Kamis, 30 Juni 2011

Mualaf Aisha: Mereka Katai Aku Teroris dengan Bom di Balik Pakaianku


Lucy Osborne, seorang jurnalis lepas dan penulis ficer, selama beberapa bulan terakhir ini telah mewawancarai perempuan-perempuan di Inggris yang memilih untuk memeluk Islam. Aisha, seorang guru berusia 30 tahun, merupakan salah satu mualaf yang diwawancarainya.

Aisha mengaku sudah memeluk Islam sejak 10 tahun lalu. Dia pun mengganti namanya ketika menikah seorang pria Muslim. ''Beberapa orang berpikir bahwa saya adalah seorang teroris dengan bom di balik gaunku. Anak laki-laki meledekku dengan membuat suara bom ketika aku jalan melewati mereka,'' cerita Aisha.

Meski mereka dapat melihat mata biru dan kulit putih Aisha, sebagian dari mereka masih tidak percaya bahwa Aisha adalah orang Inggris. Meski mendapat perlakuan kurang baik dari sebagian orang Inggris, Aisha mengaku tidak menyesal dengan pilihannya untuk memeluk agama Islam.

Aisha pun beruntung karena keluarganya sangat terbuka dan liberal. Tetapi, ibunya masih sering meminta Aisha melepas jilbabnya ketika ada tetangga datang ke rumah mereka. ''Jadi, tetangga tidak akan mengetahuinya,'' katanya.

Pandangan Miring

Tulisan Lucy Osborne, yang dikirimkan ke The Times, ingin mengupas soal peningkatan jumlah perempuan Inggris yang memeluk Islam. Meski trennya cukup tinggi, para mualaf tersebut masih dipandang dengan penuh kecurigaan.

Laporan Faith Matters menyimpulkan bahwa nilai-nilai Islam mampu beradaptasi dengan kehidupan Barat. Namun demikian, laporan juga menyimpulkan bahwa sebanyak 32 persen pemberitaan tentang Muslim itu dikaitkan dengan terorisme dan ekstrimis sejak insiden Serangan 11 September 2001 pecah. Persentase tersebut meningkat jika pemberitaan tersebut bercerita tentang para mualaf.

Sarah Joseph, editor majalah lifestyle yang juga seorang mualaf, menyebutkan banyak pemberitaan yang menyudutkan Islam. ''Banyak sekali tulisan tentang Islam yang menindaskan kaum hawa,'' katanya. ''Saya sejujurnya tidak mendapati hal tersebut. Saya justru mendapat kebebasan dalam Islam.''

Sarah menilai kaum wanita selama ini dimarginalkan oleh budaya dan bukan oleh agama. Mereka terpinggirkan karena mitos-mitos yang dibuat dengan kepentingan politik dan tekanan.

Mualaf Feminis

Aisha, yang merupakan seorang guru dan ibu tiga anak dari Southampton, mengatakan dirinya tetap seorang feminis meski telah memeluk Islam. Dia menyatakan tidak boleh ada kaum wanita yang ditekan untuk melakukan sesuatu melawan keinginannya.

''Wanita itu seharusnya dinilai dari tingkat humor dan intelektual mereka. Mereka bukan dinilai dari ukuran buah dada atau rok mereka,'' katanya. ''Nilai-nilai tersebut yang membuat Islam begitu memberdayakan kaum wanita.''

Aisha mengakui bahwa ada orang yang memandang dirinya bodoh karena memilih untuk memeluk agama Islam. Tapi, Aisha balik menegaskan bahwa kaum wanita yang memeluk Islam itu kebanyakan adalah kalangan terpelajar. Mereka rata-rata adalah wanita-wanita mapan dengan pekerjaan bagus.

Lagi pula, tambah Aisha, Islam sebenarnya sama dengan Kristen dalam beberapa hal. Karena itu, menjadi mualaf bukan sebuah perubahan dramatis dalam kehidupan Aisha. ''Nilai-nilai utama seperti tidak egois, saling membantu dan kekeluargaan terdapat dalam dua agama tersebut,'' katanya.

sumber : republika.co.id

Kisah Sahabat Nabi: Ali bin Abi Thalib, Menantu Rasulullah yang Terkasih


Dia adalah khalifah pertama dari kalangan Bani Hasyim. Ayahnya adalah Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Abdu Manaf, dan ibunya bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim bin Abdu Manaf.

Ali dilahirkan di dalam Ka'bah dan mempunyai nama kecil Haidarah. Untuk meringankan beban Abu Thalib yang mempunyai anak banyak, Rasulullah SAW merawat Ali. Selanjutnya Ali tinggal bersama Rasulullah di rumahnya dan mendapatkan pengajaran langsung dari beliau. Ia baru menginjak usia sepuluh tahun ketika Rasulullah menerima wahyu yang pertama.

Sejak kecil Ali telah menunjukkan pemikirannya yang kritis dan brilian. Kesederhanaan, kerendah-hatian, ketenangan dan kecerdasannya yang bersumber dari Al-Qur'an dan wawasan yang luas, membuatnya menempati posisi istimewa di antara para sahabat Rasulullah SAW lainnya. Kedekatan Ali dengan keluarga Rasulullah SAW kian erat, ketika ia menikahi Fathimah, anak perempuan Rasulullah yang paling bungsu.

Dari segi agama, Ali bin Abi Thalib adalah seorang ahli agama yang faqih di samping ahli sastra yang terkenal, antara lain lewat bukunya "Nahjul Balaghah".

Syahidnya Utsman bin Affan membuat kursi kekhalifahan kosong selama dua atau tiga hari. Banyak orang, khususnya para pemberontak, mendesak Ali untuk menggantikan posisi Utsman. Para sahabat Rasulullah SAW juga memintanya, akhirnya dengan sangat terpaksa Ali menerima jabatan sebagai khalifah keempat.

Mungkin karena suasana peralihan kekhalifahan kini penuh dengan kekacauan, para pemberontak yang menyebabkan syahidnya usman masih bercokol dan membuat onar. Sementara ada banyak orang yang menuntut ditegakkannya hukum bagi pembunuh Utsman. Situasi saat itu membuat Ali sulit untuk memulai penataan pemerintahan baru yang bermasa depan cerah. Usahanya membuat penyegaran dalam pemerintahan dengan memberhentikan seluruh gubernur yang pernah diangkat Utsman, malah memicu konflik dengan Muawiyah.

Di sisi lain, muncul konflik antara Ali dan beberapa orang sahabat yang dikomandani oleh Aisyah, Ummul Mukminin. Puncak konflik ini menyebabkan meletusnya Perang Jamal (Perang Unta). Dinamakan demikian karena Aisyah mengendarai unta. Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam yang berada di pihak Aisyah gugur, sedangkan Aisyah tertawan.

Pertentangan politik antara Ali dan Muawiyah mengakibatkan pecahnya Perang Shiffin pada 37 H. Pasukan Ali yang berjumlah sekitar 95.000 orang melawan 85.000 orang pasukan Muawiyah. Ketika peperangan hampir berakhir, pasukan Ali berhasil mendesak pasukan Muawiyah. Namun sebelum peperangan dimenangkan, muncul Amr bin Ash mengangkat mushaf Al-Qur'an menyatakan damai.

Terpaksa Ali memerintahkan pasukannya untuk menghentikan peperangan, dan terjadilah gencatan senjata. Akibat kebijakan Ali itu, pasukannya pecah menjadi tiga bagian. Kelompok Syiah dengan segala resiko dan pemahaman mereka tetap mendukungnya. Kelompok Murjiah yang menyatakan mengundurkan diri. Dan kelompok Khawarij yang memisahkan diri serta menyatakan tidak senang dengan tindakan Ali.

Kelompok ketiga inilah yang akhirnya memberontak, dan menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap Ali sebagai khalifah, Muawiyah sebagai penguasa Suriah dan Amr bin Ash sebagai penguasa Mesir. Mereka berencana membunuh ketiga pemimpin itu.

Untuk mewujudkan rencana tersebut, mereka menyuruh Abdurrahman bin Muljam untuk membunuh Ali bin Abi Thalib di Kufah; Amr bin Bakar bertugas membunuh Amr bin Ash di Mesir; dan Hujaj bin Abdullah ditugaskan membunuh Muawiyah di Damaskus.

Hujaj tidak berhasil membunuh Muawiyah lantara dijaga ketat oleh pengawal. Sedangkan Amr bin Bakar tanpa sengaja membunuh Kharijah bin Habitat yang dikiranya Amr bin Ash. Saat itu Amr bin Ash sedang sakit sehingga yang menggantikannya sebagai imam shalat adalah Kharijah. Akibat perbuatannya, Kharijah pun dibunuh pula.

Sedangkan Abdurrahman bin Muljam berhasil membunuh Ali yang saat itu tengah menuju masjid. Khalifah Ali wafat pada tanggal 19 Ramadhan 40 H dalam usia 63 tahun. Syahidnya Ali bin Abi Thalib menandai berakhirnya era Khulafaur Rasyidin.

sumber : republika.co.id

Sejarah Hidup Muhammad SAW: Baiat Ridwan di Bawah Pohon


Kedua kelompok kini tengah memikirkan langkah berikutnya. Adapun Rasulullah sendiri ia tetap berpegang pada langkah yang sudah digariskannya sejak semula, mengadakan persiapan untuk haji dan umrah. Sebuah langkah perdamaian dan menghindari pertempuran; kecuali jika pihak Quraisy yang menyerang atau berkhianat, tak ada jalan lain, beliau pun harus menghunus pedang.

Sebaliknya Quraisy, masih maju-mundur. Kemudian terpikir oleh mereka untuk mengutus beberapa orang terkemuka dari kalangan mereka, untuk menjajagi kekuatannya dan dari segi lain untuk merintangi jangan sampai kaum Muslimin masuk Makkah.

Dalam hal ini, mereka Budail bin Warqa' dalam suatu rombongan yang terdiri dari suku Khuza'ah. Mereka menanyakan kepada kaum Muslimin tentang maksud kedatangan ke Makkah. Setelah diberitahu bahwa kedatangan kaum Muslimin bukan untuk berperang, melainkan hendak berziarah dan memuliakan Baitullah, mereka pun kembali kepada Quraiys.

Budail dan kawan-kawannya meyakinkan Quraisy, agar membiarkan saja Rasulullah dan sahabat-sahabatnya mengunjungi Rumah Suci. Namun mereka malah dituduh bersekongkol oleh Quraisy. Kemudian Quraisy mengutus orang lain, yaitu sekutunya dari golongan Ahabisy.

Ahabisy ialah perkampungan di pegunungan—sebuah kabilah Arab ahli pelempar panah. Dinamakan demikian, karena warna kulit mereka yang hitam atau karena sifatnya yang mengelompok, atau juga dihubungkan pada Hubsy, nama sebuah gunung di hilir Makkah.

Maka berangkatlah Hulais, pemimpin Ahabisy, menuju perkemahan Muslimin. Tatkala Rasulullah melihatnya datang, beliau meminta supaya ternak-ternak kurban itu dilepaskan agar dilihat sendiri oleh Hulais. Sebagai bukti nyata bahwa orang-orang hendak diperangi oleh Quraisy itu tidak lain dari orang-orang yang datang hendak berziarah ke Baitullah.

Hulais dapat menyaksikan sendiri adanya ternak kurban yang tujuh puluh ekor tersebut, berjalan beriringan dari tengah wadi dengan bulu yang sudah rontok. Ia merasa sangat terharu melihat pemandangan itu. Dalam hatinya timbul semangat keagamaannya. Ia yakin bahwa dalam hal ini pihak Quraisylah yang berlaku kejam terhadap mereka, yang datang bukan untuk berperang atau mencari permusuhan.

Ia kembali kepada Quraisy tanpa menemui Rasulullah lagi. Diceritakannya kepada mereka apa yang telah dilihatnya. Tetapi begitu mendengar ceritanya itu, Quraisy naik pitam. "Duduklah!" kata mereka kepada Hulais. "Engkau ini Arab Badui yang tidak tahu apa-apa."

Mendengar itu Hulais naik pitam. Ia memperingatkan bahwa persekutuannya dengan Quraisy bukan untuk merintangi orang berziarah ke Rumah Suci. Siapa saja yang datang berziarah diperbolehkan, dan tidak semestinya dicegah. Ahabisy pun bersiap-sipa hendak kembali ke Makkah.

Khawatir dengan kemarahan Ahabisy itu, Quraisy mencoba membujuknya dan memintanya jangan pergi, sampai mereka dapat memikirkan langkah selanjutnya. Quraisy kemudian kembali mengutus orang yang dianggap bijaksana dan meyakinkan; Urwah bin Mas'ud Ats-Tsaqafi.

Urwah pun berangkat menemui Rasulullah. Ia mengatakan kepada Nabi SAW bahwa Makkah juga tanah tumpah darahnya yang harus dipertahankan. Kalau sampai dirusak, yang akan menderita adalah penduduk yang tinggal di tempat itu, juga kaum Quraisy. Suatu hal yang juga tidak diinginkan oleh Rasulullah, sekalipun antara dia dengan Quraisy terjadi perang terbuka.

Urwah pulang kembali setelah mendapat keterangan Rasulullah, sama seperti yang diberikan kepada utusan-utusan yang datang sebelumnya. Bahwa kedatangannya bukan hendak berperang, melainkan hendak mengagungkan Baitullah, menunaikan kewajiban kepada Allah.

"Saudara-saudara," kata Urwah. "Aku sudah pernah bertemu dengan Kisra, dengan kaisar dan dengan Negus di kerajaan mereka masing-masing. Tetapi belum pernah aku melihat seorang raja dengan rakyatnya seperti Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu. Begitu ia hendak mengambil wuduh, sahabat-sahabatnya sudah lebih dulu bergegas mengambilkan air. Begitu mereka melihat ada rambutnya yang jatuh, cepat-cepat pula mereka mengambilnya. Mereka takkan menyerahkannya bagaimanapun juga. Pikirkanlah kembali baik-baik!"

Sementara kedua belah pihak tengah berusaha hendak mencapai mufakat dengan jalan saling tukar-menukar utusan, beberapa orang yang tidak bertanggungjawab dari pihak Quraisy malam-malam keluar dan melempari kemah Nabi SAW dengan batu. Jumlah mereka hingga 40 atau 50 orang, dengan maksud hendak menyerang sahabat-sahabat Rasulullah.

Namun mereka kemudian tertangkap basah, lalu dibawa kepada Nabi. Tahukah apa yang dilakukan Rasulullah? Beliau memaafkan dan membebaskan mereka, sebagai pertanda bahwa beliau ingin menempuh jalan damai dan menghormati bulan suci. Supaya tidak ada pertumpahan darah di Hudaibiyah, yang juga termasuk daerah suci Makkah.

Mengetahui hal ini pihak Quraisy terkejut sekali. Segala bukti yang hendak dituduhkan bahwa Muhammad bermaksud memerangi mereka, gugur sama sekali. Mereka kini yakin bahwa segala tindakan permusuhan terhadap Rasulullah, akan dipandang sebagai suatu pengkhianatan kotor oleh bangsa Arab.

Rasulullah kemudian mengirim Utsman bin Affan ke Makkah sebagai utusan untuk mengadakan dengan Quraisy. Beliau berpesan agar Utsman menemui Abu Sufyan dan pemuka-pemuka Quraisy lainnya. Ketika memasuki Makkah, Utsman terlebih dahulu menemui Aban bin Sa'id yang kemudian memberikan jiwar (perlindungan) selama ia bertugas membawa pesan Nabi.

Usai menjalankan tugasnya, pemuka Quraiys berkata pada Utsman, "Wahai, Utsman, kalau engkau mau berthawaf di Ka'bah, bertawaflah!"

Namun Utsman menjawab, "Aku tidak akan melakukannya sebelum Rasulullah berthawaf. Kedatangan kami kemari hanya untuk berziarah ke Baitullah, memuliakannya, dan menunaikan kewajiban ibadah di tempat ini. Kami telah datang membawa binatang kurban, setelah disembelih kami pun akan kembali pulang dengan aman."

Pembicaraan pun menjadi lama, dan telah lama pula Utsman meninggalkan kaum Muslimin. Tiba-tiba muncul isu bahwa pihak Quraisy telah membunuh Utsman secara gelap dan tipu muslihat. Kaum Muslimin di Hudaibiyah begitu gelisah memikirkan keadaan Utsman. Terbayang oleh mereka kelicikan Quraisy serta tindakan mereka membunuh Utsman di bulan suci. Semua agama orang Arab tidak membenarkan seseorang membunuh musuhnya di sekitar Ka'bah atau di sekitar Makkah yang suci.

Rasulullah SAW juga merasa khawatir jika Quraisy telah berkhianat dan membunuh Utsman di bulan suci itu. Beliau berkata kepada para sahabat, "Kita tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum kita dapat menghadapi mereka."

Rasulullah lalu memanggil para sahabat untuk berikrar di bawah sebatang pohon di lembah itu. Mereka semua berbaiat (berjanji setia) untuk tidak beranjak sampai mati sekalipun. Kaum Muslimin berbaiat kepada Rasulullah dengan iman yang teguh, dan kemauan yang keras. Semangat mereka sudah berkobar-kobar hendak menuntut balas atas pengkhianatan dan pembunuhan tersebut. Baiat ini kemudian dikenal dengan sebutan Baiat Ridwan.

Dalam hal ini, turunlah firman Allah SWT: "Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)." (QS Al-Fath: 18)

Usai baiat tersebut, Nabi SAW menepukkan sebelah tangannya pada tangan yang lain, sebagai tanda ikrar buat Utsman, seolah ia juga turut hadir dalam Baiat Ridwan. Namun tiba-tiba tersiar kabar bahwa Utsman tidak terbunuh, dan tak lama kemudian Utsman sendiri muncul ke tengah-tengah mereka. Walau demikian, Baiat Ridwan tetap berlaku, seperti halnya dengan Baiat Aqabah Kedua, sebagai tanda dalam sejarah Islam.

sumber : republika.co.id

Wanita-Wanita Terkemuka: Zainab binti Muhammad SAW, Keteguhan Hati Seorang Istri


Zainab dilahirkan ketika Rasulullah SAW berusia 30 tahun. Ketika dia beranjak dewasa dan mencapai umur pernikahan, Halah binti Khuwailid meminta pada saudaranya, Khadijah binti Khuwailid (istri Rasulullah), agar Zainab kawin dengan anaknya, Abul Ash bin Rabi’. Rasulullah SAW kemudian menikahkan Abul Ash dengan Zainab. Tak lama kemudian Abul Ash bin Rabi' memboyong Zainab ke rumahnya.

Khadijah pergi menemui kedua suami istri yang saling mencintai itu dan mendoakan agar keduanya mendapatkan berkah. Kemudian dia melepas kalungnya dan mengalungkannya ke leher Zainab sebagai hadiah perkawinan.

Pekawinan itu berlangsung sebelum turun wahyu kepada ayahnya, Nabi SAW. Ketika wahyu telah turun kepada Rasulullah SAW, beliau mengajak Abul Ash untuk memeluk Islam, namun dia menolak dan memilih tetap menjadi seorang musyrik. Sementara Zainab memilih masuk Islam dan memeluk agama Allah. Ia tetap dalam keislamannya sedang suaminya tetap dalam kekafiran, sehingga tiba masanya Nabi untuk berhijrah.

Setelah Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, pasukan Quraisy berangkat menuju Badar untuk memerangi Rasulullah dan umat Islam. Di antara mereka terdapat Abul Ash bin Rabi', bukan untuk menyatakan keislamannya, tetapi untuk memerangi Rasulullah.

Perang pun berkecamuk dan dimenangkan oleh kaum Muslimin. Sebagian besar tentara Quraiys tewas dan sebagian lagi tertawan, termasuk Abul Ash. Para tawanan pun digiring ke Madinah oleh kaum Muslimin.

Kemudian kaum Quraisy mengutus orang untuk menebus para tawanan. Zainab pun mengirimkan uang tebusan untuk menebus suaminya, Abul Ash bin Rabi'. Di antara uang yang dikirimkan Zainab terselip seuntai kalung pemberian ibunya ketika ia menikah dulu.

Ketika Rasulullah SAW melihat kalung tersebut, beliau bersedih hati dan berkata, "Jika kalian tidak keberatan melepaskan tawanan dan mengembalikan harta miliknya, maka lakukanlah."

Para sahabat menjawab :"Baiklah, wahai Rasulullah."

Kemudian mereka melepaskan Abul Ash dan mengembalikan harta milik Zainab. Abul Ash berjanji kepada Rasulullah SAW bahwa ia akan membebaskan Zainab dan mengembalikannya kepada beliau di Madinah.

Ketika Abul Ash dilepaskan dan tiba di Makkah, Nabi SAW mengutus Zaid bin Haritsah dan seorang dari kalangan Anshar untuk mewakilinya. Beliau berpesan, "Pergilah kalian hingga berada di daerah Ya’jaj—sebuah tempat di dekat Makkah—hingga Zainab melewati kalian berdua. Maka hendaklah kalian menemaninya hingga kalian berdua datang padaku dengan membawanya!"

Abul Ash sangat berterima kasih kepada istrinya yang berbakti dan mulia itu. Maka ia pun berkata, "Kembalilah kepada ayah mu, wahai Zainab."

Abul Ash telah memenuhi janjinya kepada Rasulullah SAW untuk membiarkan Zainab kembali padanya. Ia tak kuasa menahan tangis dan tak dapat mengantarkan istrinya ke tepi dusun di luar Makkah, di mana telah menunggu Zaid bin Haritsah dan seorang laki-laki Anshar.

Abul Ash meminta saudaranya, Kinanah bin Rabi', untuk mengantarkan Zainab. Abul Ash berpesan pada Kinanah, "Saudaraku, tentulah engkau mengetahui kedudukannya dalam jiwaku. Aku tidak menginginkan seorang wanita Quraisy di sampingnya dan engkau tentu tahu bahwa aku tidak sanggup meninggalkannya. Maka temanilah dia menuju tepi dusun, di mana telah menungggu dua utusan Muhammad. Perlakukanlah dia dengan lemah lembut dalam perjalanan dan perhatikanlah dia sebagaimana engkau memerhatikan wanita-wanita terpelihara. Lindungilah dia dengan panahmu hingga anak panah yang penghabisan."

Setelah menyelesaikan persiapan, Kinanah bin Rabi' menyerahkan seekor unta kepada Zainab, lalu dinaikinya. Kinanah mengambil busur dan anak panahnya, kemudian keluar membawa Zainab di waktu siang. Zainab duduk di dalam sekedup, sementara Kinanah menuntun untanya.

Kabar tentang kepergian Zainab menemui Muhammad SAW, ayahnya, terdengar oleh beberapa orang Quraisy sehingga mereka keluar untuk mengejarnya. Beberapa saat kemudian mereka melihat Zainab di suatu lembah yang disebut Dzi Thuwa. Orang yang pertama kali menyusulnya adalah Hubar bin Al-Aswad dan Nafi’ bin Abdul Qais Al-Fahri. Hubar menakut-nakutinya dengan tombak agar ia kembali ke Makkah. Zainab masih berada di atas untanya, pada saat itu dia sedang hamil. Ketika dia kembali ke Makkah, dia mengalami keguguran.

Melihat saudara iparnya diperlakukan demikian, Kinanah marah dan menyiapkan panahnya. "Demi Allah, tidak ada seorang pun yang mendekati diriku kecuali aku tancapkan anak panah padanya."

Mendengar hal tersebut orang-orang menjadi gentar. Tak lama kemudian Abu Sufyan bersama rombongan Quraisy datang dan berkata pada Kinanah, "Hai laki-laki, tahanlah panahmu hingga aku berbicara kepadamu."

Maka Kinanah pun menahan panahnya. Abu Sufyan datang menghampirinya dan berkata, "Tindakanmu tidak tepat. Engkau keluar membawa wanita secara terang-terangan di hadapan orang banyak. Sesungguhnya hal itu menunjukkan kehinaan yang menimpa kita akibat musibah dan bencana yang telah kita alami sebelumnya. Sesungguhnya hal itu menunjukkan kelemahan kita. Demi umurku, kami tidak perlu mencegahnya untuk pergi kepada ayahnya. Kami tidak ingin membalas dendam, tetapi kembalikan wanita itu."

Tatkala suasana agak reda, Kinanah membawa Zainab pada waktu malam, lalu menyerahkannya kepada Zaid bin Haritsah dan temannya. Keduanya pergi mengantarkan Zainab kepada Rasulullah SAW. Suami istri itu pun berpisah.

Beberapa saat sebelum terjadi penaklukan kota Makkah (Fathu Makkah), Abul Ash berangkat ke luar kota Makkah untuk berdagang ke negeri Syam. Dia dipercaya sebagai orang yang penuh amanah dengan harta yang dititipkan padanya dari para pembesar Quraisy untuk diperdagangkan olehnya.

Ketika selesai berdagang, dia mendekati sebuah rombongan kafilah dan kemudian bertemu dengan pasukan Rasulullah SAW yang menyergap mereka dan mengalahkan mereka. Sehingga membuat kafilah tersebut lari tunggang langgang.

