Selasa, 14 Juni 2011
Sejarah Hidup Muhammad SAW: Kecamuk Perang Uhud
Pagi-pagi sekali, kaum Muslimin berangkat menuju Uhud. Mereka memotong jalan sedemikian rupa sehingga pihak musuh itu berada di belakang mereka. Selanjutnya Muhammad SAW mengatur barisan para sahabat. Lima puluh orang barisan pemanah ditempatkan di lereng-lereng gunung.
"Lindungi kita dan belakang, sebab kita khawatir mereka akan mendatangi kita dari belakang. Dan bertahanlah kalian di tempat itu, jangan ditinggalkan! Kalau kalian melihat kami dapat menghancurkan mereka sehingga kami memasuki pertahanan mereka, kalian jangan meninggalkan tempat. Dan jika kalian melihat kami diserang jangan membantu. Tugas kalian adalah menghujani kuda mereka dengan panah, sebab dengan serangan panah kuda itu takkan dapat maju," pesan Rasulullah.
Selain pasukan pemanah, yang lain tidak diperbolehkan menyerang siapa pun, sebelum beliau memberi perintah menyerang.
Adapun pihak Quraisy, mereka pun sudah menyusun barisan. Barisan kanan dipimpin oleh Khalid bin Walid, sedang sayap kiri dipimpin oleh Ikrimah bin Abu Jahal. Bendera diserahkan kepada Abdul Uzza Talhah bin Abi Talhah. Wanita-wanita Quraisy sambil memukul tambur dan genderang berjalan di tengah-tengah barisan itu. Kadang mereka di depan barisan, kadang di belakangnya. Mereka dipimpin oleh Hindun binti Utbah, isteri Abu Sufyan.
Kedua belah pihak sudah siap bertempur. Masing-masing telah siap mengerahkan pasukan. Yang selalu teringat oleh Quraisy adalah peristiwa Badar dan korban-korbannya. Yang selalu teringat oleh kaum Muslimin Allah SWT serta pertolongan-Nya. Rasulullah berpidato memberi semangat dalam menghadapi pertempuran itu. Beliau menjanjikan pasukannya akan mendapat kemenangan apabila mereka tabah.
Perang pun pecah. Budak-budak Quraisy dan Ikrimah bin Abu Jahal yang berada di sayap kiri, berusaha hendak menyerang Muslimin dari samping, tapi pihak Muslimin menghujani mereka dengan batu sehingga Abu Amir dan pengikut-pengikutnya lari tunggang-langgang.
Ketika itu juga Hamzah bin Abdul Muthalib berteriak, "Mati, mati!" Lalu terjun ke tengah-tengah tentara Quraisy itu.
Pekik takbir menggema dari kalangan Muslimin seraya melancarkan melancarkan serangan. Pihak Quraisy pun tak mau kalah, mereka menyerbu pula ke tengah-tengah pertempuran. Darah mereka mendidih ingin menuntut balas atas pemimpin-pemimpin dan pemuka-pemuka mereka yang tewas setahun lalu di Badar.
Dua kekuatan yang tidak seimbang itu, baik jumlah orang maupun perlengkapan, kini berhadap-hadapan. Kekuatan dengan jumlah yang besar ini motifnya cuma satu, balas-dendam! Dendam yang tak pernah pupus sejak Perang Badar. Sedang jumlah yang lebih kecil, motifnya adalah mempertahankan akidah, iman dan agama Allah.
Mereka yang menuntut balas itu terdiri dari orang-orang yang lebih kuat, dengan jumlah pasukan yang jauh lebih besar. Di belakang mereka, kaum wanita turut pula mengobarkan semangat. Tidak sedikit di antara mereka yang membawa budak-budak dan menjanjikan akan memberikan hadiah yang besar apabila mereka dapat membalaskan dendam atas kematian ayah, saudara, suami atau orang-orang yang dicintai lainnya, yang terbunuh di Badar.
Hamzah bin Abdul Muthalib adalah seorang pahlawan Arab terbesar dan paling berani. Ketika terjadi Perang Badar dialah yang telah menewaskan ayah dan saudara Hindun, begitu juga tidak sedikit orang-orang yang dicintainya yang telah ditewaskan. Seperti juga dalam Perang Badar, dalam Perang Uhud ini pun Hamzah adalah singa dan pedang Tuhan (Syaif Allah) yang tajam. Ia berhasil menewaskan Arta bin Abd Syurahbil, Siba' bin Abdil Uzza Al-Ghubsyani, dan setiap musuh yang dijumpainya, tidak luput dari sabetan pedangnya.
Hindun telah menjanjikan Wahsyi—orang Abisinia dan budak Jubair bin Mut'im—akan diberikan hadiah besar apabila ia berhasil membunuh Hamzah. Begitu juga Jubair bin Mut'im sendiri, tuannya, yang pamannya terbunuh di Badar, berkata padanya, "Kalau Hamzah paman Muhammad itu kau bunuh, maka engkau kumerdekakan!"
Wahsyi pun berhasil membunuh Hamzah, paman Rasulullah. Hamzah, si pedang Allah, menjemput syahid di Uhud, terkena sambaran tombak Wahsyi. "Ketika terjadi pertempuran, kucari Hamzah dan kuincar dia. Kemudian kulihat dia di tengah-tengah orang banyak sedang membabati orang dengan pedangnya. Tombak kuayunkan-ayunkan, lalu kulemparkan, dan mengenai sasaran di bawah perut Hamzah. Kubiarkan tombak itu sampai dia tewas. Sesudah itu kuhampiri dia dan kuambil tombakku, lalu kembali ke markas. Aku diam di sana, sebab sudah tak ada tugas lain selain itu. Aku membunuh Hamzah agar dimerdekakan dari perbudakan. Dan sesudah aku pulang ke Makkah, ternyata aku dimerdekakan," kata Wahsyi menuturkan kisahnya membunuh Hamzah.
Pertempuran berat sebelah itu, antara 700 orang Muslim melawan 3.000 kaum Musyrik Quraisy berhasil dimenangkan kaum Muslimin. Kemenangan Muslimin dalam Perang Uhud pada pagi hari itu sebenarnya adalah suatu mukjizat. Adakalanya orang menafsirkan, bahwa kemenangan itu disebabkan oleh kemahiran Muhammad SAW mengatur barisan pemanah di lereng bukit, merintangi pasukan berkuda dengan anak panah sehingga mereka tidak dapat maju dan tidak dapat menyergap Muslimin dari belakang. Ini memang benar. Tetapi juga tidak salah, kegagahan dan keberanian 600 orang Muslimin yang menyerbu pasukan yang jumlahnya lima kali lipat lebih banyak itu pun karena motifnya adalah iman.
Inilah yang membawa mujizat kepahlawanan melebihi kepandaian pimpinan. Barangsiapa yang telah beriman kepada kebenaran, maka ia takkan goncang oleh kekuatan materi, betapapun besarnya. Semua kekuatan batil yang digabungkan sekalipun, takkan dapat menggoyahkan kebulatan tekad itu. Oleh sebab itulah, pasukan berkuda Quraisy kocar-kacir. Dan hampir-hampir pula wanita-wanita mereka pun akan menjadi tawanan perang yang hina dina.
Kaum Muslimin kini mengejar musuh sampai mereka meletakkan senjata di mana saja asal jauh dari bekas markas mereka. Kaum Muslimin kini mulai memperebutkan rampasan perang. Alangkah banyaknya jumlah rampasan perang itu! Hal ini membuat mereka lupa, dan mengikuti terus jejak musuh, karena sudah mengharapkan kekayaan duniawi.
Hal ini dilihat pula oleh pasukan pemanah yang oleh Rasul diminta jangan meninggalkan tempat di gunung itu, sekalipun mereka melihat kawan-kawannya diserang. Dengan tak dapat menahan air liur melihat rampasan perang itu, satu sama lain mereka berkata, "Kenapa kita masih tinggal di sini dan tidak berbuat apa-apa. Allah telah menghancurkan musuh kita. Mereka, saudara-saudara kita itu, sudah merebut markas musuh. Ayo kita ke sana, ikut mengambil rampasan perang!"
Yang seorang lagi tentu menjawab, "Bukankah Rasulullah sudah berpesan jangan meninggalkan tempat kita ini? Sekalipun mereka diserang!"
Yang pertama berkata lagi, "Rasulullah tidak menghendaki kita tinggal di sini terus-menerus, setelah Tuhan menghancurkan kaum musyrik itu."
Lalu mereka berselisih. Saat itu juga, tampil Abdullah bin Jubair, berpidato agar mereka jangan melanggar perintah Rasul. Namun sebagian besar tidak patuh. Mereka pun meninggalkan pos pertahanan. Yang tertinggal hanya beberapa orang saja, tidak sampai sepuluh orang.
Seperti kesibukan Muslimin yang lain, para pemanah yang ikut bergegas meninggalkan posisinya itu pun sibuk pula dengan harta rampasan. Pada saat itulah Khalid bin Walid mengambil kesempatan, sebagai komandan kavaleri Makkah, ia mengerahkan pasukannya ke tempat pasukan pemanah, dan berhasil menghancurkannya.
sumber : republika.co.id
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar