Rabu, 16 Maret 2011

Kejanggalan Pemikiran Ulil Abshar Abdalla tentang Islam




Kejanggalan Pemikiran Ulil Abshar Abdalla tentang Islam

(Bantahan terhadap tulisan Ulil Abshar Abdalla “Menjadi Muslim dengan Perspektif Liberal,” sebagai bukti kejanggalan pemikiran Ulil Abshar Abdalla tentang Islam)

“Kata “kebebasan” (freedom) memunculkan berbagai golongan manusia untuk melawan terhadap segala kekuatan, terhadap setiap kekuasaan, bahkan terhadap Tuhan dan hukum-hukum alam. Dengan alasan ini, kita – ketika tiba di Kerajaan kita – akan menghapus kata ini dari kamus kehidupan karena mengisyaratkan suatu prinsip kekuatan yang brutal yang dapat mengubah rakyat menjadi binatang buas yang haus darah” (Protocol of Zion).

KEHADIRAN gagasan liberalisasi Islam, yang kemudian dikenal dengan sebutan “Islam Liberal,” dalam dunia pemikiran Islam akhir-akhir ini, khususnya di Indonesia, telah menimbulkan kontroversi dan perdebatan panjang. Ini karena banyaknya ide dan gagasan yang mereka usung sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip akidah dan syariat Islam. Tren pemikiran Islam Liberal merupakan fenomena global yang belakangan ini menggejala di hampir seluruh dunia Islam. Ia menyebar dan menjalar ke setiap lini kehidupan masyarakat muslim seiring dengan derasnya ekspansi neo-imperialisme Barat yang dibuat atas nama globalisasi dan perang melawan terorisme. Di Indonesia tren ini selalu diidentikkan dengan Jaringan Islam Liberal (JIL), meskipun tidak seluruh orang-orang yang berfikiran liberal yang ada di Indonesia tergabung secara formal dalam jaringan ini. Tren ini menyebar di berbagai institusi-institusi perguruan tinggi, organisasi keagamaan, dan juga LSM-LSM.

Peminat pemikiran-pemikiran Ulil Abshar Abdalla dengan artikelnya - “Menjadi Muslim dengan perspektif liberal” menyatakan bahwa tulisan Ulil itu merupakan sebuah refleksi keislaman dan keimanan yang indah. Maka namanya juga refleksi, menurut saya tidak usah terlalu dianggap serius apalagi diklaim sebagai kebenaran absolut. Karena dalam kamus Ulil dan kawan-kawan tidak dikenal istilah kebenaran absolut. Semua kebenaran adalah relatif, termasuk kebenaran versi mereka, harusnya…

Bagaimana ini ko bisa terbolak-balik? Menjadi muslim dengan perspektif liberal, menjadi liberal dengan perspektif muslim, menjadi muslim sekaligus liberal atau menjadi liberal sekaligus muslim? Mana yang pokok mana yang cabang, mana yang dasar mana yang tambahan, mana yang ushul mana yang furu’? Atau mana yang asli mana yang palsu? Lebih penting mana jadi muslim atau jadi liberal? Jadi muslim yang liberal atau jadi liberal yang muslim? Apa itu muslim, apa itu liberal?

kita seharusnya sebelum berdiskusi harus terlebih dahulu menetapkan batasan-batasan, kriteria, distingsi dan kategorisasi-kategorisasi dari kata-kata kunci yang kita diskusikan. Agar diskusi tidak jadi liar dan membabi-buta.

“Muslim adalah hamba Allah yang bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, melaksanakan shaum Ramadhan, dan menunaikan haji jika mampu.” (HR. Bukhari Muslim dari Abdullah bin Umar RA).

Kemudian apa arti liberal? Coba tanya apa arti liberal sama mereka. Maka mereka akan sama bingungnya dengan kita. Kenapa? Karena makna ‘liberal’ itu sendiri tidak jelas. Batasan makna liberal tidak dieksplorasi secara mendalam, padahal konsep ‘batas’ dapat merumuskan kriteria, distingsi dan kategorisasi liberal.

Akibat kaburnya batasan itu adalah timbulnya ide ‘tak terbatas’. Hasilnya, paham liberal cenderung dibangun di atas paham relativisme, skeptisisme, dan agnotisisme. Gagasan liberalisme Islam tanpa konsep yang jelas dapat berujung pada gagasan Islam liar yang bersembunyi dibalik jargon kebebasan.

Oleh karena tidak adanya konsep batasan tersebut, maka konsep Islam liberal tersebut menjadi kriteria yang longgar dan kabur. Ketidakjelasan definisi atau deskripsi makna liberal terungkap secara implisit dalam pemikiran Charles Kruzman (salah satu tokoh rujukan penting kalangan Islam Liberal). Kurzman membagi lima makna liberal, yaitu pertama, para penulis di dalam bunga rampai ini tidak menganggap diri mereka sebagai kaum liberal; kedua, para penulis mungkin tidak mendukung seluruh aspek ideologi liberal, sekalipun mereka menganut beberapa di antaranya; ketiga, bahwa istilah “liberal” mengandung konotasi negatif bagi sebagian dunia Islam karena makna itu diasosiasikan dengan dominasi asing, kapitalisme tanpa batas, kemunafikan yang mendewakan kebenaran, serta permusuhan kepada Islam; keempat, konsep ”Islam liberal” harus dilihat sebagai alat bantu analisis, bukan kategori yang mutlak; kelima, saya tidak membuat klaim apa pun mengenai “kebenaran” interpretasi liberal terhadap Islam. Saya tidak memiliki kualifikasi untuk terlibat dalam perdebatan-perdebatan yang demikian. Saya ingin mendeskripsikannya saja. Kruzman menggambarkan konsep Islam liberal dengan sesuka hatinya. Karena tidak adanya batasan yang jelas, Kruzman memasukkan nama Yusuf al-Qaradhawi dan M. Natsir sebagai pemikir Islam Liberal. Padahal jelas bahwa karya-karya mereka tidak sesuai untuk disandingkan dengan gagasan Islam liberal yang sumber pemikirannya adalah akal yang skeptis.

Kurzman tidak menjelaskan secara rinci apa yang dia maksud dengan “Islam Liberal”. Untuk menghindar definisi itu, ia mengutip sarjana hukum India, Ali Asghar Fyzee (1899-1981) yang menulis, “Kita tidak perlu menghiraukan nomenklatur, tetapi jika sebuah nama harus diberikan padanya, marilah kita sebut itu Islam Liberal.” Bahkan, Fyzee menggunakan istilah lain untuk Islam Liberal yaitu “Islam Protestan.”

Strategi Kruzman dalam memaknai Islam liberal dapat disejajarkan dengan strategi Michel Foucaulst (salah satu tokoh rujukan Islam liberal) ketika memahami makna hewan. Foucaulst (yang meninggal karena penyakit AIDS, pendukung homoseksualitas, lesbianisme dan praktik penyiksaan kepada lawan jenis sebelum berhubungan badan) mengutip sebuah ensiklopedia Cina tertentu yang mengklasifikasikan binatang sebagai berikut; yang dimiliki kaisar, yang dimumikan, yang jinak, babi-babi yang menyusui, yang merayu betina, yang menakjubkan, anjing-anjing yang sesat, yang termasuk dalam klasifikasi sekarang, yang gila, yang tidak dapat dihitung, yang dilukiskan dengan sikat rambut unta yang cantik, yang telah mematahkan teko air dan yang kelihatan seperti lalat dari kejauhan.

Jadi deskripsi Foucault mengenai makna hewan mencerminkan relativitas. Sama halnya dengan definisi Kruzman mengenai ‘liberal’ dalam menggambarkan makna Islam liberal. Implikasi dari ini semua adalah adanya kekaburan makna. Kebenaran akan menjadi kesesatan dan sebaliknya. Keyakinan akan menjadi keraguan dan sebaliknya. Yang haq akan jadi batil, yang batil jadi haq. Yang yakin dijadikan keraguan dan yang ragu dijadikan keyakinan. Inilah hakikat dari strategi postmodernism.

Menurut Adian Husaini, Liberalisasi Islam di Indonesia sudah dijalankan secara sistematis sejak awal tahun 1970-an. Menurutnya, secara umum, ada tiga bidang penting dalam ajaran Islam yang menjadi sasaran liberalisasi, yaitu (1) Liberalisasi bidang akidah dengan penyebaran paham Pluralisme Agama, (2) Liberalisasi bidang syariah dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad, dan (3) Liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekonstruksi terhadap Al-Qur'an.

Ulil di tahun 2001 pernah menegaskan bahwa masa depan hanya pada Islam liberal. Membicarakan masa depan berarti mengukur manfaat wacana bagi peningkatan taraf hidup semua unsur masyarakat. Misalnya, manfaat apa yang dirasakan wong cilik dari perkembangan pemikiran Islam liberal? Dengan demikian, kegiatan pemikiran tidak hanya menjadi kegenitan intelektual belaka yang kegunaannya sebatas untuk kesenangan para aktifis dan pemikirnya. Adakah korelasi Islam liberal dengan pengentasan kemiskinan misalnya? Bukankah Ulil dan kawan-kawan (termasuk Rizal Mallarangeng) langsung atau tidak termasuk pendukung kebijakan kenaikan harga BBM?

Pada intinya point paling penting dalam keislaman seseorang adalah meyakini kebenaran yang disampaikan Allah dan Rasulnya tanpa reserve. Harus dipertanyakan keislaman seseorang yang mengaku rajin shalat dan puasa tapi tidak meyakini syariat Islam sebagai kebenaran absolut.

Contoh: Seorang anak berkata kepada ibu kandungnya; “Ibu saya melakukan perintah ibu, tapi maaf saya tidak meyakini ibu sebagai ibu kandung saya” Sebab menurut Ulil Tuhan itu bukan hanya Allah-nya umat Islam. Padahal di dalam Al-Qur’an dan hadits bertebaran keterangan qhot’i yang menegaskan Allah itu Ahad tidak boleh didua dan ancaman-ancaman Allah terhadap orang yang mensyarikatkan-Nya. Bagaimana bisa seorang ibu rela kalau anak kandungnya mau melaksanakan perintahnya, tapi tidak yakin bahwa ibunya itu sebagai ibu kandung satu-satunya bagi dia?

Dekonstruksi makna Islam yang dilakukan oleh Ulil dan kawan-kawan sebenarnya merupakan dekonstruksi Islam secara keseluruhan. Jika makna Islam didekonstruksi, maka akan terdekonstruksi juga makna; Kafir, murtad, munafik, al-haq, dakwah, jihad, amar makruf nahi munkar, dan sebagainya. Jika dicermati, dalam berbagai penerbitan di Indonesia, upaya-upaya dekonstruksi istilah-istilah itu bisa dilihat dengan jelas. Bahkan, berlanjut ke konsep-konsep dasar Islam, seperti; wahyu, Al-Qur’an, sunnah, mukjizat dan sebagainya.

Dekonstruksi makna Islam, dan mereduksinya hanya dengan makna “submission”, berdampak pada tidak boleh adanya klaim kebenaran (truth claim) pada Islam. Kata mereka, Islam bukan satu-satunya agama yang benar. Ada banyak agama yang benar. Atau “semua agama yang benar” bisa disebut “Islam”. Kebenaran tidak satu, tetapi banyak. Sehingga, orang Islam tidak boleh mengklaim sebagai pemilik agama satu-satunya yang benar.

Tidaklah mengherankan, jika ide dekonstruksi dan reduksi makna Islam, biasanya berjalan beriringan dengan propaganda agar masing-masing pemeluk agama menghilangkan pikiran dan sikap merasa benar sendiri. Jika orang muslim tidak boleh meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar, dan agama lain salah, lalu untuk apa ada konsep dan lembaga dakwah? Jika seseorang tidak yakin dengan kebenaran agamanya-karena semua kebenaran dianggapnya relatif-maka untuk apa ia berdakwah dan berada dalam organisasi dakwah? Atau makna dakwah pun harus didekonstruksi agar tidak bertentangan dengan konsep liberal? Kenapa liberal harus mengangkangi dakwah? Dan makna amar makruf nahi munkar akan didekonstruksi juga?

Pada akhirnya, golongan ‘ragu-ragu’ akan ‘berdakwah’ mengajak orang untuk bersikap ragu juga. Mereka sejatinya telah memilih satu jenis keyakinan baru, bahwa tidak ada agama yang benar atau semuanya benar. Artinya, hakikatnya, ia memilih sikap untuk tidak beragama, atau telah memeluk agama baru, dengan teologi baru, yang disebut sebagai “teologi semua agama” atau “agama pluralisme.” Cak Nur sendiri menyatakan bahwa sekularisme itu ialah paham yang tidak bertuhan dan sekularisasi merupakan salah satu gagasan penting-kalau tidak disebut sebagai gagasan utama-kelompok Islam liberal. Maka seorang sekuler yang konsekuen dan sempurna adalah seorang ateis. Jika tidak, akan mengalami kepribadian yang pecah.

Sekedar contoh, jika kita dibolehkan memaknai Islam dan syariatnya semau kita bisa jadi akan berdampak pelecehan terhadap agama. Misalnya, salah satu kitab aliran kebatinan di Indonesia, yang bernama “Darmogandul,” dalam salah satu bait Pangkur-nya menyatakan, “Akan tetapi bangsa Islam, jika diperlakukan dengan baik, mereka membalas jahat. Ini adalah sesuai dengan zikir mereka. Mereka menyebut nama Allah, memang Ala (jahat) hati orang Islam. Mereka halus dalam lahirnya saja, pada hakekatnya mereka itu terasa pahit dan masin.”

Ada lagi ungkapan dalam kitab itu, “Adapun orang yang menyebut nama Muhammad, Rasulullah, nabi terakhir. Ia sesungguhnya melakukan zikir salah. Muhammad artinya makam atau kubur. Ra-su-lu-lah, artinya rasa yang salah. Oleh karena itu ia itu orang gila, pagi sore berteriak-teriak, dadanya ditekan dengan tangannya, berbisik-bisik, kepala ditaruh di tanah berkali-kali.” Di bagian lain disebutkan, “Saya mengira, hal yang menyebabkan santri sangat benci kepada anjing, tidak sudi memegang badannya atau memakan dagingnya, adalah karena ia suka bersetubuh dengan anjing di waktu malam. Baginya ini adalah halal walaupun tidak pakai nikah. Inilah sebabnya mereka tidak mau makan dagingnya.”

Inti ajaran Darmogandul: Yang penting dalam Islam bukan sembahyang, tetapi syahadat ‘sarengat’. Dan ‘sarengat’ artinya: hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan. Hubungan seksual itu penting sekali, sehingga empat kiblat juga berarti hubungan seksual. Darmogandul menafsirkan kata-kata pada ayat kedua dalam surat al-Baqarah sebagai berikut; “zalikal” artinya “jika tidur, kemaluan bangkit,” “kitabu la” artinya “kemaluan laki-laki masuk secara tergesa-gesa ke dalam kemaluan perempuan,” raiba fihi hudan” artinya “perempuan telanjang,” “lil muttaqin” artinya “kemaluan laki-laki berasa dalam kemaluan perempuan.” (Perkembangan Kebatinan di Indonesia, Hamka, Bulan Bintang, 1971, hlm 22-23)

Sebut saja jika kawan-kawan FPI menuntut pemerintah untuk membubarkan aliran kebatinan seperti ini, maka kalangan Islam liberal dengan jargon kebebasannya akan paling depan membela penistaan agama seperti ini. Sama seperti kasus Ahmadiyah.

Soal buka puasa sebagai tindakan kolektif, itu terserah Ulil. Itu soal perasaan, tidak perlu jadi dalil wajib atau haramnya buka puasa sendirian atau berjamaah. Kita juga sering ifthor jama’i, malah duluan kita daripada dia. Pengalaman sosial yang dialami Ulil saat buka puasa dan shalat tarawih berjama’ah sebagai pengalaman yang paling membekas bagi dirinya merupakan pengalaman pribadi yang masing-masing orang akan merasakannya berbeda-beda. Rasanya tidak perlu dibuat dramatis. Apa Ulil baru tahu bahwa buka puasa bersama dan shalat tarawih berjamaah itu lebih syahdu dan lebih nikmat? Apa baru sekarang bisa merasakan buka puasa dan shalat tarawih bersama?

Lagi-lagi pengalaman sosial. Apakah Ulil baru mengalami hidup bersosial? Jadi selama ini Ulil duduk eksklusif di menara gading merasa paling benar sendiri dengan teologi inklusifnya. Lalu ketika ‘turun gunung’ berbaur dan mau sedikit bertoleransi, hati baru terbuka betapa nikmatnya hidup bermasyarakat. Kaburo maqtan (As-Shaf 3). Padahal kita sudah biasa merasakan nikmatnya hidup bersosial.

Kemudian, jelas di belakang Ulil pasti ada yang berkata, “ kenapa shalat dan puasa, bukannya liberal?”

Ini adalah bukti kebingungan dan pecah kepribadian (split personality) kalangan Islam liberal. Sebab mereka menganggap berbeda dan tidak ada kaitan antara keimanan dengan praktik amaliah ibadah. Tidak ada kaitan antara aspek esoteris dan eksoteris agama. Bagi mereka shalat, puasa, zakat dan haji hanya kulit atau bagian luar dari praktek keberagamaan seseorang dan tidak menentukan posisi keimanan dirinya.

Tapi anehnya mereka suka berdalil atas kasusnya itu: “lihat liberal juga saya masih shalat dan puasa,” atau “lihat liberal juga ternyata ‘santun’.” Sengaja kata ‘santun’ diberi tanda petik. Sebab santun menurut siapa, apa batasannya, standar kesantunan itu apa, kriterianya mana, santun yang ini masuk kategori siapa dan yang mana? atau akan direlatifkan juga?

Saya Istigfar dan taubat jika pernyataan saya ini salah. Saya menyangsikan jika kalangan Islam liberal taat shalat dan puasa. Di mana taat sekalipun, mudah-mudahan bukan ta’at seperti Abdullah bin Ubay bin Salul, maaf kalau pernyataan ini tidak ’santun.’ Saya yakin kita harus dalam posisi mengasihani mereka dalam pencarian kebenaran tanpa ujung, penuh fatamorgana dan kamuflase.

Ada sebuah dialog menarik;

Muslim : “Apakah anda sudah menemukan kebenaran hakiki?’

Liberal : “Belum, karena saya dalam posisi pencari kebenaran”

Muslim : “Lalu kalau diri anda saja belum mendapatkan kebenaran, kenapa anda menyalah-nyalahkan orang lain yang sudah mendapatkan kebenaran dan meyakininya?”

Liberal : “justru ini salah satu cara saya menemukan kebenaran.”

Muslim : “Kalau begitu cara anda salah. Yang namanya mencari kebenaran itu salah satu caranya dengan jalan bertanya. Anda belum juga bertanya sudah menggugat kebenaran yang diyakini orang lain. Berarti anda tidak siap untuk belajar. Pantas saja anda tidak pernah menemukan kebenaran. Sebaiknya anda temukan dulu kebenaran yang akan anda yakini kebenarannya. Baru nanti kita ketemu lagi.”

Pada akhirnya liberal tidak pernah datang-datang lagi karena kebenaran hakiki tidak pernah ia dapatkan. Karena bagi dia semua kebenaran adalah relatif, tanpa ujung, tanpa pegangan, dan nyangkut di tempat mana yang paling menguntungkan ke-tuhan-an akal dan hawa nafsunya. Himmatuhum Butunuhum….

Tujuan utama dari JIL penuh tuduhan tak berdasar. Ironisnya sebagai yang meng-klaim berideologi liberal yang mengedepankan toleransi dan kebebasan ternyata tidak toleran dan berstandar ganda. Harusnya Ulil juga toleran kepada paham fundamentalis, radikal dan pro kekerasan seperti yang dituduhkannya. Sekalipun cap itu belum tentu benar karena hanya sepihak, dimana tuduhan liar seperti ini akan mengenai siapapun dan apapun. Bahwa tuduhan seperti ini pun termasuk kekerasan verbal yang sangat ditentang oleh Ulil.

Soal bajak membajak Islam. Menurut saya jangan sampai menjadi bumerang buat si penuduh. Bicara membela Islam tapi….?

Begitulah mereka yang anti “truth claim”. Namun karena merasa paling benar (padahal mereka anti terhadap klaim merasa paling benar) dengan pemahamannya itu, akhirnya membabi buta aktif menyalahkan-nyalahkan yang lain. Benar-benar sudah jauh menyimpang dari filosofi liberalisme yang diagung-agungkannya. Bukankah mereka sendiri yang menyatakan bahwa keyakinan dan pemahaman seseorang tidak bisa dihakimi? Lalu kenapa mereka dengan mudahnya menghakimi pemahaman dan keyakinan orang lain?

Tidak akan cukup singkat saja membahas tujuan kedua JIL yang disebat rasional, kontekstual, humanis dan pluralis. Kembali ke soal konsep batas, kalau konsep batas tetap tidak dipakai maka tetap akan jadi debat kusir. Tapi itulah liberal.

Saat Ulil mengatakan “di mata saya dan kawan-kawan” Jelas pandangannya sangat subyektif. Artinya harus dianggap biasa pernyataannya tidak ada implikasi dan konsekuensi apapun. Karena sepihak. Mengatakan “di mata saya” “menurut saya” sebenarnya hal yang ketat dihindari oleh Ulil dan kawan-kawan. Tapi kenapa begitu, ya itulah liberal. Mereka anti disesatkan dan dikafirkan. Maka agar fair sebagaimana yang selalu mereka dengung-dengungkan, jangan pula menyebut yang lain konservatif, Arabis, kolot, kuno, fundamentalis, radikal dan pro kekerasan. Sekalipun makna masing-masingnya belum tentu berkonotasi negatif.

Lagi-lagi tuduhan, soal teks dan konteks. Persoalan pengelolaan negara yang harus dicontoh mentah-mentah atau mateng-mateng dari Rasulullah perlu pembahasan yang panjang dan mendalam….

Persoalan yang digugat oleh Ulil bukan persoalan ibadah mahdoh dan goer mahdoh. Tapi persoalan bagaimana cara pandang seseorang memakai cara pandang Islam itu sendiri atau tidak. Islam menurut siapa? Ini biasanya pertanyaan yang akan dilontarkan oleh mereka. Maka, mendingan mana penilaian terhadap seorang anak, obyektif menurut ibunya atau tetangganya? Memahami Islam tentu harus dari orang yang pakar tentang Islam dan hidup dalam kehidupan Islam. Bukan dari non muslim yang hidup tidak mengenal Islam. Sekalipun ada beberapa kebaikan yang juga harus diambil dari mereka seperti sains dan teknologi dan sebagainya.

Khilafiyah antara khutbah jum’at berbahasa Arab dan berbahasa lokal tidak bisa disebutkan sebagai pertentangan antara yang konservatif dengan yang liberal. Ini dinamakan pengelabuan untuk pengaburan makna. Harusnya gentle saja tidak perlu ditutup-tutupi, kan katanya yakin benar dengan aqidah liberal. Ko yakin ditutup-tutupi, apa ada yang salah? Kayaknya tidak begitu deh penerapan makna liberal yang selama ini Ulil lakukan? Kenapa agar istilah liberal diterima oleh kaum Muslimin kemudian persoalan khilafiyah umat diseret-seret? Apa tidak ada cara lain….

Dalam kasus khutbah jum’at dan shalat memakai bahasa apa? Ulil justru mencoba mengomentari apa yang bukan wilayahnya. Hingga liar main comot untuk menjustifikasi pemahaman liberalnya. Dalam sejarah Islam para ulama Islam sepakat bahwa bahasa shalat adalah bahasa Arab. Tidak pernah dikenal di bagian manapun dalam sejarah Islam ada Ulama-bukan ulama-ulamaan-yang sholat menggunakan bahasa selain Arab. Kecuali sekarang ‘intelektual-intelektual’ genit korban perasaan inferior terhadap peradaban lain. Kalau anda berpendapat seperti itu berdasar ijtihad Abu Hanifah. Ketahuilah bahwa Abu Hanifah tidak pernah berpendapat demikian. Anda suka sekali mengambil pandangan-pandangan yang tidak sharih dan goer mutawatir.

Kalau Ulil menyatakan bahwa sholat menempati kedudukan yang penting dalam pemahaman Islam liberalnya, itu hak dia beranggapan seperti itu. Karena memang seharusnya juga seperti itu. Namun kemudian kalau sholatnya tanpa disertai dengan keyakinan akan kebenaran seluruh syariat Allah bahwa hanya ada satu Tuhan Allah SWT dan hanya Islam agama yang benar dan memilah-milah mana syariat yang cocok dan tidak, mana yang disuka dan tidak buat dirinya, jelas sama saja dengan tidak sholat. Percuma saja sholat kalau tidak percaya kepada Allah sebagai Kholik satu-satunya, sebagai Syari’ dengan syariat yang tidak ada bandingnya.

Pembicaraan Ulil kemudian mengarah untuk mengajak pembaca berpandangan bahwa orang yang berseberangan dengannya tidak rasional dan konservatif. Cukup jelas Ulil yang senantiasa mendorong untuk membudayakan dialog ternyata tidak cukup mampu berdialog dengan paham yang berseberangan dengannya. Karena tuduhan seperti ‘budak’ yang taat tanpa berpikir pada sebuah perintah adalah absurd.

Bukankah dengan adanya tafsir Qur’an dan syarah hadits yang disusun oleh para ulama yang tidak diragukan kompetensinya adalah bukti dari buah proses berpikir manusia untuk memahami perintah Tuhannya? Yang membedakan adalah motif dari cara berpikir untuk memahami perintah Tuhan. Yang satu untuk ketaatan dan yang lainnya untuk pengingkaran.

Yang aneh kenapa Ulil bisa tidak tahu bahwa dalam sejarah Islam pemahaman seperti yang dipermasalahkannya adalah hal yang biasa didiskusikan dan dibicarakan oleh kalangan ‘konservatif’. Bukan seperti persangkaannya bahwa umat Islam buta terhadap syariat mana yang ta’abbudi mana yang ta’aqquli.

Ujungnya arah tulisan Ulil semakin jelas dalam rangka menegaskan posisi akal dalam Islam versi liberal. Soal mengikuti dan merawat tradisi, tradisi yang mana dan seperti apa yang dimaksud? Lalu QS 26:74 itu anda arahkan kepada siapa? Kepada yang pemahamannya konservatif atau justru kepada yang pemahamannya progresif? Bukankah anda berdalil dan berdalih seperti ini atas tradisi yang diwariskan guru-guru anda seperti Harvey Cox, Robert N. Bellah, Michel Foucaulst dan lain-lain?

Anda menjaga tradisi pemahaman seperti itu apakah juga bisa dipastikan tidak membabi buta? Apakah anda juga berpikir kritis terhadap pemikiran guru-guru anda? Toh ujung-ujungnya anda meng-klaim ada akar historis antara anda dan kawan-kawan dengan pemikiran kaum muktazilah. Bukankah itu juga berarti anda merawat tradisi? Tradisi muktazilah. Sekalipun sebenarnya Muktazilah tidak se-liar anda dan kawan-kawan.

Saya sepakat kita harus berpikir kritis dalam memahami perintah Tuhan. Namun dalam makna seperti apa? Apakah mengkritisi perintah Tuhan atau mengkritisi akal kita dalam memahami perintah Tuhan? Jangan sampai ketika akal kita belum mampu memahami perintah Tuhan lalu dipaksa agar seolah-olah nampak paham atau memaksakan menyeret perintah Tuhan ke arah standar pemahamannya sendiri. Jadi Tuhan yang Maha kuasa dipaksa mengikuti kehendak hambanya.

Salah satu dalil JIL memang memahami syariat dengan persfektif tekstual dan kontekstual. Kasus pengharaman perempuan duduk di parlemen Saudi misalnya, memang harus diperdalam status hukumnya. Tapi apakah benar persis seperti itu kenyataannya di sana? Apakah juga hanya atas dasar hadits tersebut saja para ulama di sana memfatwakan demikian?

Soal hukum potong tangan. Jika Ulil mengajukan banyak pertanyaan, maka saya juga ingin mengajukan beberapa pertanyaan:

1. Kenapa anda tidak toleran terhadap orang yang berpandangan bahwa hukum potong tangan adalah bentuk hukuman yang relevan untuk saat ini? Toh jika itu kemudian disepakati umum dan diatur oleh Negara maka konstitusional. Kenapa anda tidak biarkan alamiah saja sebagaimana hukum penjara yang warisan kolonial tidak anda ganggu gugat.

2. Apakah jika teknik hukum pidana pencurian bersifat dinamis lalu ada kolerasinya dengan manusia yang makin beradab dan makin matang mentalnya saat ini? Tidakkah anda melihat betapa jauh lebih biadabnya perilaku manusia saat ini? Itukah bentuk manusia yang mentalnya matang? Coba anda bandingkan dengan jujur efektivitas hukum potong tangan dengan hukum penjara (yang mungkin anda anggap dinamis dan kontekstual) di negara-negara yang menerapkannya.

3. Entah anda tahu atau tidak bahwa hukum potong tangan dalam Islam tidak dilakukan begitu saja. Diatur sedemikian rupa sesuai dengan asas-asas keadilan dan hak-hak kemanusiaan. Apakah yang tergambar dalam benak anda orang mencuri lalu langsung dipotong pakai golok si Pitung begitu? Prosesnya tetap melalui pengadilan, harus ada saksi, bukti, laporan dan sebagainya. Kadar pencurian juga menjadi pertimbangan, apakah dia miskin atau tidak, terpaksa atau tidak, dalam keadaan sadar atau tidak dan lain sebagainya, jadi sangat adil dan manusiawi.

4. Coba anda bandingkan kembali dari sisi efesiensi dan efektivitas lebih dinamis mana lebih berefek mana antara hukum potong tangan dengan hukum penjara (sekalipun di negara-negara yang memberlakukan hukum potong tangan terdapat pula hukum penjara). Coba anda teliti ulang dalam sejarah Islam dan sejarah Yahudi-Kristen Barat atau sejarah manusia ‘modern’ saat ini, pencurian lebih banyak terjadi dalam sejarah yang mana? Mudah-mudahan anda jujur. Kejahatan, pembunuhan, pemusnahan sumber daya alam, perusakan dan pemerkosaan yang sangat dahsyat terjadi di peradaban yang mana? Sebaiknya anda membaca tulisan Syafii Ma’arif (sesepuh anda dan kawan-kawan) di kolom "Resonansi" Republika (26/08).

5. Justru anda tidak paham esensi penghukuman. Cara menghukum jelas sangat berkaitan dengan esensi penghukuman. Tolong anda jelaskan apa esensi penghukuman dengan jalan pemenjaraan? Berapa banyak cost sosial, materi dan waktu yang harus dikeluarkan dengan hukum penjara dibandingkan dengan potong tangan? Saya pikir anda hanya sibuk menambah PR umat ketimbang membantu menjawab PR-PR yang sudah ada. Atau bahkan anda sendiri adalah PR besar umat saat ini.

Secara umum argumentasi kaum liberal untuk menolak penerapan syariat Islam dapat dikategorikan menjadi tiga.

1. Argumentasi historis. Argumen ini berbunyi bahwa hukum Islam adalah produk masa lalu. Ia dibentuk berdasarkan latar belakang sosial dan politik masyarakat ketika itu. Ia merupakan sebuah respon terhadap keperluan dan kepentingan masyarakat saat itu. Karena itulah, syariat Islam tidak mungkin diaplikasikan untuk saat ini karena ia tidak merefleksikan kepentingan masyarakat saat ini.

2. Berdasarkan pertimbangan maqashid syariah. Argumentasi ini menyatakan bahwa setiap hukum mempunyai objektif/maqasid utamanya sendiri. Dan objektif utama syariat Islam secara umum adalah menciptakan kemaslahatan bagi umat manusia. Konsep maslahah itu sendiri berubah seiring dengan berjalannya waktu. Apa yang dianggap maslahah pada saat tertentu dan oleh masyarakat tertentu belum tentu dianggap sama oleh masyarakat lain dan dalam konteks waktu yang lain.

3. Atas pertimbangan Hak Asasi Manusia.

Tradisi Ulil dan kawan-kawan adalah suka bermain-main di wilayah esoterik. Memutar-mutar logika agar kelihatan ilmiah sudah menjadi ritual yang niscaya. Termasuk soal ‘ibadah murni’-memangnya ada ibadah yang tidak murni? Murni dalam makna apa? Cara ibadah buat mereka bukan hal penting karena hanya bersifat eksoterik (kulit/cangkang) saja. Tidak substansial. Mereka cenderung tidak menyukai hal-hal yang bersifat formalistik. Dalam Islam tidak ada pemisahan esoterik dan eksoterik. Keduanya seperti dua sisi dari satu mata uang yang sama, berjalin berkelindan tidak dapat dipisahkan. Dua-duanya adalah bagian penting dalam Islam, tidak ada esoterik tanpa eksoterik begitu pula sebaliknya.

Bukankah dalam Islam ada dua syarat diterimanya ibadah oleh Allah swt; pertama harus ikhlas lillahi ta’ala. Entah apakah yang dimaksud dengan penghayatan spiritual menurut Ulil itu adalah ikhlas? Dan harus showab tata caranya harus sesuai dengan contoh Rasulullah saw. Ulil juga sepakat bahwa hal ini tidak dapat diganggu gugat. Tapi kenapa Ulil menyebut tata cara ibadah tidak penting?

Pengembangan spiritualitas seperti apa yang dimaksud Ulil untuk kebahagiaan ukhrawi itu? Standarnya apa? bukannya buat Ulil tidak ada standar. Metodenya seperti apa, spiritualitas yang mana dan seperti apa? Terus fungsi agama untuk mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan seperti apa, yang mana, kata siapa, buat siapa saja, tujuannya apa, standarnya apa?

Inilah wujud kerancuan sekaligus kebingungan bangunan pola pikir Ulil. Bicara konsep kebahagiaan tentu harus merujuk pada apa yang dimaksud oleh Dzat pembuat kebahagiaan itu sendiri. Dalam al-Qur’an dan hadits banyak bertebaran keterangan bahwa orang yang beriman dan beramal sholih (tentu iman dan amal sholih cara Islam) akan mendapatkan kebahagiaan. Ulil pasti setuju dengan konsep ini, sekalipun harus terlebih dulu didekonstruksi maknanya.

Soal depresi sekarang. Menurut saya justru yang akan depresi adalah individu atau kelompok yang mengumbar dan membebaskan akalnya tanpa bimbingan wahyu. Liar, beringas, nabrak sana nabrak sini, mencari-cari pembenaran, yang ini bias yang itu absurd, masuk ke gang-gang yang buntu. Menuhankan akal, sementara tidak paham bahwa kemampuan akal terbatas. Jadi ingat ke istilah humanisme. Humanisme Barat didefinisikan sebagai “bahwa manusia dengan akalnya tanpa campur tangan Tuhan akan mampu menyelesaikan setiap persoalan.” Apakah humanisme dalam makna ini yang dimaksud Ulil? Akhirnya membabi buta, kalap, arogan, fundamentalis dalam keliberalannya, teroris dalam cara ‘dakwah’nya, konservatif dalam cara pandangnya, dan radikal (kemaruk) dalam pengamalannya.

Ulil, anda sebelum bicara soal baik dan benar, harus disepakati konsep standar tentang itu. Jangan mengambang, membuat bingung yang akhirnya malah tidak rasional.

Ulil, saya juga merasa tenteram dan bahagia dengan pemahaman saya sebagaimana anda juga mengatakan merasakan hal yang sama dengan pemahaman anda. Maka dengan demikian anda sebagai yang meng-klaim paling toleran sudah sepatutnya menjadi terdepan sebagai ‘uswatun hasanah’ yang santun, sopan, lembut, toleran memberikan kebebasan terhadap pemahaman dan kelompok yang berbeda dengan anda. Jadi tidak bijak rasanya kalau anda sebagai orang yang paling toleran, di dalam tulisan anda harus dicederai dengan teror dan provokasi. Wallahu Musta’an [Wildan Hasan]

sumber : http://www.voa-islam.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Halaman Ke