Kamis, 23 Juni 2011

Sejarah Hidup Muhammad SAW: Hasutan Sang Munafik


Berita tentang Bani Mushtaliq—yang merupakan bagian dari Khuza'ah—yang telah mengadakan permufakatan di perkampungan mereka di dekat Makkah, telah sampai pula kepada Rasulullah. Mereka sedang mengerahkan segala potensi untuk membunuh Rasulullah dengan dipimpin oleh komandan mereka, Al-Harits bin Abi Dzirar.

Rahasia ini diperoleh Rasulullah dari salah seorang warga Badui. Maka beliau pun segera berangkat sementara mereka sedang lengah, seperti biasanya bila beliau menghadapi musuh. Pimpinan pasukan Muhajirin di tangan Abu Bakar dan pimpinan pasukan Anshar di tangan Sa'ad bin Ubadah. Pihak Muslimin ketika itu sudah berada di sebuah sumber air bernama Muraisi', tidak jauh dari wilayah Bani Mushtaliq.

Kemudian Bani Mushtaliq dikepung. Pihak-pihak yang tadinya datang hendak memberikan pertolongan kini melarikan diri. Dari Bani Mushtaliq sepuluh orang terbunuh, sementara pihak Muslimin hanya seorang yang jadi korban.

Setelah terjadi saling serang dengan panah, tak ada jalan lain bagi Bani Mushtaliq selain menyerah di bawah tekanan pihak Muslimin yang kuat dan bergerak cepat itu. Mereka dibawa sebagai tawanan perang, begitu juga wanita mereka, unta dan binatang ternak yang lain.

Dalam pasukan tersebut, Umar bin Al-Khathab mempunyai orang upahan yang bertugas menuntun kudanya. Selesai pertempuran orang ini berselisih dengan salah seorang dari kalangan Khazraj karena soal air. Mereka pun berkelahi dan sama-sama berteriak. Pihak Khazraj berkata, "Saudara-saudara Anshar!" Sedang orang sewaan Umar berkata pula, "Saudara-saudara Muhajirin!"

Teriakan demikian itu terdengar juga oleh Abdullah bin Ubay, yang ketika itu bersama-sama dengan orang-orang munafik turut pula dalam ekspedisi dengan harapan akan beroleh bagian rampasan perang. Dendamnya kepada pihak Muslimin dan kepada Rasulullah segera timbul. Ia kemudian memprovokasi dan mengadu-domba kaum Muslimin, dan mengajak orang-orang untuk membunuh Rasulullah SAW.

Kejadian ini sampai kepada Rasulullah, yang ketika itu baru selesai menghadapi musuh. Ketika itu Umar yang juga hadir, naik pitam mendengar berita ini. "Perintahkan kepada Bilal supaya membunuhnya," kata Umar.

Namun seperti biasa, di sini Nabi SAW memperlihatkan sikap sebagai seorang pemimpin yang sudah matang, bijaksana dan berpandangan jauh ke depan. Beliau berpaling kepada Umar lalu berkata, "Wahai Umar, bagaimana kalau sampai menjadi pembicaraan orang, dan orang-orang mengatakan bahwa Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya sendiri?"

Tetapi Rasulullah sudah mempertimbangkan, bahwa soalnya akan rumit sekali kalau tidak segera diambil langkah yang tegas. Oleh sebab itu, beliau memerintahkan agar kaum Muslimin segera meninggalkan tempat tersebut.

Ibnu Ubay juga mendengar berita yang disampaikan orang kepada Nabi. Ia segera menemui Nabi hendak membantah adanya berita yang dihubungkan dengan dirinya. Ia bersumpah atas nama Tuhan, bahwa dia tidak mengatakan dan tidak pernah bicara macam-macam. Namun itu tidak mengubah keputusan Rasulullah untuk meninggalkan tempat itu. Sesudah itu mereka pulang ke Madinah dengan membawa rampasan perang dan orang-orang tawanan Bani Mushtaliq, di antaranya Juwairiyah binti Al-Harits, putri pemimpin dan komandan perang yang sudah dikalahkan itu.

Kaum Muslimin sudah sampai di Madinah. Abdullah bin Ubay pun tiba di sana. Ia tidak pernah tenang, hatinya selalu gelisah, terbawa oleh rasa dengki terhadap Rasulullah dan kaum Muslimin. Ia pura-pura masuk Islam bahkan beriman, meskipun masih gigih membantah berita peristiwa di Muraisi'.

Pada waktu itulah turun firman Allah: "Mereka orang-orang yang mengatakan (kepada orang-orang Anshar): "Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah)." Padahal kepunyaan Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami. Mereka berkata: "Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya." Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui." (QS Al-Munaafiqun: 7-8)

Orang-orang yang mengira bahwa ayat-ayat itu merupakan hukuman terhadap Abdullah bin Ubay, dan Rasulullah pasti akan memerintahkan supaya ia dibunuh.

Ketika itu Abdullah bin Abdullah bin Ubay—putra Abdullah bin Ubay—yang telah menjadi seorang Muslim yang baik, datang kepada Rasulullah. "Rasulullah, saya mendengar tuan ingin supaya Abdullah bin Ubay dibunuh. Kalau memang begitu, tugaskanlah pekerjaan itu kepada saya. Akan saya bawakan kepalanya kepada tuan. Orang-orang Khazraj sudah mengetahui, tak ada orang yang begitu berbakti kepada ayahnya seperti yang saya lakukan. Saya khawatir tuan akan menyerahkan tugas ini kepada orang lain. Kalau sampai orang lain itu yang membunuhnya, maka saya takkan dapat menahan diri, membiarkan orang yang membunuh ayah saya itu berjalan bebas. Tentu akan saya bunuh dia, dan berarti saya membunuh orang beriman yang membunuh orang kafir. Maka saya akan masuk neraka." Begitulah kata-kata Abdullah bin Abdullah bin Ubay kepada Rasulullah.

Tak ada kata-kata yang lebih dalam dari ucapannya itu, yang melukiskan suasana batin yang sedang gelisah. Gelisah karena pengaruh kebaktian kepada ayah dan pengaruh iman yang sungguh-sungguh, di samping harga diri sebagai orang Arab serta rasa cintanya akan kesejahteraan Muslimin.

Inilah perasaan seorang anak yang melihat ayahnya akan dibunuh. Dia tidak memohon kepada Nabi supaya ayahnya tidak dibunuh, sebab beliau adalah Nabi yang tunduk pada perintah Allah. Dan ia juga yakin akan keingkaran ayahnya. Tetapi karena khawatir akan menuntut balas kepada orang yang kelak membunuh ayahnya, maka dia sendirilah yang akan memikul beban itu. Dia sendiri yang akan membunuh ayahnya, membawa kepalanya kepada Nabi, betapa pun itu sangat menyayat hati dan perasaannya.

Namun, tahukah kita bagaimana jawaban Nabi kepada Abdullah setelah mendengar itu?

"Kita tidak akan membunuhnya. Bahkan kita harus berlaku baik kepadanya, harus menemaninya baik-baik selama dia masih bersama dengan kita," kata Rasulullah.

Memaafkan. Sungguh indah dan agung maaf itu. Rasulullah SAW berlaku begitu baik kepada orang yang telah menghasut penduduk Madinah agar memusuhinya—bahkan hendak membunuhnya—dan memusuhi sahabat-sahabatnya. Biarlah sikap baik dan maafnya itu membekas lebih dalam daripada jika beliau menjatuhkan hukuman mati.

Sejak itu, apabila Abdullah bin Ubay mencoba bermain api, golongannya sendiri yang menegurnya, menyalahkan dan menekankan padanya bahwa sisa hidupnya itu adalah karena sikap pemurah Rasulullah.

Suatu hari, Nabi sedang berbincang-bincang dengan Umar bin Al-Khathab tentang masalah-masalah kaum Muslimin, juga menyebut-nyebut Abdullah bin Ubay, begitu pula tentang golongannya yang menegur dan menyalahkannya itu.

"Umar, bagaimana pendapatmu," kata Rasulullah. "Kalau kau bunuh dia ketika kau katakan kepadaku supaya dibunuh saja, tentu akan terjadi kegemparan. Kalau sekarang kusuruh bunuh tentu akan kau bunuh."

"Sungguh sudah saya ketahui, bahwa perintah Rasulullah lebih besar artinya daripada perintah saya," jawab Umar.

sumber : republika.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Halaman Ke