Sabtu, 18 Juni 2011
Sejarah Hidup Muhammad SAW: Konspirasi Yahudi dan Quraisy
Tiba waktunya kaum Muslimin kini merasakan hidup yang lebih tenang di Madinah. Mereka sudah dapat mengatur hidup, sudah tidak begitu banyak mengalami kesulitan berkat adanya rampasan perang yang mereka peroleh dari peperangan selama ini. Meskipun dalam banyak hal, kejadian ini telah membuat mereka lupa terhadap masalah-masalah pertanian dan perdagangan.
Namun disamping ketenangan itu, Rasulullah selalu waspada terhadap segala tipu-muslihat dan gerak-gerik musuh. Mata-mata selalu disebarkan ke seluruh pelosok jazirah, mengumpulkan berita-berita sekitar kegiatan masyarakat Arab yang hendak berkomplot terhadap dirinya. Dengan demikian beliau selalu siap-siaga, sehingga kaum Muslimin dapat selalu mempertahankan diri.
Baik Quraisy maupun Yahudi Bani Qainuqa', Yahudi Bani Nadzir, demikian juga kabilah Ghatafan, Hudhail dan kabilah-kabilah yang berbatasan dengan Syam, saling menunggu kapan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya itu akan binasa. Kalaupun mereka akan mendapat kesempatan, masing-masing berharap akan dapat mengadakan balas dendam terhadap laki-laki yang sekarang datang mencerai-beraikan masyarakat Arab dengan kepercayaan mereka itu. Laki-laki yang pergi keluar Makkah, mengungsi dalam keadaan tidak berdaya, tidak punya kekuatan, selain iman yang telah memenuhi jiwanya yang besar itu, dalam waktu lima tahun sekarang ini telah menjadi orang kuat. Sehingga kota-kota dan kabilah-kabilah Arab yang terkuat sekalipun merasa segan kepadanya.
Rencana hendak menghasut orang-orang Arab adalah yang paling terutama menguasai pikiran pemuka-pemuka Bani Nadzir. Untuk melaksanakan rencana itu, beberapa orang dari kalangan mereka pergi menemui Quraisy di Makkah. Mereka terdiri dari Huyay bin Akhtab, Salam bin Abi Al-Huqaiq dan Kinanah bin Al-Huqaiq, bersama-sama dengan beberapa orang dari Bani Wa'il, Hawadzah bin Qais dan Abu Ammar.
Dalam hal ini, Allah berfirman: "Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi sebahagian dari Al-kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang Kafir (musyrik Makkah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman. Mereka itulah orang yang dikutuki Allah. Barangsiapa yang dikutuki Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya." (QS An-Nisaa': 51-52)
Huyay bin Akhtab dan orang-orang Yahudi yang sepaham dengan dia, juga menemui kabilah Ghatafan yang terdiri dari Qais Ailan, Bani Fazara, Asyja' Sulaim, Bani Sa'ad dan Asad, serta semua pihak yang ingin menuntut balas kepada Muslimin. Mereka ini aktif sekali mengerahkan orang supaya menuntut balas dengan menyebutkan bahwa Quraisy juga ikut serta memerangi Rasulullah.
Kelompok-kelompok yang sudah diorganisasikan oleh pihak Yahudi itu kini berangkat hendak memerangi Rasulullah dan sahabat-sahabatnya. Pihak Quraisy dipimpin oleh Abu Sufyan dengan 4.000 orang prajurit, 300 ekor kuda dan 1.500 pasukan unta. Pimpinan brigade yang disusun di Darun Nadwa diserahkan kepada Utsman bin Talhah. Ayah orang ini tewas terbunuh ketika memimpin pasukan di Uhud.
Bani Fazara yang dipimpin oleh Uyaina bin Hishn bin Hudzaifah telah siap dengan sejumlah pasukan besar dan 100 unta. Sedang Asyja' dan Murrah masing-masing membawa 400 prajurit. Pihak Murrah dipimpin oleh Al-Harits bin Auf dan dari pihak Asyja' oleh Misiar bin Rukhailah. Menyusul pula Sulaim, biang-keladi peristiwa Bi'r Ma'unah, dengan 700 orang. Datang pula Bani Sa'ad dan Asad menggabungkan diri. Jumlah mereka seluruhnya kurang lebih 10.000 orang. Pasukan Ahzab ini, berangkat menuju Madinah di bawah pimpinan Abu Sufyan.
Berita keberangkatan mereka ini sampai juga kepada Rasulullah dan kaum Muslimin di Madinah. Mereka merasa gentar. Kini seluruh kabilah Arab sudah bersatu-padu hendak menumpas dan memusnahkan mereka, dengan perlengkapan dan jumlah manusia yang besar, suatu hal yang belum pernah terjadi dalam sejarah perang Arab.
Salman Al-Farisi, salah seorang sahabat yang banyak mengetahui seluk-beluk peperangan, yang belum dikenal di daerah-daerah Arab, menyarankan supaya di sekitar Madinah itu digali parit dan keadaan kota diperkuat dari dalam. Saran ini segera dilaksanakan oleh kaum Muslimin.
Ketika menggali parit itu, Rasulullah ikut bekerja. Beliau turut mengangkat tanah dan sambil terus memberi semangat. Dengan bekerja giat terus-menerus, penggalian parit itu selesai dalam waktu enam hari. Dinding-dinding rumah yang menghadap ke arah datangnya musuh, yang jaraknya dengan parit itu kira-kira dua farsakh, diperkuat pula. Rumah-rumah yang ada di belakang parit dikosongkan. Wanita dan anak-anak ditempatkan dalam rumah-rumah yang telah diperkuat. Di samping parit diletakkan batu-batu agar dapat dilemparkan sebagai senjata pada saat dibutuhkan.
Tatkala pihak Quraisy dan sekutu-sekutunya datang dengan harapan akan menemui Rasulullah di Uhud, ternyata tempat itu kosong. Mereka meneruskan perjalanan ke Madinah, tapi mereka dikejutkan oleh adanya parit. Dengan perasaan jengkel, mereka lalu bermarkas di daerah Ruma, sedangkan Ghatafan serta pengikut-pengikutnya dari Najd, bermarkas di Dhanab Naqamah.
Pihak Quraisy dan kabilah-kabilah Arab lainnya melihat, bahwa tidak mungkin mereka menerobos parit itu. Dengan demikian selama beberapa hari mereka hanya saling melemparkan anak panah. Abu Sufyan sendiri dan pengikut-pengikutnya yakin bahwa akan sia-sia saja mereka berlama-lama menghadapi kota Madinah dengan paritnya itu, karena tidak akan dapat mereka terobos. Apalagi pada waktu itu sedang terjadi musim dingin yang luar biasa disertai angin badai yang bertiup kencang, sehingga sewaktu-waktu dikhawatirkan turun hujan lebat.
Semua itu tidak diperhitungkan oleh Huyay. Ia khawatir akan akibatnya. Jalan lain tidak ada. Ia harus mempertaruhkan nasib terakhir. Kepada pihak Ahzab itu ia membisikkan, bahwa ia dapat meyakinkan Bani Quraizah supaya membatalkan perjanjian perdamaiannya dengan Muhammad SAW dan pihak Muslimin. Dan selanjutnya akan menggabungkan diri dengan mereka, dengan demikian terputuslah semua perbekalan dan bala bantuan kepada Nabi Muhammad, dan dari segi lain, jalan masuk ke Madinah akan terbuka. Quraisy dan Ghatafan merasa gembira atas keterangan Huyay tersebut. Huyay sendiri cepat-cepat berangkat hendak menemui Ka'ab bin Asad, orang yang berkepentingan dengan adanya perjanjian Bani Quraizah tersebut.
Tetapi begitu mengetahui kedatangan Huyay, Ka'ab menutup pintu bentengnya, dengan perhitungan bahwa pembelotan Bani Quraizah terhadap Rasulullah dan pembatalan perjanjian secara sepihak kemudian menggabungkan diri dengan musuhnya, adakalanya memang akan menguntungkan pihak Yahudi. Itu kalau pihak Muslimin dapat dihancurkan. Tetapi jika pihak Ahzab kalah, maka Yahudi Bani Quraizah akan hancur lebur. Sungguhpun begitu Huyay terus juga berusaha, hingga akhirnya pintu benteng itu dibuka oleh Ka'ab.
sumber : republika.co.id
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar