam lebih terpandang dan lebih kuat.

Akan tetapi buat Muslimin yang tinggal di Madinah, pengaruhnya lain lagi. Ketika mereka melihat Khalid dan pasukannya kembali dari perbatasan Syam tanpa membawa kemenangan atas pasukan Heraklius, mereka bersorak-sorak, "Hai orang-orang pelarian, kamu lari dari jalan Allah!"

Beberapa orang anggota pasukan itu merasa demikian malu sampai ada yang tidak berani keluar rumah, agar tak lagi diperolok-olok oleh anak-anak dan pemuda-pemuda Muslimin dengan tuduhan melarikan diri.

Sebaliknya di mata Quraisy, akibat Muktah itu dipandang oleh mereka sebagai suatu kehancuran dan pukulan berat buat Muslimin, sehingga tak ada lagi orang yang mau menghiraukan mereka atau menganggap penting segala perjanjian dengan mereka.

Biarlah keadaan kembali seperti sebelum 'Umratul Qadha'. Biarlah keadaan kembali seperti sebelum Perjanjian Hudaibiyah. Biarlah orang-orang Quraisy kembali lagi menyerang kaum Muslimin dan siapa saja yang masih terikat perjanjian dengan mereka tanpa harus merasa takut ada tindakan hukum dari Muhammad.

Perdamaian Hudaibiyah antara lain sudah menentukan, bahwa barangsiapa yang ingin masuk ke dalam persekutuan dengan Rasulullah boleh saja, dan barangsiapa ingin masuk ke dalam persekutuan dengan pihak Quraisy juga boleh. Ketika itu Khuza'ah masuk bersekutu dengan Muhammad sedang Bani Bakar dengan pihak Quraisy.

Sebenarnya, antara Khuza'ah dengan Bani Bakar ini sudah lama timbul permusuhan yang baru reda setelah ada perjanjian Hudaibiyah. Masing-masing kabilah menggabungkan diri dengan pihak yang mengadakan perdamaian itu.

Dengan adanya peristiwa yang telah terjadi di Muktah, sekarang terbayang oleh Quraisy bahwa Muslimin pasti mengalami kehancuran. Sudah terbayang oleh Bani Ad-Dil—sebagai bagian dari Bani Bakar bin Abdi Manat—bahwa sekarang sudah tiba waktunya untuk membalas dendam lamanya kepada Khuza'ah. Ditambah lagi, memang ada segolongan orang dari pihak Quraisy yang ikut mendorong, di antaranya Ikrimah bin Abi Jahal dan beberapa orang pemimpin Quraisy lainnya yang sekalian memberikan bantuan senjata.

sumber : republika.co.id

Wanita-Wanita Teladan: Ummu Sulaim, Dipinang dengan Islam


Nama aslinya adalah Syahlah binti Mulhan bin Khalid bin Zaid bin Haram. la berasal dari kaum Anshar yang dari Bani Khuzrajiah. la merupakan salah seorang dari orang-orang yang mula-mula masuk Islam.

Saudara laki-lakinya adalah Abdullah bin Haram yang dianggap sebagai salah satu Qura’ (penghapal Al-Qur’an) yang syahid di Bi’r Maunah.

Saat dipinang oleh Abu Thalhah, Ummu Sulaim berkata kepadanya, "Demi Allah, tak ada satu pun alasan yang bisa membuatku menolak lamaranmu itu. Namun sangat disayangkan sekali, engkau adalah seorang kafir, sedang aku adalah seorang Muslim. Oleh karena itu, aku tak mungkin menikah denganmu. Seandainya engkau bersedia masuk Islam, itu akan aku anggap sebagai mas kawinku. Dan aku takkan meminta selain dari itu."

Mendengar perkataan itu, Abu Thalhah bersedia masuk Islam, dan keislamannya itu dianggap sebagai mahar bagi Ummu Sulaim.

la pernah datang kepada Rasulullah agar anaknya yang bernama Malik bin Anas bisa menjadi pembantu beliau. Rasulullah SAW menerima tawaran itu. Akhirnya, Malik bin Anas mengabdikan dirinya kepada Rasulullah selama sepuluh tahun.

Di saat anaknya meninggal dunia, Ummu Sulaim berkata kepada keluarganya, "Janganlah kalian membicarakan anak Abu Thalhah, sebelum aku sendiri mulai membicarakannya!"

Pada saat Abu Thalhah pulang, Ummu Sulaim segera menyediakan makan dan minum, serta melayani suaminya sebaik mungkin. Setelah Abu Thalhah merasa kenyang dan puas atas pelayanan istrinya itu, Ummu Sulaim pun berkata kepadanya, "Wahai Abu Thalhah, apabila ada sebuah kaum memamerkan kepada ahli bait tentang aib mereka, dan menuntut ahli bait juga harus memamerkan aib mereka, maka apakah ahli bait berkewajiban mencegah rencana mereka itu?"

"Tidak!" jawab Abu Thalhah.

"Itulah yang menimpa anakmu sekarang ini," kata Ummu Sulaim.

Mendengar perkataan istrinya, Abu Thalhah naik pitam. "Tinggalkan aku dan jangan engkau datang lagi ke sini tanpa membawa berita tentang keadaan anakku itu!"

Kemudian datanglah Rasulullah kepada mereka dan menanyakan permasalahan apa yang sebenarnya terjadi di antara kedua suami istri tersebut. Setelah mengetahui apa terjadi, beliau pun berkata, "Semoga Allah senantiasa memberikan kalian berdua berkah atas aib seseorang yang berusaha kalian tutup-tutupi."

Ummu Sulaim mempunyai peran yang sangat nyata pada saat terjadi Perang Uhud. la selalu membawa sebuah pisau besar dan sekaligus berperan sebagai juru medis. la selalu menyediakan minum bagi orang-orang yang sedang berperang. la bahkan turut serta dalam Perang Hunain, walaupun saat itu dalam keadaan hamil.

Anas, putranya menuturkan bahwa Ummu Sulaim selalu menghunus sebuah pisau besar dalam keadaan mengandung. Melihat tingkah laku istrinya, Abu Thalhah berkata kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, Ummu Sulaim senantiasa menghunus sebuah pisau besar."

Kemudian Nabi bertanya kepada Ummu Sulaim tentang tujuannya membawa sebuah pisau besar pada saat mengandung.

"Pisau besar ini aku tujukan untuk merobek perut orang-orang musyrik di saat berdekatan denganku nanti. Sebab mereka pasti mendekatiku pada saat aku melahirkan di medan perang nanti," jawab Ummu Sulaim.

Mendengar perkataan itu, Rasulullah pun tertawa senang.

sumber : republika.co.id

Kamis, 21 Juli 2011

Kisah Sahabat Nabi: Hakim bin Hazam, Keteguhan Hati Seorang Sahabat


ma lengkapnya Hakim bin Hazam bin Asad bin Abdul Gazi. Ia adalah keponakan Khadijah Al-Kubra, istri tercinta Rasulullah SAW. Sebelum dan setelah kenabian beliau, ia adalah teman akrab Rasulullah.

Sewaktu kaum Quraisy memboikot Rasulullah dan kaum Muslimin, Hakim tidak mau ikut-ikutan, karena menghormati Nabi. Ia baru masuk Islam ketika terjadi penaklukan kota Makkah dan terkenal sebagai orang yang banyak jasa dan dermanya.

Sejarah mencatat, dialah satu-satunya anak yang lahir dalam Ka'bah yang mulia. Pada suatu hari, ibunya yang sedang hamil tua masuk ke dalam Ka'bah bersama rombongan orang-orang sebayanya untuk melihat-lihat Baitullah itu. Hari itu Ka'bah dibuka untuk umum sesuai dengan ketentuan.

Ketika berada dalam Ka'bah, perut si ibu tiba-tiba terasa hendak melahirkan. Dia tidak sanggup lagi berjalan keluar Ka'bah. Seseorang lalu memberikan tikar kulit kepadanya, dan lahirlah bayi itu di atas tikar tersebut. Bayi itu adalah Hakim bin Hazam bin Khuwailid, yaitu anak laki-laki dari saudara Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid.

Hakim bin Hazam dibesarkan dalam keluarga keturunan bangsawan yang terhormat dan kaya raya. Oleh sebab itu, tidak heran kalau dia menjadi orang pandai, mulia, dan banyak berbakti. Dia diangkat menjadi kepala kaumnya dan diserahi urusan rifadah (lembaga yang menangani orang-orang yang kehabisan bekal ketika musim haji) di masa jahiliyah. Untuk itu dia banyak mengorbankan harta pribadinya.

Dia bijaksana dan bersahabat dekat dengan Rasulullah sebelum beliau menjadi Nabi. Sekalipun Hakim bin Hazam lebih tua sekitar lima tahun dari Nabi SAW, tetapi dia lebih suka berteman dan bergaul dengan beliau. Rasulullah mengimbanginya pula dengan kasih sayang dan persahabatan yang lebih akrab. Kemudian ditambah pula dengan hubungan kekeluargaan—karena Rasulullah mengawini bibi Hakim, Khadijah binti Khuwailid—hubungan di antara keduanya bertambah erat.

Walaupun hubungan persahabatan dan kekerabatan antara keduanya demikian erat, ternyata Hakim tidak segera masuk Islam dan mengakui kenabian Muhammad SAW. Namun masuk Islam sesudah pembebasan kota Makkah dari kekuasaan kafir Quraisy, kira-kira dua puluh tahun sesudah Muhammad SAW diangkat menjadi Nabi dan Rasul.

Orang-orang memperkirakan Hakim bin Hazam—yang dikaruniai Allah akal sehat dan pikiran tajam ditambah dengan hubungan kekeluargaan—serta persahabatan yang akrab dengan Rasulullah—akan menjadi mukmin pertama-tama yang membenarkan dakwah beliau, dan menerima ajarannya dengan spontan. Tetapi Allah berkehendak lain. Dan kehendak Allah jualah yang berlaku.

Setelah memeluk Islam dan merasakan nikmat iman, timbullah penyesalan mendalam di hati Hakim. Dia merasa umurnya hampir habis dalam kemusyrikan dan mendustakan Rasulullah.

Putranya pernah melihat dia menangis, lalu bertanya, "Mengapa ayah menangis?"

"Banyak sekali hal-hal yang menyebabkan ayahmu menangis, hai anakku!" jawab Hakim. "Pertama, keterlambatan masuk Islam menyebabkan aku tertinggal berbuat banyak kebajikan. Seandainya aku nafkahkan emas sepenuh bumi, belum seberapa artinya dibandingkan dengan kebajikan yang mungkin aku peroleh dengan Islam. Kedua, sesungguhnya Allah telah menyelamatkan dalam Perang Badar dan Uhud. Lalu aku berkata kepada diriku ketika itu, aku tidak lagi akan membantu kaum Quraisy memerangi Muhammad, dan tidak akan keluar dari kota Makkah. Tetapi aku senantiasa ditarik-tarik kaum Quraisy untuk membantu mereka. Ketiga, setiap aku hendak masuk Islam, aku lihat pemimpin-pemimpin Quraisy yang lebih tua tetap berpegang pada kebiasaan-kebiasaan jahiliyah. Lalu aku ikuti saja mereka secara fanatik."

Hakim melanjutkan, "Kini aku menyesal, mengapa aku tidak masuk Islam lebih dini. Yang mencelakakan kita tidak lain melainkan fanatik buta terhadap bapak-bapak dan orang-orang tua kita. Bagaimana aku tidak akan menangis karenanya, hai anakku?"

Rasulullah pun heran terhadap orang-orang yang berpikiran tajam dan berpengetahuan luas macam Hakim bin Hazam, tetapi menutupi diri untuk menerima Islam. Padahal dia dan golongan orang-orang yang seperti dirinya ingin segera masuk Islam.

Semalam sebelum memasuki kota Makkah, Rasulullah bersabda kepada para sahabat, "Di Makkah terdapat empat orang yang tidak suka kepada kemusyrikan, dan lebih cenderung kepada Islam."

"Siapa mereka itu, ya Rasulullah," tanya para sahabat.

"Mereka adalah Attab bin Usaid, Jubair bin Muth'im, Hakim bin Hazam, dan Suhail bin Amr. Maka dengan karunia Allah, mereka masuk Islam secara serentak," jawab Rasulullah .

Ketika Rasulullah masuk kota Makkah sebagai pemenang, beliau tidak ingin memperlakukan Hakim bin Hazam, melainkan dengan cara terhormat. Maka beliau perintahkan agar disampaikan beberapa pengumuman. "Siapa yang mengaku tidak ada Tuhan selain Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, dan mengaku bahwa Muhammad sesungguhnya hamba Allah dan Rasul-Nya, dia aman. Siapa yang duduk di Ka'bah, lalu meletakkan senjata, dia aman. Siapa yang mengunci pintu rumahnya, dia aman. Siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan, dia aman. Siapa yang masuk ke rumah Hakim bin Hazam, dia aman."

