Abu Yazid al-Bistami adalah nama masyhur dari Al 'Arif Billah Sultanul Arifin Asysyaikh Thaifur bin Isa bin Adam bin Sarusyan. Beliau lahir pada tahun 188 H/804 M dan wafat sekitar tahun 261 H/875 M ini merupakan tokoh sufi termashur dan berada di urutan kelima dalam silsilah keguruan Tarekat Naqsyabandiyah. Tidak sedikit tokoh sufi lain yang bersahabat dengannya,beberapa diantaranya adalah Ahmad Ibn Khadrawyh dan Yahya ibn Mu’adz al-Razi.
Ahmad Ibn Khadrawyh
Nama lengkapnya Abu Hamid ibn Ahmad ibn Khadrawyh al Balkhi, seorang syaikh sufi yang begitu agung dalam futuwwah,yaitu perilaku mulia yang mengikuti teladan Nabi SAW, wali, orang-orang bijak,dan para pecinta Allah. Ia belajar kepada Abu Turab al-Nakhsyaby. Ketika datang di Naishabur ke rumah Abu Hafs – sapaan Abu Turab al-Nakhsyaby – beliau berkata, “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih besar hasratnya dan lebih benar kondisi rohaninya dibanding Ahmad ibn Khadrawyh.” Ketika melanjutkan perjalanan ke Bistam menemui Abu Yazid al-Bistami, Abu Yazid pun menyambutnya dengan menyebut, “Ahmad, guru kami.”
Ahmad ibn Khadrawyh menulis karya-karya terkenal mengenai etika dan wacana-wacana cemerlang tentang tasawuf. Ujaran-ujarannya bermutu tinggi dan kebenaran ungkapan-ungkapannya bisa dipertanggungjawabkan. Berikut ucapan-ucapan Ahmad ibn Khadrawyh.
“Tiada tidur yang lebih berat ketimbang kealpaan. Tiada belenggu yang memperbudak ketimbang syahwat. Bila saja muatan berat kealpaan pada dirimu tidak ada, tentu engkau tidak berbuat syahwat.”
“Jalan sudah terbentang dan kebenaran sudah jelas, penggembala telah menyerukan panggilannya. Sesudah itu,jika seseorang kehilangan dirinya sendiri karena kebutaannya sendiri, sungguh keliru mencari-cari jalan, karena jalan menuju Tuhan adalah seperti kilatan sinar matahari. Hendaknya engkau mencari dirimu sendiri, karena bilamana engkau telah menemukan dirimu sendiri, engkau akan sampai pada tujuan perjalanan,karena Tuhan terlalu nyata untuk dicari.”
“Bunuhlah jiwamu itu sehingga ia dapat kamu hidupkan kembali. Tuhan itu terang dan nyata. Jika engkau tidak dapat melihatnya maka matamulah yang buta.”
Ahmad ibn Khadrawyh yang beristri Fatimah putri Amir Balkh, tinggal di Naishabur dan wafat pada 240 H/854 M dalam usia 95 tahun.
Yahya ibn Mu’adz al-Razi
Nama lengkapnya Abu Zakariyya Yahya ibn Mu’adz al-Razi. Pada suatu hari ia menulis sepucuk surat kepada sahabatnya, Abu Yazid al-Bistami, bahwa dia sudah mabuk oleh karena terlalu banyak meminum khamar cinta. Abu Yazid membalas,“Orang lain pun telah meminum air demikian sepenuh lautan, langit dan bumi, tetapi dia belum juga merasa puas,dia masih tetap menjulurkan lidahnya meminta tambah lagi dan tambah lagi.”Tentu yang ia maksud dengan ‘orang lain’ itu adalah dirinya (Abu Yazid) sendiri.
Yahya ibn Mu’adz al-Razi adalah salah seorang murid Ibn Karram yang meninggalkan Rayy, kota kelahirannya dan beberapa lama menetap di Balkh. Kemudian, pindah ke Naishabur dimana beliau wafat pada 258 H/871 M.
Yahya menulis banyak kitab yang sebagian besar telah hilang. Ucapanucapan di dalam bukunya disusun hati-hati, enak didengar, padat isinya, serta berguna bagi pengabdian. Ungkapanungkapannya yang tersebar dan beberapa sajaknya yang sampai kepada pembaca,memiliki gaya yang indah dan berbeda dengan ungkapan para sufi Baghdad dan Khurasan. Ia dikenal sebagai seorang khatib yang memanggil jamaahnya untuk mendekat kepada Allah. Meskipun banyak sufi lain yang suka memberikan khatbah bagi umum, ia adalah satu-satunya sufi yang mendapat julukan al-wa’iz (juru khatbah).
Yahya juga banyak berbicara tentang Cinta illahi. Ia pernah mengatakan, “Cinta sejati tidak redup oleh kekejaman kekasih,dan tidak tumbuh oleh karunia Tuhan, ia senantiasa berlangsung sama.”
Ia pernah berbicara tentang perbedaan antara orang yang datang menghadiri pesta dan orang yang datang ke pesta dengan maksud menemui kekasihnya. Inilah perbedaan antara petapa yang merindukan surga demi kenikmatan dan pecinta yang merindukan wajah gemilang Kekasih Abadinya. Yahya mengucapkan kata-kata yang sering dikutip.
“Maut itu indah, sebab ia menggabungkan sahabat dengan Sahabat.”
Ciri yang paling menonjol dalam kesalehan Yahya adalah renungan suatu kepercayaan mengenai Allah yang penuh kasih sayang. Dalam bentuk dialektis,doa-doanya menunjukkan kontras antara pendosa yang putus asa dan Allah Maha Kuasa yang bisa memaafkan umat-Nya yang papa dengan harta ampunan yang tak habis-habisnya.
Di antara doanya, “Ya, Allah.Kau telah mengirim Musa dan Harun kepada Fir’aun si pemberontak dan berkata. ‘Berbicaralah baik-baik dengannya.’‘Ya, Allah, inilah kebaikan hati-Mu terhadap orang yang menganggap dirinya Tuhan; bagaimana pula gerangan kebaikan hati-Mu terhadap orang yang menjadi abdi-Mu sepenuh jiwanya? Ya, Allah, aku takut kepada-Mu karena Kaulah Tuan. Ya,Allah, bagaimana aku tidak berharap pada-Mu, padahal Kau penuh maaf, dan bagaimana pula aku tidak takut pada-Mu karena Kau Maha Kuasa? Ya, Allah, bagaimana aku datang kepada-Mu karena aku budak yang memberontak, dan bagaimana aku tidak datang kepada-Mu karena Kau Penguasa Yang Pemurah?”
Yahya mempercayai sedalamdalamnya Maha Rahman dan Rahim Tuhan dapat menutup setiap dosa. Sebab betapa pun hampir sempurna seorang manusia, berbuat dosa tetap merupakan sifat manusia.Oleh karena itu, Yahya bermunajat,“Ya, Allah, meskipun aku tidak bisa menghindarkandiri dari dosa, kau bisa memaafkan dosa-dosa. Ya, Allah, aku tidak melakukan apa pun untuk bisa mencapai surga dan aku tidak tahan menghadapi api neraka, segalanya terpulang kepada kemurahan-Mu belaka. Ya, Allah, maafkan aku, karena aku milik-Mu.” (BAMS-MFH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar