Senin, 15 Agustus 2011
Sejarah Hidup Muhammad SAW: Kelahiran Ibrahim
Rasulullah kembali ke Madinah setelah membebaskan Makkah dan setelah mendapat kemenangan di Hunain dan mengepung Ta'if. Dalam hati orang Arab, semua sudah nyata dan yakin, bahwa takkan ada yang dapat menandingi kaum Muslimin di seluruh jazirah, juga tak ada lagi lidah yang akan mengganggu atau mencela Rasulullah.
Pihak Anshar dan Muhajirin semua merasa sangat gembira karena Allah telah membukakan jalan kepada Nabi, membebaskan negeri tempat Masjid Suci. Mereka gembira karena penduduk Makkah telah beroleh hidayah dengan menganut Islam, dan orang-orang Arab—dengan kabilahnya yang beraneka ragam itu—telah tunduk dan taat kepada agama ini.
Kemenangan yang belum ada taranya dalam sejarah Arab ini telah menimbulkan kesan yang dalam sekali di dalam hati orang-orang Arab, juga dalam hati pembesar-pembesar dan bangsawan-bangsawan Quraiys. Mereka tak pernah membayangkan, bahwa pada suatu hari mereka akan tunduk kepada Muhammad SAW atau akan menerima agamanya sebagai agama mereka.
Kabilah-kabilah Arab mulai berdatangan kepada Nabi dan menyatakan kesetiaannya. Dari kabilah Tayy, datang utusan yang dipimpin oleh ketuanya sendiri, Zaid Al-Khail. Setelah mereka ini tiba, Nabi pun menyambut mereka dengan baik sekali.
Ketika terjadi pembicaraan dengan Zaid, Nabi berkata, "Setiap ada orang dari kalangan Arab yang digambarkan begitu baik, kemudian orang itu datang kepadaku, ternyata ia kurang daripada apa yang digambarkan orang, kecuali Zaid Al-Khail ini. Ia melebihi daripada apa yang digambarkan orang."
Lalu Rasulullah menamainya Zaid Al-Khair (Zaid yang baik) bukan lagi, Zaid Al-Khail (Zaid si kuda). Kabilah Tayy kemudian masuk Islam termasuk Zaid sendiri sebagai pemimpinnya.
Demikian juga pemuka-pemuka kabilah yang lain berdatangan kepada Rasulullah—setelah pembebasan Makkah dan kemenangan di Hunain serta pengepungan Ta'if—mereka hendak mengakui risalahnya dan menerima Islam. Sementara itu, ketika kembali ke Madinah, kaum Rasulullah lega dengan adanya pertolongan Allah dan kehidupan yang tenteram itu.
Akan tetapi ketenteraman hidup masa itu tampaknya tidak begitu cerah. Pada waktu itu Zainab, putri Rasulullah sedang menderita sakit yang sangat mengkhawatirkan. Akhirnya sakit yang diderita Zainab berujung maut. Dengan kematiannya itu tak ada lagi dari keturunan Rasulullah yang masih hidup selain Fatimah—setelah Ummu Kultsum dan Ruqayyah wafat lebih dulu sebelum Zainab. Dengan kehilangan putrinya ini, Rasulullah sangat sedih.
Namun kesedihan itu tak berlangsung lama, Mariyah melahirkan seorang anak laki-laki yang diberinama Ibrahim, nama yang diambil dari Nabi Ibrahim—leluhur para nabi.
Sejak Mariyah diberikan oleh Muqauqis kepada Nabi Muhammad, sampai pada waktu itu masih berstatus hamba sahaya. Oleh karena itu, tempatnya tidak di samping masjid seperti istri-istri Nabi, Ummul Mukminin yang lain. Rasulullah menempatkan Mariyah di Alia, di bagian luar kota Madinah—tempat yang kini diberinama Masyraba Ummu Ibrahim—dalam sebuah rumah di tengah-tengah kebun anggur.
Dengan kelahiran Ibrahim itu, kedudukan Mariyah dalam pandangannya tampak lebih tinggi, dari tingkat bekas budak ke derajat istri. Dan Rasulullah juga kian dekat dengannya. Wajar sekali jika hal ini menambah rasa iri hati di kalangan istri-istri Nabi yang lain. Apalagi Mariyah melahirkan keturunan beliau, sedang mereka semua tidak memperoleh seorang putra pun.
sumber : republika.co.id
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar