Jumat, 08 Juli 2011
Sejarah Hidup Muhammad SAW: Pernikahan dengan Shafiyah binti Hay
Kini kaum Muslimin mengepung benteng Zubair. Pengepungan ini tampaknya cukup lama disertai dengan pertempuran yang sengit pula. Sungguhpun begitu mereka tidak juga berhasil menaklukkannya. Baru setelah saluran air ke benteng itu diputuskan, pihak Yahudi terpaksa keluar dan dengan mati-matian memerangi kaum Muslimin, sekalipun mereka itu akhirnya lari juga. Dengan demikian benteng-benteng itu satu demi satu jatuh ke tangan Muslimin yang berakhir pada benteng Watih dan Sulalim dalam kelompok perbentengan Katiba.
Akhirnya kaum Yahudi meminta gencatan senjata dan mengajukan perdamaian. Semua harta-benda mereka di dalam benteng-benteng Asy-Syiqq, Natat dan Katiba diserahkan kepada Nabi SAW untuk disita, asal nyawa mereka diselamatkan. Permohonan ini diterima oleh Rasulullah SAW. Beliau mengizinkan mereka tinggal di kampung halaman mereka, yang menurut hukum penaklukan sudah berada di bawah kekuasaan beliau. Kaum Yahudi akan mendapat separuh hasil buah-buahan daerah itu sebagai imbalan atas tenaga kerja mereka.
Rasulullah SAW memperlakukan Yahudi Khaibar tidak sama seperti terhadap Yahudi Bani Qainuqa dan Bani Nadzir tatkala mereka dikosongkan dari kampungnya. Sebab dengan jatuhnya Khaibar, Rasulullah sudah merasa terjamin dari adanya ancaman dan bahaya Yahudi. Nabi SAW juga yakin bahwa mereka tidak akan bisa mengadakan perlawanan lagi.
Disamping itu di Khaibar terdapat pula beberapa perkebunan, ladang dan kebun-kebun kurma. Semua ini masih memerlukan tenaga-tenaga ahli yang cukup banyak untuk mengolahnya dengan cara yang sebaik-baiknya. Orang-orang Yahudi Khaibar tetap bekerja meskipun kekuasaan politik mereka sudah runtuh sedemikian rupa. Rasulullah SAW memperlakukan kaum Yahudi dengan sangat baik.
Dengan demikian semua orang Yahudi tunduk kepada kekuasaan Nabi, dan berakhir pulalah semua kekuasaan mereka di seluruh jazirah. Dari jurusan utara ke Syam kini Rasulullah sudah tidak khawatir lagi. Sama halnya seperti dari jurusan selatan, beliau juga sudah tidak khawatir lagi setelah adanya Perjanjian Hudaibiyah.
Singkat kata, pihak Yahudi kini tunduk kepada kekuasaan kaum Muslimin. Kedudukan mereka di negeri-negeri Arab sudah berantakan dan mereka pun terpaksa meninggalkan daerah itu. Tadinya mereka sebagai golongan yang dipertuan di kawasan tersebut, sampai mereka dikeluarkan semua.
Para sahabat kemudian menghadapkan seorang tawanan wanita bernama Shafiyah binti Hay kepada Rasulullah. "Shafiyah adalah sayyidah (wanita terhormat) dari Bani Quraidzah dan Bani Nadzir. Dia hanya pantas buatmu, wahai Rasulullah," demikian kata mereka.
Setelah wanita itu dimerdekakan, Rasulullah kemudian menikahinya, untuk mengurangi tekanan batin dan guncangan jiwa karena bencana yang dialaminya. Juga untuk memelihara kedudukannya yang terhormat.
Khawatir akan timbulnya dendam kepada Rasulullah dalam hati Shafiyah—yang kehilangan ayah, suami dan kaumnya—maka semalaman itu dalam perjalanan pulang dari Khaibar, Abu Ayyub Khalid Al-Anshari dengan membawa pedang terhunus berjaga-jaga di sekitar kemah Rasul.
Pagi harinya, Rasulullah melihatnya, dan bertanya, "Ada apa, wahai Abu Ayyub?"
Abu Ayyub menjawab, "Saya khawatir akan keselamatan Anda dari perbuatan wanita itu. Karena ayahnya, suaminya dan golongannya sudah terbunuh, sedang beberapa saat lalu dia masih kafir."
Akan tetapi hingga Rasulullah SAW wafat, ternyata Shafiyah sangat setia kepada beliau. Ketika Rasulullah sakit, istri-istrinya berada di sekelilingnya. Shafiyah berkata, "Ya Rasulullah, sekiranya saya saja yang menderita sakit ini."
Isteri-istri Nabi yang lain saling mengedipkan mata kepadanya. "Bersihkan mulutmu," kata Nabi kepada mereka.
"Dari apa, ya Rasulullah?" jawab mereka.
"Dari kedipan matamu kepada teman sejawatmu itu. Demi Allah, dia sungguh jujur."
Setelah Nabi wafat, Shafiyah masih mengalami masa khilafah Muawiyah. Pada masa itulah ia wafat dan dimakamkan di Baqi'.
sumber : republika.co.id
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar