Senin, 19 Desember 2011

Jadi Muslimah, Jessica Fay Tidak Lagi Dijuluki 'Si Blonde Bodoh'


Rambut pirang Jessica Fay kini tertutup balutan kain. Ya, ia telah menjadi seorang Muslimah dan konsisten mengenakan jilbab. "Akhirnya, aku tidak lagi mendengar cemooh yang mengatakan diriku sebagai 'si pirang bodoh'," ungkap Jessica seperti dikutip columbiamissourian.com, Rabu (7/12).

Selama dua tahun terakhir, Jessica mendalami Islam. Ia tak mau hanya sekedar bersyahadat.Tak lama setelah menyatakan keislamannya, ia pun memutuskan mengenakan jilbab.

"Ada banyak alasan aku memutuskan mengenakan jilbab. Alquran telah mengajarkan bagaimana seorang Muslimah berpakaian yakni menutupi kepala sampai kaki, dengan sebagian besar lengan tertutup," kata dia.

Ia sadar putusannya menjadi Muslim dan mengenakan jilbab akan menarik perhatian lingkungan di sekitarnya. Ia pun menjadikan pandangan orang lain sebagai latihan memperkuat keimannya. "Aku merasa bahagia. Aku tidak lagi melihat pria melihat tubuhku. Mereka justru mengalihkan perhatian ke objek yang lain," kata dia.

Jessica mengaku semenjak mengenakan jilbab, ia merasa lebih terhormat dan bermartabat."AKu tidak perlu menunjukan bagian tubuhku untuk mendapatkan rasa hormat dari seorang pria," ungkapnya.

Kembali Muslim

Jessica butuh beberapa tahun untuk beradaptasi mengenakan jilbab. Ia mengawali jilbab saat umrah ke Tanah Suci. Di sana, Jessica kian mantap mendalami Islam. Ia kian kuat karena bertemu saudara-saudara seiman dari segala penjuru dunia.

Jessica lalu menyebut keputusannya berpindah agama merupakan proses pembalikan. "Dalam Islam, apa yang mereka yakini adalah semua bayi dilahirkan muslim. Jika keluarga mereka bukan Muslim, mereka belajar agama yang berbeda, maka saat ia menjadi Muslim artinya bukan berpindah tetapi kembali," katanya.

Bagi Jessica yang tidak dibesarkan dalam lingkungan Muslim, menjadi Muslim merupakan hal yang sulit. Ia harus melawan arus budaya yang berbeda jauh. Ia diwajibkan shalat lima waktu, tidak mengkonsumsi alkohol, berhubungan seks diluar nikah dan dilarang mengkonsumsi babi.

"Sulit awalnya," kata dia.

Namun, ia beruntung. Lingkungan tempat ia tinggal begitu terbuka dengan perubahan dirinya. Mereka bahkan tertarik untuk berdiskusi tentang Islam. "Aku seorang kulit putih. Mereka tentu penasaran dengan apa yang aku kenakan. Tapi aku senang, mereka begitu terbuka," kata dia.

Fay mengatakan ia berharap penampilannya akan membantu mereka yang tidak memahami Islam untuk mengajukan pertanyaan. Dia ingin menjadi Muslim yang baik dengan menjaga kehormatan agamanya.

"AKy berharap dapat berbicara banyak tentang Islam kepada mereka yang belum memahaminya. Aku sebenarnya orang yang pemalu tapi aku akan coba untuk menjalankan tugasku menyebarkan syiar Islam," ujarnya.

sumber : republika.co.id

Kisah Muhamad dari Keluarga Zionis , Saat Remaja Ia Hampa dan Haus Spiritualitas


Dulu, bagi Muhammad, Islam hanya sebatas jawaban tentang kehampaan yang ada di hatinya. Meskipun sudah bersyahadat di tahun 1970-an ia tak lantas melakukan kewajiban shalat dan puasa. “Pada dasarnya, aku naif dan bodoh,” akunya.

Ia hanya merasa ingin menjadi muslim seperti orang-orang yang ia temui. Saat bekerja di Universitas New York, ia banyak bertemu dengan orang muslim yang menurutnya memiliki sikap kemurahan hati, kerendahan hati, dan berkarisma. “Aku ingin memeluk agama seperti orang-orang yang aku kagumi itu,” kata dia.

Ketidaktahuannya soal ibadah membuatnya sempat melalaikan kewajibannya ketika awal menjadi seorang Muslim. Namun, kini shalat dan puasa sudah menjadi kebutuhannya. Berdoa sekarang telah menjadi seperti ‘menyikat gigi ketika sehabis makan’, sesuatu yang spontan dilakukan.

Bahkan puasa Ramadhan kini menjadi ibadah yang ia nanti-nantikan saban tahun. Saat-saat membahagiakan adalah ketika bisa berkumpul dengan komunitas muslim.

Lahir sebagai seorang Yahudi, Muhammad tak pernah merasakan nikmatnya menjadi hamba Tuhan. Orang tuanya adalah Yahudi kelas menengah yang tinggal di New York. Keluarga itu, bukan keluarga penganut Yahudi biasa. “Keluargaku lebih dekat dengan Zionis,” ujarnya.

Ada kehampaan yang mulai merasuk dalam jiwanya ketika masa remajanya hampir habis. Muhammad tak pernah merasakan tumbuh dengan ajaran agama atau petunjuk Tuhan. Ia merasa haus kebutuhan spiritual

Saat memasuki masa kuliah, mulai mencari suatu kebahagiaan yang nilainya lebih dari sekedar materi. “Aku ingin sesuatu yang lebih dari sekedar mengejar gaya hidup materialistis,” kata dia. Ia tak merasa bahagia dengan mobil, televisi atau apapun yang sifatnya materi.

Saat kuliah, ia mencoba mencari jawab atas semaua rasa ingin tahunya tentang Tuhan. Ia banyak menghabiskan waktu dengan para filsuf dan dosen untuk mempelajari agama. Ia menghabiskan waktu dengan Dalai Lama, penganut Buddha, Hindu, anggota gereja dan para Rabi Yahudi. Dari sekian banyak agama yang ia pelajari. Namun saat itu belum pernah sekalipun ia berkenalan dengan Islam.

Ia tak pernah mendengar tentang Islam sebelum bekerja di Universitas New York pada pertengahan tahun 1970-an. Islam adalah hal asing baginya. Pada awalnya ia pikir Islam agama yang terlalu banyak aturan. Banyak larangan ‘ini-itu’. “Saya tak yakin bisa menerima semua peraturan itu,” ujar dia.

Namun ketika telah mengenal ternyata aturan-aturan itu tak menjadi soal baginya. Islam melarang makan babi, minum alkohol, dan semua bukan hal berat karena pada dasarnya ia tak suka makan babi atau minum alkohol.

Ia jatuh cinta dengan Islam saat mengetahui banyak hal tentang kehidupan yang diajarkan oleh agama ini. ”Ada shalat, puasa dan beramal 2,5 persen dari kekayaan setiap tahun,” kata dia.

Satu hal yang benar-benar ia kagumi dalam Islam adalah tak ada jarak antara manusia dengan Tuhan. “Allah selalu menunjukkan dirinya.” Ia merasa dekat dengan Tuhan yang selama ini ia cari. Di dalam Alquran, semua isinya adalah bahwa Allah maha pemaaf. “Sebelum shalat kita juga melakukan wudhu untuk mengapus dosa-dosa kecil kita,” kata dia.

Muhammad yakin dengan keimanannya. Seuatu ketika seorang temannya Nasrani bertanya mengapa ia tidak memeluk Kristen. Dengan diplomatis ia berkata, “Kalau saya harus menyembah manusia, maka saya akan menyembah Adam. Yesus tidak memiliki ayah, Adam bahkan tak memiliki ayah dan ibu."


Sebagai seorang muslim, ia yakin bahwa apa yang diajarkan Yesus sebenarnya juga menyeru untuk menyembah kepada Allah saja.

Nikmat Islam yang dirasakannya ia coba tularkan juga kepada orang lain. Setelah memeluk Islam, ia sempat mendapat kesempatan bernilai dengan mengantarkan seorang nasrani menjemput hidayah.

Suatu hari di hari Jumat, Muhammad sedang berada di masjid. Ia tiba-tiba batuk cukup parah. Ia merasa perlu keluar dari masjid untuk mengambil air minum agar batuknya tak menganggu jamaah lain.

“Saat keluar, aku melihat ada seorang pria yang tertarik masuk Islam,” ujar dia. Pria yang ia temui di beranda masjid itu kebingungan bagaimana untuk berkomunikasi dengan orang muslim. “Ia tak tahu bagaimana caranya masuk masjid, ia juga tak tahu bagaimana bertanya soal Islam,” kata dia.

Muhammad lalu memperkenalkan kepada pria yang baru dikenalnya bagaimana cara berwudhu. Mereka ngobrol, Muhammad juga menunjukkan bagimana cara shalat. Ia memperkenalkan pria itu dengan para jamaah lain. “Alhamdulilah, ia kini memeluk Islam. Itu hidayah Allah, tapi mungkin melalui perantara diriku,” ujarnya.

Kisah Lia Rojas , Ingin Mendalami Agama yang Dianutnya, Ia Malah Terpikat Islam


Lia Rojas memeluk Islam sejak enam bulan lalu. Sebelumnya, wanita asal Dallas, Texas ini memeluk Katolik sejak kecil. Ia bersyahadat setelah mempelajari Islam selama satu tahun.

Rojas mengalami sebuah proses yang unik dalam menemukan Islam. Awalnya, ia yang seorang calon guru agama Katolik berniat mempelajari lebih dalam ajaran agama yang dianutnya sebagai bekal memberikan ajaran kepada murid-muridnya.

Rencananya, ia akan membawakan materi ‘Mengapa Katolik’. Sebelum memeberikan materi itu, ia benar-benar mempersiapkan diri. Hampir delapan bulan ia berupaya membekali diri untuk mengajar. Siapa sangka, saat ia berniat mempelajari lebih dalam agama Katolik, ia justru ‘tersandung’ Islam.

Sempat ia bercerita kepada temannya yang muslim, sang kawan semakin ‘mendorongnya’ kepada cahaya Islam. “Saya punya beberapa teman Muslim tapi saya tidak tahu mereka adalah Muslim. Saya memberitahu mereka tentang kelas saya dan bagaimana saya sedang belajar tentang Islam,” ujar Rojas.

Rojas lalu diberi salinan Alquran dalam bahasa Inggris yang kemudian ia pelajari lebih jauh. Selama waktu delapan bulan itu, ia justru lebih banyak mempelajari Islam dibanding mendalami agama Katolik.

Sebuah proses menuju cahaya Islam yang ditemukan dengan jalan yang tak pernah ia pikirkan. Sejak saat itu, ia tak lagi pergi ke gereja. Ia malah membatalkan mengajar kelas Katolik, tugas yang awalnya dipercayakan padanya.

Hampir seperti mualaf lain, Rojas juga mempelajari Alquran melalui internet. “Kemudian saya mulai mengunjungi ke masjid,” ujar dia.

Saat menemukan hidayah Islam, Rojas kini beranggapan Allah-lah yang telah menyelamatkannya dari segala kebutaan yang pernah ia lalui. “Sebelumnya kita berdoa kepada Maria atau Yesus untuk menolong kita. Aku berumur 40 tahun dan aku nyaris tidak menyadarinya (kesalahan dalam berdoa),” ujar dia.

Ia kini menyadari Maria adalah ibu dari Yesus Kristus, tapi Maria bukanlah ibu dari Tuhan. “Aku hanya tidak bisa percaya bahwa selama ini aku begitu buta,” kata dia.

Banyak hal yang tak bisa diungkapkan Lia Rojas, mualaf asal Dallas, Texas, ketika pertama kali mengucapkan syahadat. “Sangat istimewa. Itu sangat luar biasa,” ujar dia.

Rojaz mengakui memang sulit pada awalnya menerima respon keluarga dan teman. Tapi sejak pikirannya terbuka ia yakin tak mungkin lagi terus bertahan dengan agama Katolik yang dianutnya. Awalnya memang banyak teman yang tiba-tiba menjauh, tapi itu bukanlah masalah bagi Rojas.

Ketika pertama kali mengucapkan syahadat, kondisi Rojas sangat jauh berbeda dibandingkan yang sekarang. Sekarang ia mengenakan jilbab. Dulu, ia masih suka mengenakan celana pendek dan tank top.

Ada kejadian yang cukup aneh ketika awal memeluk Islam. Ketika itu, ia berniat pergi berbelanja, ia tiba-tiba terpaku di dalam mobil. “Ketika hendak turun dari mobil untuk berbelanja, aku tiba-tiba merasa malu melihat kakiku (masih terbuka),” kata dia.

Ia begitu terpaku hingga tak bisa keluar dari mobil. Tiga kali mencoba keluar, namun ia merasa tak kuasa. Ia mulai bertanya-tanya apa yang sedang terjadi, tiba-tiba saja ia merasa malu dengan apa yang ia kenakan di badan. “Saya pulang ke rumah dan menangis,” kata dia. Itulah awal mula Rojas mulai berkenalan dengan jilbab.

Ia yang kini telah menjadi seorang muslim hanya bersyukur kepada Allah atas hidayah yang diberikan. “Alhamdulillah, jika aku mati hari ini aku akan mati sebagai seorang Muslim,” ujar dia.

sumber : republika.co.id

Halaman Ke