Rumah Hakim bin Hazam terletak di kota Makkah bagian bawah, sedang rumah Abu Sufyan bin Harb terletak di bagian atas kota Makkah. Hakim bin Hazam kemudian memeluk Islam dengan sepenuh hati, dengan iman yang mendarah daging di kalbunya. Dia bersumpah akan selalu menjauhkan diri dari kebiasaan-kebiasaan jahiliyah dan menghentikan bantuan dana kepada Quraisy untuk memenuhi kebutuhan Rasulullah dan para sahabat beliau. Hakim menepati sumpahnya dengan sungguh-sungguh.

Setelah masuk Islam, Hakim bin Hazam pergi menunaikan ibadah haji. Dia membawa seratus ekor unta yang diberinya pakaian kebesaran yang megah. Kemudian unta-unta itu disembelihnya sebagai kurban untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Waktu haji tahun berikutnya, dia wukuf di Arafah beserta seratus orang hamba sahayanya. Masing-masing sahaya tergantung di lehernya sebuah kalung perak bertuliskan kalimat, "Bebas karena Allah Azza wa jalla, dari Hakim bin Hazam". Selesai menunaikan ibadah haji, semua budak itu dimerdekakan.

Ketika naik haji ketiga kalinya, Hakim bin Hazam mengurbankan seribu ekor biri-biri yang disembelihnya di Mina, untuk dimakan dagingnya oleh fakir miskin, guna mendekatkan dirinya kepada Allah SWT.

Seusai Perang Hunain, Hakim bin Hazam meminta harta rampasan kepada Rasulullah, yang kemudian diberi oleh beliau. Kemudian ia meminta lagi, diberikan lagi oleh Rasulullah. Beliau lalu berkata kepada Hakim, "Sesungguhnya harta itu manis dan enak. Siapa yang mengambilnya dengan rasa syukur dan rasa cukup, dia akan diberi berkah dengan harta itu. Dan siapa yang mengambilnya dengan nafsu serakah, dia tidak akan mendapat berkah dengan harta itu. Bahkan dia seperti orang makan yang tidak pernah merasa kenyang. Tangan yang di atas (memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (meminta atau menerima).”

Mendengar sabda Rasulullah tersebut, Hakim bin Hazam bersumpah, "Ya Rasulullah, demi Allah yang mengutus engkau dengan agama yang hak, aku berjanji tidak akan meminta-minta apa pun kepada siapa saja sesudah ini. Dan aku berjanji tidak akan mengambil sesuatu dari orang lain sampai aku berpisah dengan dunia."

Sumpah tersebut dipenuhi Hakim dengan sungguh-sungguh. Pada masa pemerintahan Abu Bakar, dia disuruh agar mengambil gajinya dari Baitul Mal, tetapi dia tidak mengambilnya. Tatkala jabatan khalifah pindah kepada Umar bin Khathab, Hakim pun tidak mau mengambil gajinya setelah dipanggil beberapa kali.

Khalifah Umar mengumumkan di hadapan orang banyak, "Wahai kaum Muslimin, aku telah memanggil Hakim bin Hazam beberapa kali supaya mengambil gajinya dari Baitul Mal, tetapi dia tidak mengambilnya."

Demikianlah, sejak mendengar sabda Rasulullah itu, Hakim selamanya tidak mau mengambil sesuatu dari seseorang sampai dia meninggal.

sumber : republika.co.id

Sejarah Hidup Muhammad SAW: Kisah Si Burung Surga


Ketika Khalid dan pasukannya sudah hampir sampai di Madinah, Rasulullah dan kaum Muslimin bersama-sama menyongsong mereka. Atas permintaan beliau, kemudian Abdullah bin Ja'far, putra Ja'far bin Abi Thalib, dibawa dan diangkatnya di depannya.

Orang ramai datang menaburkan tanah kepada pasukan itu seraya berkata, "Hai orang-orang pelarian, kalian lari dari jalan Allah!"

Tapi Rasulullah segera bersabda, "Mereka bukan pelarian. Tetapi mereka orang-orang yang akan tampil kembali, insya Allah."

Sungguhpun demikian, Rasulullah menghibur orang-orang yang baru kembali dari Muktah itu, namun sebagian Muslimin belum mau juga memaafkan mereka, sampai-sampai Salamah bin Hisyam tidak mau ikut shalat jamaah dengan Muslimin yang lain, khawatir masih akan terdengar suara-suara orang bila melihatnya: "Hai orang-orang pelarian, kalian lari dari jalan Allah!"

