Minggu, 19 Desember 2010

Awalnya Catherine Huntley Sembunyi-Sembunyi Shalat Lima Waktu


Awalnya Catherine Huntley Sembunyi-Sembunyi Shalat Lima Waktu
Ilustrasi

Orang tua saya selalu mengira saya tidak normal, bahkan sebelum saya menjadi seorang Muslim. Pada remaja awal saya, bila mereka menemukan saya menonton TV pada Jumat malam maka mereka berkata, "Apa yang kamu lakukan di rumah? Apakah kau tidak punya teman untuk pergi keluar? " Catherine Huntley, 21 tahun, berkisah masa lalunya.


Padahal, katanya, yang benar adalah, "Saya tidak suka alkohol, saya belum pernah mencoba merokok, dan saya tidak tertarik pada anak laki-laki Inggris kebanyakan." Ini berlangsung sejak dulu, sejak dia remaja.

Catherine adalah gadis pendiam. Dia juga cerdas. Baginya, ketimbang keluyuran tidak jelas, mendingan duduk di belakang laptop; berselancar di dunia maya. Hingga suatu hari, ia terpaku pada sebuah situs keislaman. Ia mencoba mencari tahu ke situs-situs lainnya. "Saya bisa menghabiskan waktu makan siang setiap membaca tentang Islam pada komputer. Damai di dalam hati saya dan tidak ada lagi yang lebih penting selain itu," ujar asisten ritel yang tinggal di Bournemouth, Inggris ini.

Baginya, ajaran Islam sungguh memesona. Tak puas hanya berselancar, diapun mulai rajin mengoleksi buku-buku keislaman. Terjemah Alquran sudah dimilikinya sejak awal pertama berselancar dan menemukan damai yang dimaksudnya. "Saya tidak pernah bertemu seorang Muslim sebelumnya, jadi saya tidak punya prasangka," ujarnya.

Suatu hari, ia mendiskusikan apa yang dibacanya dengan orangtuanya. "Tetapi orangtua saya tidak begitu berpikiran terbuka. mereka ngeri dan berkata, 'Kita akan membicarakannya bila nanti kau berusia 18 tahun," ia mengisahkan.

Namun, gairah mempelajari Islam menyala-nyala dalam diri Catherine. Tak cukup membeli buku-buku keislaman, ia pun muklai mengoleksi baju-baju panjang dan kerudung. "Semua saya simpan rapi dalam laci," tambahnya.

Ia pun mulai berpakaian lebih sederhana dan diam-diam berpuasa selama bulan Ramadhan. Ia mengaku seperti menjalani kehidupan ganda, sampai suatu hari, ketika berumur 17 tahun, ia merasa tidak bisa menunggu lebih lama lagi. "Saya menyelinap keluar rumah, meletakkan jilbab saya dalam sebuah tas dan naik kereta ke Bournemouth. Tujuannya satu, saya akan berikrar sebagai seorang Muslim."

Seminggu setelah bersyahadat, sang ibu datang ke kamarnya dan berkata," Apakah kau punya sesuatu untuk dikabarkan padaku?" Dia menarik sertifikat mualaf dari sakunya. Bagi orangtuanya, mereka lebih suka menemukan hal lain pada saat itu - obat-obatan, rokok, kondom - tapi bukan sertifikat mualaf dan jilbab.

"Mereka hingga kini tidak bisa memahami mengapa saya menyerahkan kebebasan saya demi sebuah agama asing. Mengapa saya ingin bergabung semua teroris dan pelaku bom bunuh diri," ujarnya.

Namun, ia bertahan. Walau diakuinya, sangat sulit menjadi satu-satunya Muslim dalam keluarga pembenci Muslim, dan menempatkannya menjadi "musuh keluarga". Dia mengaku melakukan shalat secara sembunyi-sembunyi, persis di depan pintu kamar, sehingga setidaknya, sang kakak akan terganjal saat ia mencoba masuk ke kamar. Atau, sang ibu tiba-tiba akan menjadi sangat aktif bicara saat dia sedang shalat, sehingga mau tak mau ia harus sering berhenti untuk menyahuti pertanyaannya.

Ia mulai tak nyaman ketika mereka terang-terangan menyatakan ketidaksukaannya pada Islam. Misalnya saja, saat membaca tulisan tentang cadar di koran, ibunya berkata, "tak lama lagi Catherine akan menjadi seperti itu."

Puncaknya, saat sang kakak mengolok-olok perempuan Muslim yang selalu berjalan tiga langkah di belakang suaminya. "Mendapat ini saya benar-benar marah, karena itu budaya, bukan agama. Tunangan saya, yang saya temui delapan bulan lalu, dari Afghanistan dan ia percaya bahwa seorang wanita Muslim adalah mutiara dan suaminya adalah kerang yang melindungi dia."

Ia pun memutuskan keluar dari rumah itu.

Kini, Catherine tengah bersiap menikah. Dia mengundang keluarganya, tapi tak banyak berharap mereka akan datang." Sungguh menyakitkan berpikir saya tidak akan pernah memiliki pernikahan seperti dalam dongeng, dikelilingi oleh keluarga saya. Tapi saya berharap hidup baru saya dengan suami saya akan jauh lebih bahagia. Aku akan membuat rumah yang sejuk dan damai, tanpa harus merasakan sakit orang menilai saya."

Red: Siwi Tri Puji B
Sumber: republika.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Halaman Ke