Teringat akan Zainab dengan cinta kasih dan kesetiaannya, Abul Ash memasuki kota Madinah pada waktu malam dan memohon kepada Zainab agar melindungi dan membantunya untuk mengembalikan hartanya. Maka Zainab pun melindunginya.

Ketika waktu Subuh tiba Rasulullah SAW keluar untuk melaksanakan shalat. Saat takbiratul ihram, tiba-tiba Zainab berteriak di barisan perempuan, "Wahai manusia, aku telah melindungi Abul Ash bin Rabi'. Dia dalam lindungan dan jaminanku."

Rasulullah SAW menyelesaikan shalatnya, lalu beliau menemui orang banyak dan bertanya, "Apakah kalian mendengar apa yang aku dengar?"

"Ya," jawab mereka.

Beliau bersabda, "Demi Dzat yang menggenggam jiwa Muhammad, aku belum pernah melakukan sesuatu hingga aku mendengar apa yang telah kalian dengar bersama bahwa ada orang yang memberikan sesuatu yang semestinya dimiliki oleh kaum Muslimin."

Kemudian beliau masuk menemui putrinya dan berbicara kepadanya, "Wahai putriku, muliakanlah tempat ini dan jangan sampai dia kembali kepadamu, karena engkau tidak halal baginya selama dia masih musyrik."

Nabi SAW terkesan melihat kesetiaan putrinya kepada suaminya yang ditinggalkan dan dia putuskan hubungan syahwat dengannya karena perintah Allah SWT. Di samping itu, Zainab pun masih tetap memberinya kebaktian, kesetiaan dan pertolongan; kebaktian sebagai wanita Muslim, kesetiaan sebagai teman dan pertolongan sebagai manusia.

Kemudian Nabi SAW mengutus orang kepada pasukan yang merampas harta Abul Ash. Beliau berkata, "Sesungguhnya kalian telah mengetahui kedudukan orang ini terhadap kami. Kalian telah merampas hartanya. Jika kalian berbuat baik kepadanya dan mengembalikan hartanya, maka kami menyukai hal itu. Jika kalian menolak, maka itu adalah fai' dari Allah yang diberikan-Nya kepada kalian dan kalian lebih berhak atasnya."

Mereka berkata, "Kami akan mengembalikannya kepada Abul Ash."

Beberapa orang di antara mereka berkata, "Hai Abul Ash, maukah engkau masuk Islam dan mengambil harta benda ini, karena semua ini milik orang-orang musyrik?"

Abul Ash menjawab,"Sungguh buruk awal keislamanku, jika aku mengkhianati amanahku."

Maka mereka mengembalikan harta itu kepadanya demi kemuliaan Rasulullah SAW dan sebagai penghormatan kepada Zainab. Abul Ash pun kembali ke Makkah dengan membawa hartanya dan harta orang banyak.

Setelah mengembalikan harta kepada pemiliknya masing-masing, Abul Ash berdiri dan berkata, "Wahai kaum Quraisy, apakah masih ada harta seseorang di antara kalian padaku?"

Mereka menjawab, "Tidak. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Kami telah mendapati kamu seorang yang jujur dan mulia."

Abul Ash berkata, "Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Demi Allah, tiada yang menghalangi aku masuk Islam di hadapannya (Rasulullah SAW), ke cuali karena aku khawatir mereka menyangka aku ingin makan harta kalian. Setelah Allah menyampaikannya kepada kalian dan aku selesai membagikannya, maka aku masuk Islam."

Abul Ash pun keluar dari Makkah, hijrah menuju Madinah dengan mendapat petunjuk iman dan keyakinan. Suami istri yang saling mencintai itu pun bertemu untuk kedua kalinya setelah lama berpisah.

Zainab telah menunaikan kewajiban dan menyelesaikan urusan dunianya ketika menyadarkan laki-laki yang dicintainya serta memenuhi hak suaminya sesuai dengan kadar cintanya kepada suami. Tidak lama setelah pertemuan itu, Zainab meninggal dunia pada tahun ke-8 Hijriyah.

Rasulullah SAW sangat sedih atas kepergiannya. Zainab meninggalkan dunia dengan kenangan terbaik. Dia menjadi contoh terbaik dalam hal kesetiaan istri, keikhlasan cinta dan kebenaran iman.

sumber : republika.co.id

Rabu, 29 Juni 2011

Wanita-Wanita Terkemuka: Ummu Hakim binti Al-Harits, Malam Pengantin Berkado Syahid


Nama lengkapnya adalah Ummu Hakim binti Al-Harits bin Hisyam bin Mughirah Al-Makhzumiyah. Dia adalah putri saudaranya Abu Jahal, Amru bin Hisyam, yang menjadi musuh Allah dan Rasul-Nya. Adapun ibunya bernama Fathimah binti Al-Walid, saudara sepupu si Pedang Allah, Khalid bin Walid.

Ummu Hakim diberi nikmat berupa kecemerlangan akal dan hikmah. Ayahnya, Al-Harits, menikahkan dirinya pada masa Jahiliyah dengan putra pamannya, yaitu Ikrimah bin Abu Jahal. Ikrimah adalah salah satu di antara orang-orang yang telah diumumkan Rasulullah untuk dibunuh.

Ummu Hakim adalah seorang mujahidah yang mulia. Pernah suatu kali sebelum memeluk Islam, dia turut serta berperang melawan kaum Muslimin bersama suaminya Ikrimah bin Abu Jahal. Ketika kaum Muslimin mendapat kemenangan dan kota Makkah telah ditaklukkan, Ikrimah bin Abu Jahal melarikan diri ke Yaman, karena dia mendengar ancaman Rasulullah SAW terhadapnya.

Ketika manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka Al-Harits dan putrinya, Ummu Hakim, pun masuk Islam. Ummu Hakim termasuk wanita yang berbaiat kepada Rasulullah SAW dan ia merasakan manisnya iman yang telah memenuhi kalbunya. Sehingga kemudian ia ingin agar orang yang paling dicintainya dan paling dekat dengannya yaitu suaminya, Ikrimah bin Abu Jahal, merasakan manisnya iman sebagaimana yang ia rasakan.

Ia pun menghadap Rasulullah untuk meminta jaminan keamanan bagi suaminya bila dia masuk Islam. Alangkah girangnya hati Ummu Hakim mendengar jawaban Rasulullah SAW yang mau memaafkan dan menjamin keamanan jiwa suaminya.

Selanjutnya, ia pun segera berangkat untuk mengejar suaminya yang melarikan diri, dengan harapan dapat menemukannya sebelum kapal berlayar. Ummu Hakim menempuh perjalanan yang sulit dengan membawa perbekalan yang minim. Namun ia tidak berputus asa. Takdir Allah berkehendak, ia pun dapat bertemu dengan suaminya di pesisir pantai Tahamah.

Ketika melihat suaminya telah menaiki bahtera dan hendak berlayar. Ummu Hakim berteriak memanggilnya, "Wahai sepupu, aku telah datang dari manusia yang terbaik dan termulia. Jangan kau hancurkan dirimu sendiri. Aku telah meminta padanya jaminan kemanan buatmu, kemudian beliau telah memberikan jaminan kemanan itu."

"Benarkah kau telah melakukan hal itu?" tanya Ikrimah.

"Benar," jawab Ummu Hakim. "Aku telah berbincang dengannya dan beliau telah menjanjikan keamanan buat dirimu."

Ummu Hakim kemudian menceritakan kepada suaminya tentang akidah yang telah memenuhi kalbunya dan telah ia rasakan manisnya. Ia juga menuturkan tentang pribadi Rasulullah yang mulia dan bagaimana beliau memasuki Makkah dengan menghancurkan berhala-berhala di dalamnya, serta memberi maaf kepada manusia dengan jiwa yang besar.

Akhirnya Ikrimah kembali lagi bersamanya dan berangkat menuju rumah Rasulullah. Ummu Hakim dan suaminya meminta izin untuk bertemu dengan Rasulullah. Umar memberi kabar pada Rasulullah SAW terkait kedatangan Ikrimah. Di hadapan Rasulullah SAW, Ikrimah mengumumkan keislamannya dan memulai lembaran hidup baru.

Selanjutnya, Ikrimah senantiasa tenggelam dalam ibadah dan jihad fi sabililillah. Ia selalu terjun dalam kancah peperangan, memanggul senjata, memburu syahid. Niat tulusnya mencari syahid akhirnya dikabulkan Allah SWT.

Sebagai wanita Mukminah, tak sedikit pun Ummu Hakim bersedih hati atas kematian suaminya. Sebab ia sendiri sangat merindukan syahid sebagaimana yang telah diraih para sahabat Rasulullah yang lain. Bagi Ummu Hakim, syahid adalah angan-angan dan cita-cita tertinggi seorang Mukmin sejati.

Tak berselang lama setelah syahidnya sang suami, Ummu Hakim dilamar oleh seorang panglima kaum Muslimin bernama Khalid bin Sa’id. Tatkala terjadi Perang Marajush, Khalid hendak mengumpulinya.

Namun Ummu Hakim menolak dan berkata, “Seandainya saja engkau menundanya hingga Allah menghancurkan pasukan musuh.”

“Sesungguhnya aku merasa bahwa aku akan terbunuh,” kata Khalid.

Ummu Hakim berujar, “Jika demikian, silakan!”

Maka Khalid melakukan malam pengantin dengan Ummu Hakim di atas jembatan yang di kemudian hari dikenal dengan jembatan Ummu Hakim.

Pada pagi harinya mereka mengadakan walimah. Belum lagi mereka selesai makan, pasukan Romawi datang menyerang. Sang pengantin laki-laki yang juga sebagai panglima perang terjun ke jantung pertempuran. Ia berperang hingga syahid.

Melihat suami keduanya juga syahid, Ummu Hakim mengencangkan baju yang ia kenakan kemudian berlari menyongsong pasukan musuh. Dengan tiang kemah yang dijadikan tempat walimah, ia memburu musuh-musuh Allah dan berhasil membunuh tujuh orang di antaranya, sebelum ia gugur sebagai syahidah.

Alangkah indahnya malam pertama dan pagi yang dilalui Ummu Hakim. Malam pertamanya dinikmati di medan perang, pagi harinya ia tersenyum menghadap Tuhan.

sumber : republika.co.id

Sejarah Hidup Muhammad SAW: Perjalanan ke Hudaibiyah


Berita tentang Muhammad SAW dan rombongannya serta tujuan kepergiannya hendak menunaikan ibadah haji itu sampai juga kepada Quraisy. Timbul rasa khawatir di hati mereka. Mereka menduga kedatangan Rasulullah hanya sebagai suatu tipu muslihat semata. Mereka menganggap Rasulullah hendak menipu supaya dapat memasuki Makkah, karena Quraisy dan golongan Ahzab pernah pula dilarang memasuki Madinah.

Oleh sebab itu, sebuah pasukan tentara yang barisan berkudanya saja terdiri dari 200 orang, segera dikerahkan oleh Quraisy yang pimpinannya diserahkan kepada Khalid bin Walid dan Ikrimah bin Abu Jahal. Pasukan ini bergerak maju untuk merintangi Rasulullah dan rombongan memasuki kota Makkah. Mereka terus maju hingga bermarkas di Dzu Tuwa.

Sebaliknya, Rasulullah juga meneruskan perjalanan. Sesampai di Usfan—sebuah desa terletak antara Makkah dan Madinah—beliau bertemu dengan seseorang dari suku Bani Ka'ab. Nabi menanyakan kalau-kalau orang itu mengetahui berita-berita tentang Quraisy.

"Mereka sudah mendengar tentang perjalanan tuan ini," jawabnya. "Lalu mereka berangkat dengan mengenakan pakaian kulit harimau. Mereka berhenti di Dzu Tuwa dan sudah bersumpah bahwa tempat itu sama sekali tidak boleh tuan masuki. Kini Khalid bin Walid dengan pasukan berkudanya terus maju ke Kira' Al-Ghamim." Kira' Al-Ghamim adalah sebuah wadi di depan Usfan, berjarak sekitar 12 kilometer.

"Kasihan Quraisy," kata Rasulullah. "Mereka sudah lumpuh karena peperangan. Apa salahnya kalau mereka membiarkan saja kami dengan orang-orang Arab yang lain itu. Kalaupun mereka sampai membinasakanku, itulah yang mereka harapkan. Dan kalau Tuhan memberi kemenangan kepadaku, mereka akan masuk Islam secara beramai-ramai. Tetapi jika itu pun belum mereka lakukan, mereka pasti akan berperang, sebab mereka mempunyai kekuatan. Aku juga akan terus berjuang, demi Allah, atas dasar yang diutuskan Allah kepadaku. Sampai nanti Allah memberikan kemenangan atau sampai leher ini putus terpenggal."

Beliau kemudian berpikir, apa yang harus dilakukan. Keberangkatannya dari Madinah bukan untuk berperang. Rasulullah hendak memasuki Tanah Suci hanya untuk berziarah ke Baitullah, menunaikan kewajiban kepada Allah.

Sementara tengah menimbang-nimbang, pasukan Quraisy sudah nampak sejauh mata memandang. Sepertinya tiada jalan lagi bagi kaum Muslimin untuk mencapai tujuan, kecuali jika menerobos barisan itu. Dan kalaupun terjadi pertempuran, pihak Quraisy akan mempertahankan kehormatan dan tanah airnya. Suatu pertempuran yang memang tidak diinginkan oleh Rasulullah.

Sungguhpun demikian, pihak Muslimim pun tidak kurang pula semangat pertahanannya. Adakalanya dengan pedang terhunus saja sudah cukup bagi mereka untuk menangkis serangan musuh. Namun dengan demikian tujuan ibadah jadi hilang.

Pandangan Rasulullah ke depan, siasatnya lebih dalam dan lebih matang. Jadi beliau menyerukan kepada orang banyak itu sambil berkata, "Siapa yang dapat membawa kita ke jalan lain daripada tempat mereka sekarang berada?"

Seorang laki-laki kemudian menghadap dan bersedia membawa mereka ke tempat lain dengan melalui jalan berliku-liku antara batu-batu karang yang curam dan sangat sulit dilalui. Kaum Muslimin merasa sangat letih menempuh jalan itu. Namun akhirnya mereka sampai juga di sebuah jalan datar pada ujung wadi. Jalan ini mereka tempuh melalui sebelah kanan yang akhirnya keluar di Thaniah Al-Murar, jalan menurun ke Hudaibiyah di sebelah bawah kota Makkah.

Setelah pasukan Quraisy melihat apa yang dilakukan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya, mereka pun cepat-cepat memacu kuda kembali ke tempat semula dengan maksud hendak mempertahankan Makkah bila diserbu oleh pihak Muslimin.

Pada saat kaum Muslimin sampai di Hudaibiyah, Al-Qashwa'—unta kepunyaan Nabi—berlutut. Kaum Muslimin menduga ia sudah terlalu lelah. Tetapi Rasulullah berkata, "Tidak. Ia (unta itu) ditahan oleh yang menahan gajah dulu dari Makkah. Setiap ada ajakan dari Quraisy dengan tujuan mengadakan hubungan kekeluargaan, tentu aku sambut."

Kemudian Rasulullah meminta orang-orang agar turun dari kendaraan. Tetapi mereka berkata, "Rasulullah, kalaupun kita turun, di lembah ini tak ada air."

Mendengar itu, beliau mengeluarkan sebuah anak panah dari tabungnya, lalu diberikannya kepada seseorang supaya dibawa turun ke salah satu sumur yang banyak tersebar di tempat itu. Ketika anak panah itu ditancapkan ke dalam pasir pada dasar sumur, seketika itu air pun memancar. Dan seluruh rombongan pun turun dari kendaraan mereka.

sumber : republika.co.id

Selasa, 28 Juni 2011

Wanita-Wanita Terkemuka: Mariyah Al-Qibthiyah, Dicemburui Para Ummul Mukminin


Mariyah Al-Qibthiyah adalah seorang budak Kristen Koptik yang dikirimkan oleh Raja Mesir, Muqauqis, sebagai hadiah kepada Nabi Muhammad SAW. Muqauqis menolak tawaran Rasulullah untuk masuk Islam.

Rasulullah SAW mengirim surat kepada Muqauqis melalui Hatib bin Baltaah, menyeru sang raja agar memeluk Islam. Muqauqis menerima Hatib dengan hangat, namun dengan ramah dia menolak memeluk Islam. Justru dia mengirimkan tiga orang budak; Mariyah, Sirin (saudara Mariyah), dan Maburi, serta hadiah-hadiah hasil kerajinan dari Mesir untuk Rasulullah, termasuk keledai dan kuda putih (bughlah).

Di tengah perjalanan Hatib dapat merasakan kesedihan hati Mariyah karena harus meninggalkan kampung halamannya. Hatib menghibur mereka dengan menceritakan tentang Rasulullah dan Islam, kemudian mengajak mereka memeluk Islam. Mereka pun menerima ajakan tersebut.

Rasulullah menerima kabar penolakan Muqauqis dan hadiahnya, dan betapa terkejutnya beliau dengan budak-budak pemberian Muqauqis itu. Beliau mengambil Mariyah untuk dirinya dan menyerahkan Sirin kepada penyairnya, Hasan bin Tsabit.

Banyak sumber Muslim mengatakan bahwa Rasulullah kemudian memerdekakan dan menikahi Mariyah, namun ini tidak jelas apakah ini fakta historis atau apologi historis. Masalah lain, budak tidak secara otomatis merdeka karena masuk Islam, sehingga hal ini tidak begitu jelas mengapa Mariyah harus dimerdekakan jika dia siap diislamkan. Ibnul Qayyim menyatakan bahwa Mariyah hanya seorang selir.

Tentang nasab Mariyah, tidak banyak yang diketahui selain nama ayahnya. Nama lengkapnya adalah Mariyah binti Syama’un dan dilahirkan di dataran tinggi Mesir yang dikenal dengan nama Hafn. Ayahnya berasal dan Suku Qibti, dan ibunya adalah penganut agama Masehi Romawi. Setelah dewasa, bersama saudara perempuannya, Sirin, Mariyah dipekerjakan pada Raja Muqauqis.

Imam Al-Baladziri berkata, "Sebenarnya, ibunda Mariyah adalah keturunan bangsa Romawi. Mariyah mewarisi kecantikan ibunya sehingga memiliki kulit yang putih, berparas cantik, berpengetahuan luas, dan berambut ikal."

Istri-istri Nabi yang lain sangat cemburu atas kehadiran orang Mesir yang cantik itu, sehingga Rasulullah harus menitipkan Mariyah di rumah Haritsah bin Nu’man yang terletak di sebelah rnasjid. Mariyah tidak dikategorikan sebagai istri dalam beberapa sumber paling awal, seperti dalam catatan Ibnu Hisyam dalam Sirah Ibnu Ishaq.

Kehadiran Mariyah ternyata membuat kedua istri Rasulullah, Hafsah dan Aisyah, berkonspirasi karena cemburu. Sehingga turunlah firman Allah: "Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang istrinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (pembicaraan Hafsah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu (Hafsah) bertanya: "Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?" Nabi menjawab: "Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula." (QS At-Tahrim: 3-4)

Allah menghendaki Mariyah al-Qibtiyah melahirkan seorang putra Rasulullah setelah Khadijah Al-Kubra. Betapa gembiranya Rasulullah mendengar berita kehamilan Mariyah, terlebih setelah putra-putrinya, yaitu Abdullah, Qasim, dan Ruqayyah meninggal dunia.

Mariyah mengandung setelah setahun tiba di Madinah. Kehamilannya membuat istri-istri Rasul cemburu karena telah beberapa tahun mereka menikah, namun tidak kunjung dikaruniai seorang anak pun. Rasulullah menjaga kandungan istrinya dengan sangat hati-hati.

Pada bulan Dzulhijjah tahun ke-8 Hijriyah, Mariyah melahirkan bayinya. Rasulullah kemudian memberinya nama Ibrahim demi mengharap berkah dari nama bapak para nabi, Ibrahim AS. Lalu beliau memerdekakan Mariyah sepenuhnya. Kaum muslimin menyambut kelahiran putra Rasulullah dengan gembira.

Rasulullah mengaqiqahkan Ibrahim dengan menyembelih dua ekor domba yang besar, mencukur rambut bayi dan bersedekah kepada fakir miskin dengan harta senilai perak yang seukuran dengan timbangan rambut Ibrahim yang telah dicukur. Ibrahim kemudian disusui oleh seorang istri tukang pandai besi yang bernama Abu Saif yang tinggal di perbukitan Madinah.

Aisyah mengungkapkan rasa cemburunya kepada Mariyah, “Aku tidak pernah cemburu kepada wanita kecuali kepada Mariyah karena dia berparas cantik dan Rasulullah sangat tertarik kepadanya. Ketika pertama kali datang, Rasulullah menitipkannya di rumah Haritsah bin Nu’man Al-Anshari, lalu dia menjadi tetangga kami. Akan tetapi, beliau sering kali di sana siang dan malam. Aku merasa sedih. Oleh karena itu, Rasulullah memindahkannya ke kamar atas, tetapi beliau tetap mendatangi tempat itu. Sungguh itu lebih menyakitkan bagi kami.”

Di dalam riwayat lain disebutkan bahwa Aisyah berkata, “Allah memberinya anak, sementara kami tidak dikaruni anak seorang pun.”

Beberapa orang dari kalangan munafik menuduh Mariyah telah melahirkan anak hasil perbuatan serong dengan Maburi, budak yang menemaninya dari Mesir dan kemudian menjadi pelayan bagi Mariyah. Akan tetapi, Allah membukakan kebenaran untuk diri Mariyah setelah Ali bin Abi Thalib menemui Maburi dengan pedang terhunus. Maburi menuturkan bahwa dirinya adalah laki-laki yang telah dikebiri oleh raja.

Pada usianya yang kesembilan belas bulan, Ibrahim jatuh sakit sehingga meresahkan kedua orang tuanya. Mariyah bersama Sirin senantiasa menunggui Ibrahim. Suatu malam—ketika sakit Ibrahim bertambah parah—dengan perasaan sedih Nabi bersama Abdurrahman bin Auf pergi ke rumah Mariyah. Ketika Ibrahim dalam keadaan sekarat, Rasulullah bersabda, “Kami tidak dapat menolongmu dari kehendak Allah, wahai Ibrahim.”

Tanpa beliau sadari, air mata telah bercucuran. Ketika Ibrahim meninggal dunia, beliau kembali bersabda, “Wahai Ibrahim, seandainya ini bukan perintah yang haq, janji yang benar, dan masa akhir kita yang menyusuli masa awal kita, niscaya kami akan merasa sedih atas kematianmu lebih dari ini. Kami semua merasa sedih, wahai Ibrahim. Mata kami menangis, hati kami bersedih, dan kami tidak akan mengucapkan sesuatu yang menyebabkan murka Allah.”

Demikianlah keadaan Nabi ketika menghadapi kematian putranya. Walaupun tengah berada dalam kesedihan, beliau tetap berada dalam jalur yang wajar sehingga tetap menjadi contoh bagi seluruh manusia ketika menghadapi cobaan besar. Rasulullah SAW mengurus sendiri jenazah anaknya kemudian beliau menguburkannya di Baqi’.

Kematian Ibrahim bertepatan dengan gerhana matahari. Orang-orang lalu menghubungkan kematiannya dengan gerhana, namun Rasulullah meluruskan. "Gerhana bulan dan matahari tidak terjadi karena kematian atau hidupnya seseorang," sabda beliau.

Setelah Rasulullah SAW wafat, Mariyah hidup menyendiri dan menujukan hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Dia wafat lima tahun setelah wafatnya Rasulullah, yaitu pada tahun ke-46 hijrah, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khathab. Khalifah Umar sendiri yang menyalati jenazah Ummul Mukminin Mariyah, dan kemudian dimakamkan di Baqi’.

sumber : republika.co.id

Kisah Sahabat Nabi: Al-Barra' bin Malik, Pahlawan Perang Tustar


Dia adalah saudara Anas bin Malik, namanya Al-Barra' bin Malik. Dia adalah salah seorang sahabat Rasulullah SAW yang juga pahlawan perang. Walau bertubuh kerempeng dan berkulit legam, namun ia mampu menewaskan ratusan orang musyrik dalam perang tanding satu lawan satu.

Dalam Perang Yamamah, perang melawan pasukan Musailamah Al-Kadzdzab pada masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, Al-Barra' bin Malik menunjukkan kepahlawanannya. Ketika panglima perang Khalid bin Walid melihat pertempuran kian berkobar, ia berpaling kepada Al-Barra' seraya berseru, "Wahai Al-Barra', kerahkan kaum Anshar!"

Saat itu juga Al-Barra' berteriak memanggil kaumnya. "Wahai kaum Anshar, kalian jangan berpikir kembali ke Madinah! Tidak ada lagi Madinah setelah hari ini. Ingatlah Allah, ingatlah surga!"

Setelah berkata demikian, dia maju mendesak kaum musyrikin, diikuti prajurit Anshar. Pedangnya berkelebat, menebas musuh-musuh musuh Allah yang datang mendekat.

Melihat prajuritnya berguguran, Musailamah dan kawan-kawannya kecut dan gentar. Mereka lari tunggang-langgang dan berlindung di sebuah benteng yang terkenal dalam sejarah dengan nama Kebun Maut.

Kebun Maut adalah benteng terakhir bagi Musailamah dan pasukannya. Pagarnya tinggi dan kokoh. Sang pendusta dan pengikutnya mengunci gerbang benteng rapat-rapat dari dalam. Dari puncak benteng, mereka menghujani kaum Muslimin yang mencoba masuk dengan panah.

Menghadapi keadaan yang demikian, kaum Muslimin sempat kebingungan. Dalam benak Al-Barra' muncul ide. Ia pun berteriak, "Angkat tubuhku dengan galah dan lindungi dengan perisai dari panah-panah musuh. Lalu lemparkan aku ke dalam benteng musuh. Biarkah aku syahid untuk membukakan pintu, agar kalian bisa menerobos masuk."

Dalam sekejap, tubuh kerempeng Al-Barra' telah dilemparkan ke dalam benteng. Begitu mendarat di benteng bagian dalam, ia langsung membuka pintu gerbang. Dan kaum Muslimin pun membanjir menerobos masuk. Pedang mereka berkelebat menyambar tubuh dan kepala musuh. Lebih dari 20.000 orang murtad tewas, termasuk pimpinan mereka; Musailamah Al-Kadzdzab.

Jasa Al-Barra' begitu besar. Lebih dari sebulan lamanya ia terpaksa dirawat akibat luka-luka yang dideritanya. Akhirnya ia sembuh kembali.

Sebenarnya Al-Barra' bin Malik sangat merindukan mati syahid. Dia kecewa karena gagal memperolehnya di Kebun Maut. Sejak itu ia selalu menceburkan diri ke kancah peperangan. Ia sangat rindu bertemu Rasulullah SAW.

Tatkala Perang Tustar melawan Persia berlangsung, Al-Barra' bin Malik tidak mau ketinggalan. Kala itu, pasukan musuh terdesak dan berlindung di sebuah benteng kokoh dan kuat. Temboknya tinggi besar. Kaum Muslimin mengepung benteng tersebut dengan ketat.

Dalam keadaan demikian, pasukan Persia menggunakan berbagai cara untuk menaklukkan kaum Muslimin. Mereka menggunakan pengait-pengait yang diikatkan ke ujung rantai besi yang dipanaskan. Rantai tersebut mereka lemparkan kepada pasukan Muslimin sehingga sebagian dari mereka tersambar pengait panas itu.

Banyak pasukan Islam yang tersambar pengait, di antaranya adalah Anas bin Malik, saudara Al-Barra' bin Malik. Selama beberapa saat, Anas tidak mampu melepaskan diri dari besi panas yang mengaitnya. Melihat hal itu, Al-Barra' bin Malik segera melompat ke dinding benteng dan melepaskan pengait dari tubuh saudaranya.

Tangan Al-Barra' bin Malik melepuh dan terbakar karena memegang pengait yang panas membara. Namun ia tak mempedulikannya, yang penting baginya adalah keselamatan saudaranya. Akhirnya ia berhasil menyelamatkan Anas walaupun kedua telapak tangannya lepas. Daging kedua lengannya meleleh dan hanya tinggal kerangka. Sungguh sebuah pengorbanan yang luar biasa.

Dalam Perang Tustar ini juga, Al-Barra' bin Malik memohon kepada Allah agar gugur sebagai syahid. Doanya dikabulkan, ia pun gugur sebagai syahid dengan wajah tersenyum bahagia.

sumber : republika.co.id

Sejarah Hidup Muhammad SAW: Ibadah Haji yang Pertama


Enam tahun berlalu sejak Nabi SAW dan sahabat-sahabatnya hijrah dari Makkah ke Madinah. Selama itu mereka terus-menerus bekerja keras, terus-menerus dihadapkan pada peperangan. Kadang dengan pihak Quraisy, adakalanya pula dengan pihak Yahudi. Sementara itu, Islam pun makin tersebar luas, makin kuat dan kokoh.

Sejak tahun pertama Hijrah, Rasulullah sudah mengubah arah kiblat dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram. Kini kaum Muslimin menghadap ke Baitullah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim di Makkah, yang kemudian diperbaharui lagi tatkala Rasulullah masih muda belia. Waktu itu, beliau juga turut mengangkat batu hitam (Hajar Aswad) ke tempatnya di ujung dinding bangunan tersebut.

Sejak ratusan tahun yang lalu, Masjidil Haram (Masjid Suci) telah menjadi tujuan orang-orang Arab dalam melakukan ibadat. Dalam bulan-bulan suci setiap tahun, mereka datang ke tempat itu. Setiap orang yang datang keamanannya terjamin. Apabila orang bertemu dengan musuh yang paling keras sekalipun, di tempat ini ia tak dapat menghunus pedang atau mengadakan pertumpahan darah. Akan tetapi sejak Rasulullah dan kaum Muslimin hijrah, pihak Quraisy telah mengambil tanggung jawab dengan melarang mereka memasuki Masjidil Haram.

Terkait hal ini, turun firman Allah pada tahun pertama Hijrah: "Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah." (QS Al-Baqarah: 217)

Selama enam tahun itu banyak sekali ayat-ayat turun berturut-turut mengenai Masjid Suci itu yang oleh Allah dijadikan tempat manusia berkumpul dan tempat yang aman. Namun pihak Quraisy menganggap Rasulullah dan pengikut-pengikutnya telah mengingkari berhala-berhala yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu, memerangi dan melarang mereka datang berkunjung ke Ka'bah adalah suatu kewajiban bagi Quraisy, kalau mereka tidak mau kembali kepada dewa-dewa nenek-moyangnya.

Sementara itu kaum Muslimin merasa menderita karena tak dapat melakukan tugas agama yang sudah menjadi kewajiban mereka, juga sudah menjadi kewajiban nenek-moyang mereka dahulu. Disamping itu, kaum Muhajirin sendiri pun sudah merasa tersiksa dan merasa tertekan—tersiksa dalam pembuangan, tertekan karena kehilangan tanah air dan keluarga. Hanya saja, mereka semua yakin akan adanya pertolongan Allah kepada Rasul-Nya dan kepada mereka.

Dengan melarang mengadakan ziarah ke Makkah serta menunaikan kewajiban berhaji dan menjalankan umrah, sebenarnya orang-orang Quraisy sudah melakukan kekejaman terhadap Rasulullah dan para sahabat. Rumah Purba (Ka'bah) ini bukanlah milik Quraisy, melainkan milik semua orang Arab. Hanya saja orang-orang Quraisy itu berkewajiban menjaga Ka'bah dan mengurus air buat para pengunjung, yakni yang meliputi segala macam kepengurusan Rumah Suci dan pemeliharaan pengunjung-pengunjungnya. Penyembahan berhala oleh suatu kabilah tidaklah berarti membenarkan tindakan Quraisy melarang orang berziarah dan berthawaf di Ka'bah serta melakukan segala upacara peribadatan.

Rasulullah SAW datang mengajak orang menjauhi penyembahan berhala dan membersihkan diri dari segala noda paganisme dan kemusyrikan. Beliau mengajak orang ke tingkat jiwa yang lebih tinggi, yakni menyembah hanya kepada Allah SWT. Oleh karena menjalankan ibadah haji dan umrah itu merupakan salah satu kewajiban agama, maka melarang penganut-penganut agama baru ini melakukan kewajiban agamanya berarti suatu tindakan permusuhan.

Jika Rasulullah kemudian datang juga disertai orang-orang yang sudah beriman kepada Allah dan kepada ajarannya—yang sebenarnya mereka adalah penduduk asli Makkah—orang-orang Quraisy khawatir rakyat jelata di Makkah akan menggabungkan diri. Dengan demikian, ini merupakan benih yang dapat mencetuskan perang saudara.

Disamping itu pemimpin-pemimpin Quraisy dan pemuka-pemuka Makkah tidak pernah melupakan Nabi SAW dan pengikutnya yang telah menghancurkan perdagangan mereka, merintangi jalan mereka menuju Syam. Oleh sebab itu, dalam jiwa mereka sudah tertanam benih dendam dan permusuhan. Padahal telah diketahui, bahwa Rumah Purba itu kepunyaan Allah dan kepunyaan seluruh masyarakat Arab. Dan bahwa kewajiban mereka hanyalah menjaganya dan memelihara orang-orang yang sedang berziarah.

Kaum Muslimin sudah gelisah sekali karena rindu ingin berziarah ke Ka'bah dan ingin menunaikan ibadah haji dan umrah. Pada suatu pagi, ketika mereka sedang berkumpul di masjid,tiba-tiba Nabi memberitahukan bahwa beliau telah mendapat ilham dalam mimpi hakiki, insya Allah mereka akan memasuki Masjid Suci dengan aman tenteram, dengan kepala dicukur atau digunting tanpa merasa takut.

Rasulullah kemudian mengumumkan kepada khalayak ramai agar berangkat menunaikan ibadah haji pada bulan Dzulhijjah yang suci. Dikirimnya utusan-utusan kepada kabilah-kabilah yang bukan dari pihak Muslimin, dianjurkannya mereka supaya ikut bersama-sama pergi berangkat ke Baitullah, dengan aman tanpa ada pertempuran. Rasulullah juga sangat berharap agar kaum Muslimin dapat berangkat sebanyak mungkin.

Maksud baik Nabi SAW adalah agar semua orang Arab mengetahui bahwa kepergiannya dalam bulan suci itu hendak menunaikan ibadah haji, bukan untuk berperang. Beliau hanya ingin melaksanakan salah satu kewajiban dalam agama Islam, yang juga diwajibkan di agama-agama orang Arab sebelum itu.

Untuk itu beliau mengajak orang-orang Arab yang tidak seagama agar juga turut melakukan kewajiban tersebut. Dengan demikian, kalaupun pihak Quraisy masih juga bersikeras hendak memeranginya dalam bulan suci, hendak melarang orang Arab untuk beribadah, maka takkan ada orang-orang Arab yang mau mendukung sikap tersebut.

Rasulullah mengumumkan kepada semua orang supaya berangkat menunaikan ibadah haji. Kabilah-kabilah di luar Muslimin juga dimintanya berangkat bersama-sama. Tetapi banyak juga dari mereka yang masih menunda-nunda.

Pada bulan Dzulqa'dah beliau berangkat dengan rombongan dari kaum Muhajirin dan Anshar, serta beberapa kabilah Arab yang menggabungkan diri. Jumlah mereka yang berangkat ketika itu sebanyak 1.400 orang. Rasulullah membawa binatang kurban yang terdiri dari 70 ekor unta, dengan mengenakan pakaian ihram. Hal ini dimaksudkan agar orang mengetahui bahwa beliau datang bukan untuk berperang, melainkan khusus hendak berziarah dan mengagungkan Baitullah.

Ketika rombongan sudah sampai di Dzul Hulaifa, mereka menyiapkan kurban dan mengucapkan talbiyah. Binatang kurban itu dilepaskan dan di sebelah kanan masing-masing hewan itu diberi tanda, di antaranya terdapat unta Abu Jahal yang dirampas pada Perang Badar. Tak seorang pun dari rombongan haji itu yang membawa senjata selain pedang bersarung yang biasa dibawa orang dalam perjalanan. Istri Nabi yang ikut serta dalam perjalanan ini adalah Ummu Salamah.

sumber : republika.co.id

Senin, 27 Juni 2011

I'sha, Si Wanita Punk Yang Jadi Mualaf


Selama beberapa bulan terakhir ini, Lucy Osborne telah mewawancarai perempuan-perempuan di Inggris yang telah masuk Islam. Tulisan ini adalah tulisan Lucy Osborne yang dikirimkan ke The Times tentang peningkatan jumlah perempuan Inggris yang memeluk Islam. Tapi, mengapa mereka masih dipandang dengan penuh kecurigaan.

Jumlah mualaf di Inggris meningkat dua kali lipat dalam 10 tahun dan hampir dua pertiganya adalah perempuan. Lucy Osborne, yang berprofesi sebagai jurnalis lepas (freelance) sekaligus penulis ficer, menyelidiki mengapa hal ini terjadi.

I'sha adalah salah satu wanita mualaf yang diwawancarai oleh Lucy Osborne. Keluarga I'sha tidak menyetujui pilihan I'sha untuk menjadi seorang muslim. Keluarga semakin tidak setuju karena I'Sha dalam kesehariannya menggunakan pakaian niqab yang hanya memperlihatkan kedua bola matanya.

"Ketika saya pertama kali memberitahu orangtuaku bahwa aku menjadi seorang Muslim, mereka tidak ingin ada yang tahu. Apakah itu keluarga atau tetangga,'' kata I'Sha (40) yang masuk Islam sejak empat tahun lalu. ''Mereka tidak bisa mengerti keputusan saya."

Lingkungan kini menentang I'Sha yang telah memutuskan untuk masuk Islam. ''Orang-orang di mana saya dibesarkan kini berbalik melawan aku. Mereka tidak ingin anak-anak mereka bersama dengan anak-anak saya. Mereka menilai saya sudah gila.''

Seperti banyak orang, agama tidak tumbuh dalam kehidupan sehari-hari. Jika I'Sha pulang dari sekolah dan berbicara tentang Tuhan, ayah selalu akan mengatakan,''sekarang, hanya ada satu Tuhan di sini dan itu saya.''

Temukan Jalan Pulang
I'sha, seorang pekerja perempuan pendukung di Masjid London Timur, berasal dari Newcastle. Dia adalah salah satu dari 100.000 orang Inggris yang saat ini telah masuk Islam. Menurut hasil studi Faith Matters oleh Kevin Brice dari Universitas Swansea, sebanyak 5.200 warga Inggris tahun lalu telah menjadi mualaf.

Pengalaman I'sha tidak biasa. Mayoritas publik Inggris masih memandang Islam, yang merupakan agama terbesar kedua di Inggris, sebagai sebuah keyakinan yang aneh dan asing. Tapi, I'sha tidak seperti kebanyakan orang yang berpikir negatif tentang Islam.

"Saya justru merasa seperti sudah pulang," katanya. "Melalui Islam, saya telah menemukan jawaban atas segala pertanyaan yang saya punya. Saya telah menemukan kedamaian sejati."

I'sha dulunya adalah seorang punk. Dia memakai pakaian yang potongannya terbilang 'memalukan'. I'Sha tentunya berpotongan rambut Mohican yang mirip landak. Adiknya secara terbuka memproklamirkan diri sebagai seorang lesbian.

Ketika mengatakan kepada keluarganya, teman dan rekan-rekan bahwa dia telah memeluk Islam, I'Sha mengatakan bahwa dirinya tetap tidak berubah. "Saya mencoba untuk meyakinkan mereka bahwa aku masih si lidah panjang dari utara seperti dulu. Tetapi, menjadi seorang Muslim itu tidak dilihat sebagai sesuatu yang 'cool'.''

''Ketika orang melihat Anda berkulit putih dan orang Inggris, maka mereka benar-benar berperilaku kasar terhadap Anda. Karena, mereka berpikir bahwa Anda telah kembali pada cara hidup mereka,'' tambah I'sha.

sumber : republika.co.id

Etnis Sempat Menyulitkan Miriam, Tapi Ia Tetap Igbo-Amerika dan Juga Muslim


Dia luar ia tampak seperti gadis Amerika-Igbo pada umumnya. Igbo adalah nama suku utama dan terbesar sekaligus paling berpengaruh di Nigeria. Hampir seluruh etnis Igbo memeluk Kristen. Namun si gadis, Miriam, adalah Muslim.

Fakta itu mungkin mengejutkan bagi mereka yang paham sejarah etnis Igbo. "Tapi maaf bila itu mengecewakan anda. Saya adalah bukti nyata bahwa saya sepenuhnya Igbo dan seorang Muslim yang menjalankan ibadah." ungkap si lajang lulusan Universitas Philadelphia itu

"Ketika saya bilang saya Igbo dan juga Muslim, saya sering mendengar orang sesama etnis bilang, 'tifaqua' (Tuhan melarang!)," tuturnya. Ia menegaskan bahwa tidak menjadi muslim karena menikahi seorang Muslim, pun karena terkena trik teman-teman Muslim. "Alhamdulillah, saya beralih karena saya merasa ini adalah jalan yang benar untuk saya, pengakuan serupa yang mendorong leluhur saya beralih ke Kristen.

Ia sadar benar, orang Igbo akan mengklaim bahwa Islam tidak sejalah dengan budaya Igbo. "Tapi saya tantang itu dengan membuktikan bahwa Kristen ternyata juga bisa sejalan dengan warisan keyakinan asli tradisi yang ada ribuan tahun sebelum Kristen datang. Apa yang gagal dipahami oleh etnis saya yakni kami adalah produk lingkungan," ujarnya.

Miriam menganalogikan, bila Budha mengambil alih Igbo ribuan tahun lalu, ia meyakini hampir seluruh Igbo akan cenderung memeluk Budha dan kokoh memegang keyakinan itu hingga kini. "Tantangan yang saya berikan adalah silahkan kaji mengapa anda meyakini dan menghormati dan setuju atau tidak setuju dengan perbedaan yang diusung orang lain."

Ia menuturkan menjadi Muslim dalam komunitasnya sangat sulit. "Tidak mustahil namun sangat menantang," ujarnya. Banyak kehidupan sehari-hari, budaya dan keyakinan berdasar pada Kriten, meski Kristen baru dikenal etnis Igbo pada 1990-an. Kakek buyut Mariam sendiri bukanlah seorang Kristen.

"Apakah menyimbolkan kematian halal? Apakah upacara memecah kacang kola sebagai tradisi budaya adalah penyelewengan ritual di mata Allah? Bagaimana saya dapat menemukan media yang membuat saya gembir sebagai Muslim tetapi masih tetap menjaga identitas Igbo saya?" ujarnya. "Hingga hari ini itu masih tantangan," imbuhnya.

Saat ini, Miriam mengaku masih berupaya menemukan sebuah komunitas--meski kecil--yang memiliki latar etnis serupa. Kadang Miriam bertanya apakah ada orang-orang yang seperti dirinya. Bahkan ia pernah frustasi, "Apakah Muslim Igbo selain saya ada di dunia?"

Hinga suatu hari saat berselancar di internet ia menemukan seorang Muslim wanita Igbo yang juga mualaf, bernama Ify. "Alhamdulillah, begitu saya mengontaknya kami pun menjadi teman," tutur Miriam.

Waktu berjalan, ia pun mengalami perlakuan kasar dari komunitasnya. Ia mengaku pernah terpana dan terkejut oleh perlakuan dari sesama Muslim, bahkan dari sesama Afrika. Suatu hari ia memasuki masjid untuk melaksanakan ibadah shalat. Ia baru saja memeluk Islam dan baru saja belajar bagaimana melakukan shalat.

Di sampingnya berdiri seorang wanita Afrika. Tiba-tiba dengan pandangan tajam wanita itu menolah ke arah Miriam dan berkata, "Kamu tidak tahu bagaimana cara shalat?" Miriam menerima teguran itu di depan banyak orang. Malu, Miriam pun meminta maaf dan mencari dalih. Namun ia terlalu malu dan terkejut hingga tak berani mengaku dirinya seorang mulaf yang baru saja mengikrarkan diri memeluk Islam. Sejak saat itu ia tak pernah lagi memasuki masjid tersebut. "Ia melihat saya masih kagok, tetapi tidak membantu, malah menuding saya," tuturnya.

"Tapi ketika saya melintas di depan gereja, saya akan mendapat sapaan 'halo' atau 'selamat datang' yang ramah," tuturnya. "Ini bukan serangan terhadap teman sesama Muslim yang juga telah menerima dan mendukung saya, tetapi ini adalah kritik terhadap mereka yang terlahir Muslim bagaimana seharusnya memperlakukan mualaf," kata Miriam.

"Anda tak pernah tahu siapa kelak yang menjadi Muslim, atau mereka yang memeluk Islam beberapa jam sebelum bertemu dengan anda. Bagaimana memperlakukan orang lain akan membantu mualaf untuk lebih menerima keyakinannya atau justru membuat mereka pergi lagi," ujar Miriam.

"Dengan kondisi ini, saya bisa memahami bila ada mualaf yang kembali memilih agama lama dan meninggalkan Islam, terutama bila anda bukan orang kulit putih di Barat. Tak ada seorang pun yang mendatangi anda, mengundang anda dalam buka puasa saat Ramadan. Tak ada yang mengenalkan anda dengan orang lain, atau kesulitan mencari pasangan hidup," ujar Miriam lagi.

Miriam pernah merasa putus asa mencari komunitas yang bisa menerima dan mendukungnya. "Ternyata masa-masa itu sangat kritis bagi pembangunan keyakinan saya dengan agama baru saya," ungkapnya. Sebagai Muslim berkulit hitam, ia merasa 'tak terlihat'. Ia pernah bertukar salam dengan beberapa wanita yang memberi pandangan dingin saat shalat Jumat berjamaah. Di akhir shalat, para jamaah berkumpul, berbicara dan bertukar salam serta cerita, sementara Miriam seperti tak menjadi bagian dari kumpulan itu, sendiri dan akhirnya memutuskan untuk pergi. "Saya bahkan berpikir apakah orang-orang tadi menyadari keberadaan saya," katanya.

Miriam dalam Muslim Matters baru-baru ini menulis, dalam kehidupan sehari-sehari sangat mungkin ada seorang mualaf seperti dirinya di luar sana. "Ia bukanlah kertas kosong sebelum memeluk Islam. Ia mungkin telah memiliki identitas kuat budaya tertentu dan mencoba keras menuangkan gambaran baru dirinya dalam kanvas," ujarnya.

Ia mengingatkan, seperti dirinya pula, ia bisa jadi tak memiliki dukungan keluarga atau komunitas sehingga membutuhkan uluran tangan Muslim lain untuk menjadi keluarga keduanya. "Jujur, bila iman saya hanya bergantung pada keberadaan Muslim lain dan komunitas, saya akan meninggalkan Islam sejak dulu. Tapi Allah telah memberi saya kekuatan untuk tetap memelihara iman ini meski melewati berbagai turbulensi dan saya selalu meminta setiap orang mendoakan saya agar memudahkan jalan saya dan menguatkan iman saya," tutur Miriam.

"Tapi tak perlu mengasihani saya. Saya telah menemukan satu kelompok kecil mualaf yang bisa saya mintai dukungan," ungkap Miriam lagi. Kini ia pun rutin bertemu dengan Ify dan kru barunya untuk memperluas jaringan. "Alhamdulillah, setiap Jumat malam, Ify dan teman Muslimah saya berkumpul. Kami menikmati Pizza, cupcake, mengobrol, diskusi dan tertawa bersama.

"Saya berpikir, jadi inilah rasanya memiliki komunitas yang akhirnya bisa menerima saya. Alhamdulillah," seloroh Miriam. Baginya, komunitas kecil itu layaknya niche, niche yang tidak berdasar etnis, budaya atau ras. "Melainkan berbasis prinsip-prinsip Islam dan rasa takut pada Allah," ujarnya.

Secara pribadi Miriam memilih kesimpulan terakhir. 'Karena teman, keluarga dan orang asing bisa mengisolasi dan mengasingkan anda, tapi cinta Allah, jauh lebih besar dan lebih berharga."

sumber : republika.co.id

Minggu, 26 Juni 2011

Wanita-Wanita Terkemuka: Zainab binti Khuzaimah, Ibu Orang-Orang Miskin


Zainab binti Khuzaimah adalah istri Rasulullah yang dikenal dengan kebaikan, kedermawanan, dan sifat santunnya terhadap orang miskin. Dia adalah istri Rasulullah kedua yang wafat setelah Khadijah Al-Kubra. Untuk memuliakan dan mengagungkannya, Rasulullah mengurus mayat Zainab dengan tangan beliau sendiri.

Nama lengkap Zainab adalah Zainab binti Khuzaimah bin Haris bin Abdillah bin Amru bin Abdi Manaf bin Hilal bin Amir bin Sha’shaah Al-Hilaliyah. Ibunya bemama Hindun binti Auf bin Harits bin Hamatsah.

Berdasarkan asal-usul keturunannya, dia termasuk keluarga yang dihormati dan disegani. Tanggal lahirnya tidak diketahui dengan pasti, namun ada riwayat yang rnenyebutkan bahwa dia lahir sebelum tahun ketiga belas kenabian.

Sebelum memeluk Islam dia sudah dikenal dengan gelar Ummul Masakin (ibu orang-orang miskin) sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab Thabaqat ibnu Sa'ad. Gelar tersebut disandangnya sejak masa Jahiliyah. Ath-Thabari, dalam kitab As-Samthus-Samin fi Manaqibi Ummahatil Mu’minin pun menerangkan bahwa Rasulullah SAW menikahinya sebelum beliau menikah dengan Maimunah, dan ketika itu dia sudah dikenal dengan sebutan Ummul Masakin sejak zaman Jahiliyah.

Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa Zainab binti Khuzaimah terkenal dengan sifat pemurahnya, kedermawanannya, dan sifat santunnya terhadap orang-orang miskin yang dia utamakan daripada kepada dirinya sendiri. Sifat tersebut sudah tertanam dalam dirinya sejak memeluk Islam, walaupun pada saat itu dia belum mengetahui bahwa orang-orang yang baik, penyantun, dan penderma akan memperoleh pahala di sisi Allah.

Zainab binti Khuzaimah termasuk kelompok orang yang pertama-tama masuk Islam dari kalangan wanita. Yang mendorongnya masuk Islam adalah akal dan pikirannya yang baik, menolak syirik dan penyembahan berhala dan selalu menjauhkan diri dari perbuatan Jahiliyah.

Para perawi berbeda pendapat tentang nama-nama suami pertama dan kedua sebelum dia menikah dengan Rasulullah. Sebagian perawi mengatakan bahwa suami pertama Zainab adalah Thufail bin Harits bin Abdul Muthalib, yang kemudian menceraikannya.

Dia menikah lagi dengan Ubaidah bin Harits, namun dia terbunuh pada Perang Badar atau Perang Uhud. Sebagian perawi mengatakan suami keduanya adalah Abdullah bin Jahsy. Sebenarnya masih banyak perawi yang mengemukakan pendapat yang berbeda-beda. Akan tetapi, dari berbagai pendapat itu, pendapat yang paling kuat adalah riwayat yang mengatakan bahwa suami pertamanya adalah Thufail bin Harits bin Abdul Muthalib.

Oleh karena Zainab tidak dapat melahirkan (mandul), Thufail menceraikannya ketika mereka hijrah ke Madinah. Untuk memuliakan Zainab, Ubaidah bin Harits (saudara laki-laki Thufail) menikahinya. Sebagaimana kita ketahui, Ubaidah bin Harits adalah salah seorang prajurit penunggang kuda yang paling perkasa setelah Hamzah bin Abdul Muthalib dan Ali bin Abi Thalib. Mereka bertiga ikut melawan orang-orang Quraisy dalam Perang Badar, dan akhirnya Ubaidah mati syahid dalam perang tersebut.

Setelah Ubaidah wafat, tidak ada riwayat yang menjelaskan tentang kehidupannya hingga Rasulullah saw menikahinya. Rasulullah menikahi Zainab karena beliau ingin melindungi dan meringankan beban hidup yang dialaminya. Hati beliau menjadi luluh melihat Zainab hidup menjanda, sementara sejak kecil dia sudah dikenal dengan kelemah-lembutannya terhadap orang-orang miskin.

Sebagai Rasul yang membawa rahmat bagi alam semesta, beliau rela mendahulukan kepentingan kaum Muslimin, termasuk kepentingan Zainab. Beliau senantiasa memohon kepada Allah agar hidup miskin dan mati dalam keadaan miskin dan dikumpulkan di Padang Mahsyar bersama orang-orang miskin.

Selain dikenal sebagai wanita yang welas asih, Zainab juga dikenal sebagai istri Rasulullah SAW yang senang meringankan beban saudara-saudaranya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Atha bin Yasir, bahwa Zainab mempunyai seorang budak hitam dari Habasyah. Ia sangat menyayangi budak itu, hingga budak dari Habasyah itu tidak diperlakukan layaknya seorang budak, Zainab malah memperlakukan layaknya seorang kerabat dekat.

Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah SAW pernah menyatakan pujian kepada Ummul Mukminin Zainab binti Khuzaimah dengan sabdanya, "Ia benar-benar menjadi ibunda bagi orang-orang miskin, karena selalu memberikan makan dan bersedekah kepada mereka."

Tidak diketahui dengan pasti masuknya Zainab binti Khuzaimah ke dalam rumah tangga Nabi SAW, apakah sebelum Perang Uhud atau sesudahnya. Yang jelas, Rasulullah menikahinya karena kasih sayang terhadap umatya walaupun wajah Zainab tidak begitu cantik dan tidak seorang pun dari kalangan sahabat yang bersedia menikahinya.

Tentang lamanya Zainab berada dalam kehidupan rumah tangga Rasulullah pun banyak terdapat perbedaan pendapat. Salah satu pendapat mengatakan bahwa Zainab memasuki rumah tangga Rasulullah selama tiga bulan, dan pendapat lain delapan bulan. Akan tetapi, yang pasti, prosesnya sangat singkat karena Zainab meninggal semasa Rasulullah hidup. Di dalam kitab sirah pun tidak dijelaskan penyebab kematiannya. Zainab meninggal pada usia relatif muda, kurang dari 30 tahun, dan Rasulullah yang menyalatinya.

sumber : republika.co.id

Sejarah Hidup Muhammad SAW: Kesucian Sang Ummul Mukminin


Akhirnya, berita itu pun sampai juga kepada Ummul Mukminin Aisyah, diceritakan oleh seorang wanita Muhajirin. Ia sangat terkejut mendengarnya, hampir-hampir membuatnya pingsan. Aisyah tenggelam dalam kesedihan, dan tak mampu membendung air matanya yang berjatuhan.

Ia pergi menjumpai ibunya, dengan membawa beban perasaan yang cukup berat. "Ampun, Ibu," katanya. "Orang-orang sudah begitu rupa bicara di luar, tapi sama sekali tidak ibu katakan kepadaku."

Melihat kesedihan yang begitu menekan perasaan putrinya, sang ibu berupaya menghiburnya. Namun Aisyah, belum terhibur juga. Ia merasa lebih pedih lagi bila teringat sikap Nabi kepadanya yang terasa kaku, padahal biasanya beliau sangat lemah-lembut.

Keadaan Rasulullah sebenarnya tidak lebih enak daripada istrinya. Beliau merasa tersiksa karena percakapan orang mengenai keadaan rumah tangganya. Akhirnya tak ada jalan lain, Rasulullah harus menemui sendiri istrinya dan dimintanya supaya mengaku. Beliau masuk menemui Aisyah. Di tempat itu ada orang tuanya dan seorang wanita dari Anshar. Aisyah sedang menangis dan wanita itu juga demikian.

Rasulullah berkata, "Wahai Aisyah, engkau sudah mengetahui apa yang menjadi pembicaraan orang. Hendaknya engkau takut kepada Allah jika engkau telah melakukan suatu kejahatan seperti apa yang dikatakan orang. Bertaubatlah engkau kepada Allah, sebab Allah akan menerima segala taubat yang datang dari hamba-Nya."

Sambil menangis, Aisyah berkata, "Demi Allah, aku samasekali tidak akan bertaubat kepada Allah seperti yang kau sebutkan itu. Aku tahu, kalau aku mengiakan apa yang dikatakan orang, sedang Allah mengetahui bahwa aku tidak berdosa, berarti aku mengatakan sesuatu yang tak ada. Tetapi kalau pun kubantah, kalian takkan percaya."

Ia diam sebentar. Kemudian sambungnya lagi, "Aku hanya dapat berkata seperti apa yang dikatakan oleh ayah Yusuf: 'Maka sabar itulah yang baik, dan hanya Allah tempat meminta pertolongan atas segala yang kamu ceritakan itu!"

Sejenak keadaan jadi sunyi. Akan tetapi begitu Rasulullah hendak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba beliau terlelap oleh kedatangan wahyu, seperti biasanya. Beliau segera diselimutkan dan sebuah bantal dari kulit diletakkan di bawah kepalanya.

Dalam hal ini Aisyah berkata, "Aku sendiri samasekali tidak merasa takut dan tidak peduli setelah melihat kejadian ini. Aku tahu bahwa aku tidak berdosa, dan Allah tidak akan berlaku tidak adil terhadap diriku. Sebaliknya orang tuaku, setelah Rasulullah SAW terjaga, aku kira nyawa mereka akan terbang karena ketakutan, kalau-kalau wahyu dari Allah akan memperkuat apa yang dikatakan orang."

Setelah Rasulullah terjaga, beliau duduk kembali dengan keringat bercucuran. Sambil menyeka keringat dari dahinya, beliau bersabda, "Gembirakanlah hatimu, Aisyah! Allah telah membebaskan kau dari tuduhan."

"Alhamdulillah," kata Aisyah.

Kemudian Rasulullah pergi ke masjid, dan membacakan ayat-ayat berikut ini kepada kaum Muslimin: "Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.

Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata."

Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta.

Sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu.

(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.

Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: "Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar."

Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.

Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui."
(QS An-Nuur: 11-19)

Dalam hubungan ini pula datangnya ketentuan hukuman terhadap orang yang melemparkan tuduhan buta kepada kaum wanita yang baik-baik. "Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik." (QS An-Nuur: 4)

Untuk melaksanakan ketentuan Al-Qur'an, mereka yang telah menyebarkan berita keji itu—Mistah bin Utsatsah, Hassan bin Tsabit dan Hamnah binti Jahsy, masing-masing mendapat hukuman dera delapan puluh kali.

Namun sesudah itu pun Hassan bin Tsabit kembali diterima dan mendapat kasih sayang Rasulullah. Beliau juga meminta Abu Bakar agar jangan mengurangi kasih sayangnya kepada Mistah seperti yang sudah-sudah.

Sejak itu selesailah peristiwa dusta ini dan tidak lagi meninggalkan bekas di seluruh Madinah. Aisyah pun sembuh dari sakitnya, lalu kembali ke rumahnya di tempat Rasulullah, kembali dalam kedudukannya yang tinggi di hati seluruh kaum Muslimin. Dengan demikian, Nabi SAW kembali dapat mengabdikan diri kepada ajarannya dan pembinaan kaum Muslimin sebagai suatu persiapan guna menghadapi perjanjian Hudaibiyah.

sumber : republika.co.id

Kisah Sedih Dari Makhluk Allah

Kisah ini merupakan kisah tauladan, sangat inspiratif dan mendidik. Kami mengutipnya dari akun facebook milik Ukhti Jeanny Dive, semoga bermanfaat.

Bismillaahir rohmanir rohiim. Assalamu’alaykum warohmatullahi wa barokaatuh.

Saudara-saudariku tercinta yang dirahmati oleh Allah ta’ala…

Sesungguhnya seluruh makhluk ciptaan Allah ta’ala itu, pasti akan dihimpun kembali oleh Allah pada ‘yaumul qiyamah’ nanti. Binatang, tumbuh-tumbuhan, hingga makhluk ghaib yang tidak tertangkap oleh indera kita sekali pun, juga merupakan makhluk-Nya yang berkaum-kaum dan umat sebagaimana kita selaku manusia. Untuk itu marilah kita saksikan firman Allah ta’ala yang menyebutkan perihal ini :

“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Allah mereka dihimpunkan.” (QS. Al-An’aam {6}:38).

Oleh karena mereka juga umat seperti kita, maka (semisal) binatang, tentu di antara mereka juga terdapat naluri rasa kasih dan sayang, serta saling mencintai di antara sesama jenis atau kaumnya. Begitu juga sebaliknya, bisa jadi mereka saling membenci bahkan saling membunuh! :’( Maka sebagai makhluk (sejenis) yang bersaudara, tentu saja kita ingin mengetahui “kesamaan” kita dengan binatang, dalam hal peranan cinta dan kasih sayang di antaranya.

Untuk itu duhai saudara-saudariku tersayang, saksikanlah adegan-adegan gambar berikut ini…

Tampak seekor burung betina terseok-seok di sebuah jalan raya. Bisa jadi ia sakit, sehingga tidak mampu mengepakkan sayapnya untuk terbang. “Ooh… kemanakah engkau mencari makanan wahai suamiku..” ucapnya lirih ~~~

“Istriku, maafkan aku telah membuatmu lama menungguku. Sekarang makanlah ini dulu, semoga dapat menguatkanmu, dan kamu dapat terbang agar kita segera pulang..” ajak sang suami kepada istrinya, dan berusaha menyuapi makanan yang di bawanya. Namun kondisi sang istri kian melemah, semakin lemah, lalu terbaring…

“Wahai istriku, mengapa engkau tak memakan makanan yang aku suapi? Dan mengapa pula engkau tidur di jalanan ini? Ayolah istriku, mari kita pulang…” Sang suami pun berusaha mengangkat tubuh istrinya yang sudah terkulai dan tidak bergerak lagi….

Mendapati istrinya yang sudah tidak bergerak dan terbujur kaku, barulah sang suami menyadari bahwa istrinya… telah mati! “Istriku… bangunlah, bangunlah sayang… Jangan engkau tinggalkan aku seperti ini…” jerit sang suami…

“Yaa Allaah… hidupkanlah kembali istriku yaa Allah, hidupkanlah kembali yaa Allah… huu..huuu…” ratap sang suami memohon kepada Rabb-nya.

Namun akhirnya suami burung itu menyadari, bahwa pertemuan, jodoh, rezeki, dan maut merupakan kehendak dan ketentuan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Maka sang suami pun akhirnya pasrah dan berdoa… “Yaa Allah, bila ini sudah menjadi ketentuanmu, maka aku ikhlas. Ampunilah kesalahan dan dosa yang pernah dilakukan oleh istriku, dan tempatkanlah ia di sisi-Mu yang terbaik. Yaa Allah, bila engkau mengizinkannya, pertemukan dan satukanlah kami kembali di Jannah-Mu. Sungguh aku mencintainya karena-Mu yaa Allah, maka dengarkanlah permohonanku ini. Inna lillaahi wa inna illaaihi rooji’uun…”

Wahai saudara-saudariku yang semestinya saling mencintai karena Allah…

Tidakkah engkau merasa malu ketika mendapati keberadaan suatu umat, dimana mereka sesungguhnya tidak memiliki akal, namun hanya dengan menggunakan nalurinya saja, mereka mampu bersaudara dan saling mencintai di antaranya…!?

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman : “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (dienul) Allah, janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran {3}:103).

Wahai hamba Allah yang semestinya bersaudara, hentikanlah permusuhan sesamamu. Jadikanlah perbedaan dan khilafiyah itu,sebagai rahmat yang memang ditakdirkan oleh Allah ta’ala untuk kita. Maka yakinlah wahai saudara-saudariku tersayang, bahwa Ukhuwah Islamiyah dan rapatnya barisan umat, merupakan KEMENANGAN Dien Islam yang sesungguhnya.

Yaa Allah, saksikanlah… ^_^,

Billaahi taufik wal hidayah,

Wassalamu’alaykum wr.wb.

~∂eanny♥divΞ

sumber : arrahmah.com

Jumat, 24 Juni 2011

Hikmah dari Isra’ Mi’raj


Beberapa hari lagi kita akan melewati sebuah peristiwa sejarah yang sangat monumental. Momentum sejarah tersebut adalah peristiwa yang terjadi sekitar 14 abad Hijriyah yang lalu, yaitu peristiwa Isra’ Mi’raj. Pada saat itu Nabi Muhammad SAW diperjalankan oleh Allah dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsha di Al-Quds, lalu dilanjutkan dengan menembus lapisan langit tertinggi sampai batas yang tidak dapat dijangkau oleh ilmu semua makhluk, malaikat, manusia, dan jin. Semua itu ditempuh dalam sehari semalam. Peristiwa itu sekaligus sebagai mukjizat mengagumkan yang diterima Rasulullah SAW.

Permintaan kaum kafir Quraisy kepada Nabi SAW

Sebenarnya, sebelum peristiwa itu terjadi, orang-orang kafir Quraisy pernah meminta kepada Rasulullah untuk menunjukkan hal-hal yang aneh, karena mereka tidak percaya kalau Muhammad SAW itu adalah nabi. Permintaan-permintaan itu mereka lontarkan untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar seorang Nabi. Hal ini direkam oleh Allah SWT dalam Al Qur’an sebagai berikut:

“Dan mereka berkata: “Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dari bumi untuk kami, atau kamu mempunyai sebuah kebun korma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun yang deras alirannya, atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah dan malaikat-malaikat berhadapan muka dengan kami. Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas, atau kamu naik ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitab yang kami baca”. (QS. Bani Israil : 90 – 93)

Kalau kita jabarkan dari ayat di atas, mereka meminta hal-hal di bawah ini kepada Rasulullah:

  1. Mereka meminta untuk memancarkan mata air dari bumi.
  2. Mereka juga meminta sebuah kebun kurma dan anggur, dengan air mengalir di bawahnya. Padahal di sekitar situ sebagian besar padang pasir.
  3. Mereka meminta untuk menjatuhkan langit.
  4. Mereka juga meminta menghadirkan Allah beserta malaikat-malaikat-Nya untuk dihadapkan kepada mereka. Sungguh suatu permintaan yang lancang.
  5. Mereka juga meminta sebuah rumah dari emas.
  6. Yang terakhir, mereka meminta Nabi untuk naik ke langit tanpa membawa buku, lalu harus kembali dengan membawa sebuah buku (kitab) untuk mereka baca.

Permintaan mereka itu betul-betul “kebangetan”. Tetapi Rasulullah SAW menjawabnya dengan bijaksana, “Maha Suci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?” (QS. Bani Israil: 93). Allah Yang Maha Suci tentu Maha Kuasa untuk melakukan semua itu, tetapi Rasulullah mengatakan bahwa dirinya hanyalah seorang manusia biasa yang diangkat menjadi seorang Rasul, sehingga tidak mungkin melakukan semua itu.

Kita bisa ambil pelajaran dari hal di atas. Mungkin sampai zaman kapan pun, kebenaran (baca: Islam) akan menghadapi hal-hal seperti itu. Orang yang membawa kebenaran akan selalu menghadapi permintaan-permintaan yang di luar kemampuan. Dan permintaan tersebut kebanyakan hanya sebagai “olok-olok”. Karena, kalaupun kita bisa memenuhi permintaan itu, mereka kebanyakan tetap tidak akan mendengar Islam ini. Hanya sedikit yang mau mendengarnya. Sebagaimana halnya Rasulullah setelah mengalami peristiwa Isra’ Mi’raj, tidak banyak yang mempercayai perjalanannya tersebut, bahkan ada yang mengatakan Nabi gila walaupun Nabi sudah memberikan bukti-bukti atas apa yang telah dia alami (Isra’ Mi’raj).

Peringatan Isra’ Mi’raj sebagai motivasi

Kalau kita baca sejarah kehidupan Rasulullah SAW (Sirah Nabawiyah), sebelum peristiwa itu terjadi, Rasulullah mengalami keadaan duka cita yang sangat mendalam. Beliau ditinggal oleh istrinya tercinta, Khadijah, yang setia menemani dan menghiburnya di kala orang lain masih mencemoohnya. Lalu beliau juga ditinggal oleh pamannya sendiri, Abu Thalib, yang (walaupun kafir) tetapi dia sangat melindungi aktivitas Nabi. Sehingga orang-orang kafir Quraisy semakin leluasa untuk melancarkan penyiksaannya kepada Nabi, sampai-sampai orang awam Quraisy pun berani melemparkan kotoran ke atas kepala Rasulullah SAW.

Dalam keadaan yang duka cita dan penuh dengan rintangan yang sangat berat itu, menambah perasaan Rasulullah semakin berat dalam mengemban risalah Ilahi. Lalu Allah “menghibur” Nabi dengan memperjalankan beliau, sampai kepada langit dan menemui Allah. Hingga kini, peristiwa ini seringkali diperingati oleh sebagian besar kaum muslimin dalam peringatan Isra’ Mi’raj. Pada dasarnya peringatan tersebut hanyalah untuk memotivasi dan penyemangat, bukan dalam rangka beribadah (ibadah dalam artian ibadah ritual khusus). Namun peringatan tersebut juga terdapat beberapa catatan. Apa saja itu? Mari kita ikuti beberapa hal di bawah ini.

Dalam Al Qur’an, dari sekian ribu ayat di dalamnya, hanya ada 4 ayat yang menjelaskan tentang Isra’ Mi’raj, yaitu QS. Bani Israil ayat 1, dan QS. An Najm ayat 13 sampai 15. Maksudnya, kebesaran Islam itu bukan terletak pada peristiwa Isra’ Mi’raj ini, tapi pada konsepnya, sistemnya, dan muatannya. Pada surat An Najm ayat 13-15 itu, menggambarkan bahwa Rasulullah menemui Jibril dalam bentuk aslinya di Sidratil Muntaha ketika Isra Mi’raj. Sebelumnya Rasulullah juga pernah menjumpai malaikat Jibril dalam bentuk asli ketika menerima ayat pertama (QS. Al Alaq: 1-5) dari Allah SWT, yaitu ketika di gua Hira.

Dan di antara 25 nabi, hanya 2 Nabi yang pernah berbicara langsung kepada Allah, yaitu Nabi Musa AS dan Nabi Muhammad SAW. Bagaimana dengan Nabi Adam AS, bukankah beliau juga pernah berdialog dengan Allah? Ya, tapi Nabi Adam ketika itu masih di Surga. Setelah diturunkan ke bumi, tidak lagi berdialog secara langsung. Nabi Musa berdialog dengan Allah secara langsung yaitu ketika di bukit Tursina (di bumi), sedangkan Nabi Muhammad di Sidratil Muntaha (di langit). Tetapi (sekali lagi), kebesaran Islam bukan di situ letaknya, namun di konsepnya, di muatannya. Oleh karena itulah, peristiwa Isra’ Mi’raj sendiri tidak perlu secara berlebihan diangkat-angkat. Peristiwa itu sendiri merupakan mukjizat imani, maksudnya adalah mukjizat yang hanya bisa diterima apabila kita beriman.

Meskipun hanya Nabi Muhammad yang telah diperjalankan pada malam harinya (Isra’ Mi’raj), tapi dia tetaplah manusia biasa, hamba Allah. Hal ini perlu ditegaskan, karena dua umat sebelum Islam (Yahudi dan Kristen), telah terjebak men-Tuhankan nabinya.

Mengapa Masjidil Aqsha?

Ada beberapa pertanyaan mengenai peristiwa Isra’ Mi’raj. Salah satunya, mengapa dalam peristiwa itu Rasul diperjalankan ke Masjidil Aqsha? Kenapa tidak langsung saja ke langit? Paling tidak ada beberapa hal hikmahnya, antara lain:

1. Bahwa Nabi Muhammad adalah satu-satunya Nabi dari golongan Ibrahim AS yang berasal dari Ismail AS, sedangkan Nabi lainnya adalah berasal dari Ishaq AS. Inilah yang menyebabkan Yahudi dan Kristen menolak Nabi Muhammad, karena mereka melihat asal usul keturunannya (nasab). Alasan mereka itu sangat tidak ilmiah, dan kalau memang benar, mereka berarti rasialis, karena melihat orang itu dari keturunannya. Hikmah lainnya adalah, bahwa Nabi Muhammad berdakwah di Mekah, sedangkan Nabi yang lain berdakwah di sekitar Palestina. Kalau dibiarkan saja, orang lain akan menuduh Muhammad SAW sebagai orang yang tidak ada hubungannya dengan “golongan” Ibrahim dan merupakan sempalan. Bagi kita sebagai muslim, tidaklah melihat orang itu dari asal usulnya, tapi dari ajarannya.

2. Hikmah berikutnya adalah, Allah dengan segala ilmu-Nya mengetahui bahwa Masjidil Aqsha adalah akan menjadi sumber sengketa sepanjang zaman setelah itu. Mungkin Allah ingin menjadikan tempat ini sebagai “pembangkit” ruhul jihad kaum muslimin. Kadangkala, kalau tiada lawan itu semangat jihad kaum muslimin “melemah” karena terlena, dan dengan adanya sengketa tersebut, semangat jihad kaum muslimin terus terjaga dan terbina.

3. Berikutnya, Allah ingin memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya kepada Nabi SAW. Pada Al Qur’an surat An Najm ayat 12, terdapat kata “Yaro” dalam bahasa Arab yang artinya “menyaksikan langsung”. Berbeda dengan kata “Syahida”, yang berarti menyaksikan tapi tidak musti secara langsung. Allah memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya itu secara langsung, karena pada saat itu dakwah Nabi sedang pada masa sulit, penuh duka cita. Oleh karena itulah pada peristiwa tersebut Nabi Muhammad juga dipertemukan dengan Nabi-nabi sebelumnya, agar Muhammad SAW juga bisa melihat bahwa Nabi yang sebelumnya pun mengalami masa-masa sulit, sehingga Nabi SAW bertambah motivasi dan semangatnya. Hal ini juga merupakan pelajaran bagi kita yang mengaku sebagai da’i, bahwa dalam kesulitan dakwah itu bukan berarti Allah tidak mendengar.

Perintah Shalat

Pada Isra’ Mi’raj, Allah SWT memberikan perintah shalat wajib. Dan shalat Subuh adalah shalat yang pertama kali diperintahkan. Karena peristiwa Isra’ Mi’raj sendiri terjadi pada saat malam hari. Subuhnya Rasulullah sudah tiba kembali di tempat semula. Mungkin ini juga hikmah bagi kita semua, karena shalat Subuh adalah shalat yang sulit untuk di laksanakan, di mana pada saat itu banyak manusia yang masih terlelap dalam tidurnya. Sebelum diperintahkannya shalat wajib 5 waktu ini, Rasulullah melaksanakan shalat sebagaimana Nabi Ibrahim.

Kita tidak hanya diperintahkan untuk mengerjakan shalat, tetapi juga menegakkan shalat. Shalat bukan segala-galanya, tapi segala-galanya berawal dari shalat, demikian kata seorang ustadz.

Demikianlah beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari peristiwa Isra’ Mi’raj. Semoga semakin menambah keimanan kita kepada Allah, kitab-Nya, Nabi-nabi-Nya, para malaikat-Nya, Hari Akhir, serta Qadha dan Qadar-Nya. []

sumber : dakwatuna.com

Halaman Ke