Rasulullah SAW sangat berduka setelah mengetahui bahwa Zaid dan Ja'far telah syahid. Beliau kemudian pergi sendirian ke rumah Ja'far, dijumpainya istri Ja'far, Asma' binti Umais yang pada waktu itu tengah membuat adonan roti. Sementara anak-anak Ja'far tengah bermain. "Bawa kemari anak-anak Ja'far itu," kata Nabi SAW.

Setelah mereka dibawa kehadapan beliau, Rasulullah menciumi anak-anak itu dengan Air mata berlinang menahan haru.

"Rasulullah," kata Asma' gelisah, seolah mendapat firasat apa yang telah terjadi. "Demi ayah bundaku, kenapa anda menangis? Adakah hal-hal yang menimpa Ja'far dan kawan-kawannya barangkali?"

"Ya, hari ini mereka telah gugur," kata Rasulullah, sementara air matanya kian deras mengucur.

Asma' tiba-tiba menangis kencang sehingga banyak wanita-wanita yang datang berkumpul.

Ketika beranjak pulang, Rasulullah berkata mereka, "Keluarga Ja'far jangan dilupakan. Buatkan makanan buat mereka. Mereka sekarang dalam kesusahan."

Ketika Rasulullah melihat putri Zaid bin Haritsah—bekas budaknya itu—datang, beliau langsung membelai rambutnya sambil menangis. Para sahabat ada yang merasa terkejut melihat Rasulullah SAW menangisi orang yang mati syahid. Beliau berkata, "Ini adalah air mata seorang kawan yang kehilangan kawannya."

Ada sumber yang menyebutkan, bahwa jenazah Ja'far dibawa ke Madinah dan dikebumikan di sana tiga hari kemudian setelah Khalid dan pasukannya sampai. Sejak hari itu, Rasulullah menyuruh orang-orang supaya jangan lagi menangis. "Kedua tangan Ja'far yang terputus, oleh Allah telah diganti dengan sepasang sayap yang menerbangkannya ke surga," sabda beliau.

Beberapa pekan kemudian setelah Khalid bin Walid dan pasukan Muslimin kembali dari Muktah, Rasulullah bermaksud hendak mengembalikan kewibawaan Muslimin di bagian utara jazirah itu. Dalam hal ini beliau menugaskan Amr bin Ash agar mengerahkan orang-orang Arab ke Syam, sebab Ibnu Amr ini memang berasal dari kabilah daerah itu. Tentu akan lebih mudah baginya untuk bergaul dengan mereka.

Namun setelah Amr bin Ash sampai di sebuah pangkalan air di daerah kabilah Judham yang disebut Silsil, ia mulai merasa khawatir. Ia segera mengirim kurir kepada Nabi SAW untuk meminta bantuan. Dan Nabi pun segera mengirim Abu Ubaidah bin Jarrah—dari kalangan Muhajirin yang tergolong Assabiqunal Awwalun—juga Abu Bakar dan Umar bin Khathab.

Sebagai orang yang baru masuk Islam, Rasulullah khawatir Amr bin Ash akan berselisih dengan Abu Ubaidah. Maka beliau berpesan kepada Abu Ubaidah, "Jangan berselisih!"

Akhirnya kejadian, begitu Abu Ubaidah tiba, Amr bin Ash langsung berkata, "Engkau datang kemari sebagai pembantuku. Pimpinan tentara di tanganku."

Abu Ubaidah adalah sosok yang lemah-lembut dan selalu tawadhu dalam masalah duniawi. Ia tidak terlalu mempersoalkan masalah kepemimpinan. "Rasulullah telah berpesan agar kita jangan berselisih. Kalau engkau tidak taat kepadaku, akulah yang taat kepadamu," ujarnya.

Dan dalam shalat jamaah Amr juga yang menjadi imam. Amr pun bergerak memimpin pasukannya, dan mereka berhasil mengalahkan pihak Syam. Dengan demikian kewibawaan Muslimin di wilayah itu dapat dipulihkan.

Sementara itu, Rasulullah tetap mengirim ekspedisi-ekspedisi untuk mencegah adanya pemberontakan kabilah-kabilah. Namun kegiatan ini tidak banyak menghabiskan banyak tenaga. Para utusan berdatangan menghadap dari segenap penjuru, menyatakan ketaatan dan kesetiaan penuh kepada beliau. Inilah yang merupakan pengantar pembebasan Makkah, dan menjadikan di tempat itu sebagai tempat yang paling disucikan untuk selama-lamanya.

sumber : republika.co.id

Rabu, 20 Juli 2011

Sejarah Hidup Muhammad SAW: Perang Muktah (2)


Zaid bin Haritsah membawa panji Rasulullah dan terus maju ke tengah-tengah musuh. Ia yakin bahwa kematiannya takkan terelakkan. Tetapi mati di sini berarti syahid, di jalan Allah. Selain kemenangan, hanya ada satu pilihan, yaitu mati syahid.

Dan di sinilah Zaid bertempur mati-matian sehingga akhirnya gugur oleh tombak musuh. Saat itu juga benderanya di sambut oleh Ja'far bin Abi Thalib—sepupu Rasulullah—dari tangannya. Ja'far terus bertempur dengan membawa bendera itu. Ia terjun ke tengah-tengah musuh, menyerbu dengan mengayunkan pedangnya ke leher siapa saja yang mendekat.

Saat itu, Ja'far memegang bendera dengan kanannya. Ketika tangan ini terputus, ia memegang bendera dengan tangan kirinya. Dan tangan kiri ini pun tertebas musuh, memeluk bendera itu dengan kedua pangkal lengannya sampai ia gugur. Dikatakan bahwa yang membunuh Ja'far adalah orang Romawi yang membelah tubuhnya jadi dua bagian.

Setelah Ja'far syahid, bendera diambil oleh Abdullah bin Rawahah. Ia lalu mengambil pedangnya dan terus bertempur hingga akhirnya syahid menyusul Ja'far bin Abi Thalib dan Zaid bin Haritsah. Ketiganya menuai syahid di jalan Allah, dalam satu pertempuran.

Begitu Rasulullah mendengar berita ini, beliau sangat terharu sekali, terutama terhadap Zaid dan Ja'far. "Mereka telah diangkat kepadaku di surga—seperti mimpi orang yang sedang tidur—di atas ranjang emas. Lalu kulihat ranjang Abdullah bin Rawahah agak miring daripada ranjang kedua temannya itu," kata Rasulullah.

Para sahabat bertanya, "Kenapa begitu?"

"Yang dua orang terus maju, tapi Abdullah agak ragu-ragu. Kemudian terus maju juga," jawab Rasulullah.

Ketika Abdullah bin Rawahah gugur setelah sempat ragu-ragu, lalu tampil lagi dengan keberanian yang luar biasa. Sekali ini bendera diambil oleh Tsabit bin Arqam, yang kemudian berkata, "Saudara-saudara kaum Muslimin, mari kita mencalonkan salah seorang dari kita."

Mereka segera menjawab, "Engkau sajalah."

"Tidak, aku tidak akan mampu."

Kemudian pilihan mereka jatuh kepada Khalid bin Walid, yang menerima amanah tersebut. Ia kemudian mengambil bendera tersebut, di saat barisan pasukan Muslimin mulai centang-perenang, dan kekuatan moril yang mulai kendor.

Khalid sendiri adalah seorang jenderal ulung, penggerak militer yang jarang menemui tandingan. Ia mulai memberikan komando dan mengatur kembali barisan pasukan Islam. Ia merapkan strategi hit and run, pukul dan mundur, sambil mengulur waktu hingga petang menjelang.

Khalid berasumsi tentu pasukan musuh akan menganggap pihak lawan (Muslimin) tidak akan menyerang di malam hari. Pada saat itulah Khalid mengambil kesempatan menyusun siasat perangnya. Anak buahnya dipencar-pencar sedemikian rupa dengan jumlah yang tidak kecil, dalam suatu garis memanjang, yang dikerahkan maju dari barisan belakang.

Pagi-pagi sekali, ketika semua sudah bangun, terjadi kesibukan dan hiruk-pikuk demikian rupa yang cukup menimbulkan perasaan gentar di kalangan musuh. Pihak Romawi beranggapan bahwa bala bantuan telah didatangkan dari pihak Nabi. Kalau jumlah 3.000 orang saja pada hari pertama telah membuat repot pasukan Romawi, dan tidak sedikit pula jumlah mereka yang tewas—meskipun tak dapat mereka pastikan—konon apa lagi yang akan dapat mereka lakukan dengan adanya bala bantuan yang baru didatangkan itu.

Oleh sebab itu, pihak Romawi jadi menjauhkan diri dari serangan Khalid dan merasa gembira jika Khalid tidak sampai menyerang mereka. Tetapi sebenarnya, justru Khalid yang lebih senang. Ia dapat menarik mundur pasukannya, kembali ke Madinah, setelah mengalami pertempuran yang tidak membawa kemenangan buat pasukan Muslimin. Dan juga tidak membawa kemenangan bagi pihak lawan.

sumber : republika.co.id

Wanita-Wanita Teladan: Ummu Haram, Syahid di Pulau Siprus


Nama lengkapnya Ummu Haram binti Mulhan bin Khalid bin Zaid bin Haram. Ia adalah seorang sahabat wanita yang selalu ikut berangkat bersama pejuang Muslim dan sempat mengikuti beberapa kali pertempuran. Ia sempat ikut dalam penaklukan Siprus bersama suaminya, Ubadah bin Shamit, dan syahid di tempat itu.

Ummu Haram adalah saudara Ummu Sulaiman, bibi Anas bin Malik, pembantu Rasulullah SAW. Ummu Haram dan kedua saudaranya—Ummu Sulaim dan Haram—ikut dalam Perang Badar dan Uhud. Dan kedua-duanya syahid pada perang Bi’r Ma’unah.

Ummu Haram termasuk wanita yang terhormat, ia memeluk Islam dan berbaiat kepada Nabi SAW serta ikut berhijrah. Rasulullah memuliakan Ummu Haram dan pernah berkunjung ke rumahnya dan istirahat sejenak di sana. Ummu Haram dan Ummu Sulaim adalah bibi Rasulullah, apabila dihubungkan dengan sepersusuan ataupun dikaitkan dengan nasab, sehingga menjadi halal menyendiri keduanya.

Anas bin Malik pernah berkata, "Rasulullah masuk ke rumah kami, yang mana tidak ada yang di dalam melainkan saya, ibuku (Ummu Sulaim) dan bibiku Ummu Haram. Beliau bersabda, 'Berdirilah kalian, aku akan shalat bersama kalian.' Maka beliau shalat bersama kami pada saat bukan waktu shalat wajib."

Ummu Haram bercita-cita dapat menyertai peperangan bersama mujahidin yang menaiki kapal untuk menyebarkan dakwah dan membebaskan manusia dari peribadatan kepada sesama hamba menuju peribadatan kepada Allah saja. Akhirnya, Allah mengabulkan keinginannya dan mewujudkan cita-citanya.

Anas bin Malik menuturkan, apabila Rasulullah SAW pergi ke Quba’, beliau mampir ke rumah Ummu Haram. Kemudian Ummu Haram menyediakan makanan untuk beliau. Rasulullah bersandar di dinding kemudian tertidur. Tidak beberapa lama kemudian beliau bangun lalu tertawa.

Ummu Haram bertanya, "Apa yang membuatmu tertawa, wahai Rasulullah?"

Beliau bersabda, "Sekelompok manusia dari kelompokku, mereka berperang di jalan Allah dan berlayar di lautan sebagaimana raja-raja di atas pasukannya atau laksana para raja yang memimpin pasukannya."

"Wahai Rasulullah, doakanlah agar aku termasuk golongan mereka," pinta Ummu Haram.

"Engkau termasuk golongan para pelopor," kata Rasulullah.

Tatkala dinikahi oleh Ubadah bin Shamit, mereka keluar untuk berjihad bersama ke Siprus. Di sanalah Ummu Haram syahid ketika terlempar dari hewan yang ditungganginya. Ia kemudian dikubur di sana. Ketika itu pemimpin pasukan adalah Muawiyah bin Abu Sufyan pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 27 Hijriyah.

Ummu Haram termasuk salah satu dari keluarga mulia yang setia terhadap prinsip yang dipegangnya. Ia mencurahkan segala kemampuannya untuk menyebarkan Islam, dan tidak mengharapkan sesuatu selain ridha Allah SWT.

Ummu Haram meriwayatkan lima hadits dari Rasulullah SAW. Beberapa orang juga meriwayatkan hadits darinya. Di antara mereka adalah Ummu Hakim binti Zubair, Anas bin Malik, Atha bin Yasar, dan suaminya, Ubadah bin Shamit.

sumber : republika.co.id

Halaman Ke