Hudzaifah Ibnul Yaman
Copas dari Agung Heru Setiawan (http://www.facebook.com/agung.hs1)
Sahabat Rasulullah SAW yang kita bicarakan kali ini adalah Hudzaifah Ibnul Yaman. Hudzaifah Ibnu Yaman, intelejen Rasulullah yang juga digelari “Shahibu Sirri Rasulullah” (Pemegang rahasia Rasulullah) ini menjadi sahabat ke-13 yang kita kaji sirah-nya dalam Sirah Sahabat blog Bersama Dakwah. Selamat membaca.***
“Jika engkau ingin digolongkan kepada Muhajirin, engkau memang Muhajir. Dan jika ingin digolongkan kepada Anshar, engkau memang seorang Anshar. Pilihlah mana yang engkau sukai.”
Itulah kalimat yang diucapkan Rasulullah SAW kepada Hudzaifah Ibnul Yaman, ketika dia pertama kali bertemu muka dengan beliau di Makkah. Mengenai pilihan itu, apakah dia tergolong Muhajirin atau Anshar, yaitu dua golongan yang dicintai kaum muslimin, mempunyai kisah tersendiri bagi Hudzaifah.
Al-Yaman, ayah Hudzaifah, adalah orang Makkah dari Bani Abbas. Oleh karena suatu hutang darah dalam kaumnya, dia terpaksa menyingkir dari Makkah ke Yatsrib (Madinah). Di sana dia minta perlindungan pada Bani Abd Asyhal dan bersumpah setia pada mereka untuk menjadi keluarga dalam persukuan Bani Abd Asyhal. Kemudian dia menikah dengan anak perempuan suku Asyhal. Dari perkawinannya itu lahirlah anaknya, Hudzaifah. Maka hilanglah halangan yang menghambat Al-Yaman untuk memasuki kota Makkah. Sejak saat itu dia bebas pulang pergi antara Makkah dan Madinah. Namun begitu, dia lebih banyak tinggal dan menetap di Makkah.
Ketika Islam memancarkan cahayanya ke seluruh jazirah Arab, Al-Yaman termasuk salah seorang dari sepuluh orang Bani Abbas untuk menemui Rasulullah SAW dan menyatakan Islam di hadapan beliau. Segala peristiwa yang kita sebutkan itu terjadi sebelum hijrah Rasulullah ke Madinah. Sesuai dengan garis keturunan yang berlaku di negeri Arab, yaitu menurut garis keturunan bapak (patriarchal), maka Hudzaifah adalah orang Makkah yang lahir dan dibesarkan di Madinah.
Hudzaifah ibnul Yaman lahir di rumah tangga muslim, dipelihara dan dibesarkan dalam pangkuan kedua ibu bapaknya yang telah memeluk agama Allah, sebagai rombongan pertama. Karena itu Hudzaifah telah Islam sebelum dia bertemu muka dengan Rasulullah SAW.
Kemudian Hudzaifah hendak bertemu dengan Rasulullah SAW memenuhi setiap rongga hatinya. Sejak masuk Islam, dia senantiasa menunggu-nunggu berita, dan nyinyir bertanya tentang kepribadian dan ciri-ciri beliau. Bila hal itu dijelaskan orang kepadanya, makin bertambah cinta dan kerinduannya kepada Rasulullah.
Pada suatu hari dia berangkat ke Makkah sengaja hendak menemui Rasulullah. Setelah bertemu, Hudzaifah bertanya kepada beliau, “Apakah saya ini seorang muhajir atau Anshar, ya Rasulullah?”
Jawab Rasulullah, “Jika engkau ingin disebut muhajir, engkau memang seorang muhajir; dan jika engkau ingin disebut Anshar, engkau memang orang Anshar. Pilihlah mana yang engkau sukai.”
Jawab Hudzaifah, “Aku memilih Anshar, ya Rasulullah!.”
Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, Hudzaifah selalu mendampingi beliau bagaikan seorang kekasih. Hudzaifah turut bersama-sama dalam setiap peperangan yang dipimpinnya, kecuali dalam perang Badar. Mengapa dia tidak turut dalam perang Badar? Soal ini pernah diceritakan oleh Hudzaifah.
Katanya: Yang menghalangiku untuk turut berperang dalam peperangan Badar karena ketika itu aku dan bapakku sedang pergi ke luar kota Madinah. Dalam perjalanan pulang, kami ditangkap oleh kaum kafir Quraisy. Tanya mereka, “Hendak ke mana kalian?”Jawab kami, “Ke Madinah!”Tanya mereka, “Kalian hendak menemui Muhammad?”Jawab kami, “Kami hendak pulang ke rumah kami, di Madinah!”
Mereka tidak bersedia membebaskan kami kecuali dengan perjanjian bahwa kami tidak akan membantu Muhammad, dan tidak akan memerangi mereka. Sesudah itu barulah kami dibebaskannya.
Setelah bertemu dengan Rasulullah, kami ceritakan kepada beliau peristiwa tertangkapnya kami oleh kaum kafir Quraisy dan perjanjian dengan mereka. Lalu kami tanyakan kepada beliau, apa yang harus kami lakukan.
Jawab Rasulullah, “Batalkan perjanjian itu, dan mari kita mohon pertolongan Allah untuk mengalahkan mereka!”
Dalam peperangan Uhud, Hudzaifah turut memerangi kaum kafir bersama-sama dengan ayahnya, Al-Yaman. Dalam peperangan itu Hudzaifah mendapat cobaan besar. Dia pulang dengan selamat, tetapi bapaknya tewas di Uhud, menjadi syahid. Bapaknya syahid oleh pedang kaum muslimin sendiri, bukan oleh kaum musyrikin.
Ceritanya, pada hari terjadinya perang Uhud, Rasulullah SAW menugaskan Al-Yaman (ayah Hudzaifah) dan Tsabit bin Waqsy mengawal benteng tempat para wanita dan anak-anak, karena keduanya sudah lanjut usia. Ketika perang memuncak dan berkecamuk dengan sengit, Al-Yaman berkata kepada temannya, “Bagaimana pendapatmu; apalagi yang harus kita tunggu. Umur kita hanya tinggal selama menunggu keledai puas minum. Kita mungkin saja mati hari ini atau besok. Apakah tidak lebih baik kita ambil pedang lalu menyerbu ke tengah-tengah musuh membantu Rasulullah. Mudah-mudahan Allah SWT memberi kita rezeki menjadi syuhada bersama-sama dengan Nabi-Nya.” Lalu keduanya mengambil pedang mereka, dan terjun ke arena pertempuran.
Tsabit bin Waqsy memperoleh kemuliaan di sisi Allah. Dia syahid di tangan kaum musyrikin. Tetapi Al-Yaman bapak Hudzaifah menjadi sasaran pedang kaum muslimin sendiri, karena mereka tidak mengenalnya. Hudzaifah berteriak, “Itu bapakku…! Itu bapakku…!”
Tetapi sayang, tidak seorang pun yang mendengar teriakannya., sehingga bapaknya jatuh tersungkur oleh teman-temannya sendiri. Hudzaifah tidak berkata apa-apa, kecuali hanya berdoa, “Semoga Allah SWT mengampuni kalian; Dia Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”
Rasulullah SAW memutuskan untuk membayar tebusan darah (diyat) bapak Hudzaifah kepada anaknya, Hudzaifah. Kata Hudzaifah, “Bapakku menginginkan supaya dia mati syahid. Keinginannya itu kini telah dicapainya. Wahai Allah! Saksikanlah, sesungguhnya aku menyedekahkan diyat darah bapakku kepada kaum muslimin.”
Maka dengan pernyataannya itu, penghargaan Rasulullah terhadap Hudzaifah bertambah tinggi dan mendalam.
Rasulullah SAW menilai, dalam pribadi Hudzaifah ibnul Yaman terdapat tiga keistimewaan yang menonjol: pertama, cerdas tiada bandingan, sehingga dia dapat meloloskan diri dalam situasi yang serba sulit. Kedua, cepat tanggap, berpikir cepat, tepat dan jitu, yang dapat dilakukannya setiap diperlukan. Ketiga, cermat, memegang rahasia, dan berdisiplin tinggi; sehingga tak seorang pun dapat mengorek yang dirahasiakannya.
Sudah menjadi salat satu kebijaksanaan Rasulullah, berusaha menyingkap keistimewaan para shahabatnya, dan menyalurkannya sesuai dengan bekat dan kesanggupan yang terpendam dalam pribadi masing-masing mereka. Yakni menempatkan seseorang pada tempat yang selaras.
Kesulitan terbesar yang dihadapi kaum muslimin di Madinah adalah keahdiran kaum Yahudi munafik dan sekutu mereka, yang selalu membuat isu-isu dan muslihat jahat, yang dilancarkan mereka terhadap Rasulullah dan para sahabat. Maka dalam menghadapi kesulitan itu, Rasulullah mempercayakan suatu yang sangat rahasia kepada Hudzaifah ibnul Yaman, dengan memberikan daftar nama orang munafik itu kepadanya. Itulah suatu rahasia yang tidak pernah bocor kepada siapa pun hingga sekarang, baik kepada para sahabat yang lain atau kepada siapa saja. Dengan mempercayakan hal yang sangat rahasia itu, Rasulullah menugaskan Hudzaifah memonitor setiap gerak-gerik dan kegiatan mereka, untuk mencegah bahaya yang mungkin dilontarkan mereka terhadap Islam dan kaum muslimin. Dan karena itu, Hudzaifah ibnul Yaman digelari oleh para sahabat dengan “Shahibu Sirri Rasulullah” (Pemegang rahasia Rasulullah).
Pada suatu ketika, Rasulullah memerintahkan Hudzaifah melaksanakan suatu tugas yang amat berbahaya, dan membutuhkan keterampilan luar biasa untuk mengatasinya. Karena itulah beliau memilih orang yang cerdas, tanggap dan berdisiplin itnggi. Peristiwa itu terjadi pada puncak peperangan Khandaq. Kaum muslimin telah lama dikepung rapat oleh musuh, sehingga mereka merasakan ujian yang berat, menahan penderitaan yang hampir tak tertanggungkan, serta kesulitan-kesulitan yang tak teratasi. Semakin hari situasi semakin gawat, sehingga menggoyahkan hati yang lemah. Bahkan menjadikan sementara kaum muslimin berprasangka yang tidak wajar terhadap Allah SWT.
Namun begitu, pada saat kaum muslimin mengalami ujian berat dan menetukan itu, kaum Quraisy dan sekutunya yang terdiri dari orang-orang musyrik, tidak lebih baik keadaannya dari pada yang dialami kaum muslimin. Karena murka-Nya, maka Allah Azza wa Jalla menimpakan bencana kepada mereka dan melemahkan kekuatannya. Allah meniupkan angin topan yang amat dahsyat, sehingga menerbangkan kemah-kemah mereka, membalikkan periuk, kauli dan belanga, memadamkan api, menyiram muka mereka dengan pasir dan menutup mata dan hidung mereka dengan tanah.
Pada situasi genting dalam sejarah setiap peperangan, pihak yang kalah ialah yang lebih dahulu mengeluh dan pihak yang menang ialah yang dapat bertahan menguasai diri melebihi lawannya. Maka dalam detik-detik seperti itu, amat diperlukan informasi secepatnya mengenai kondisi musuh, untuk menetapkan penilaian dan landasan dalam mengambil keputusan melalui musyawarah.
Kata Hudzaifah: Malam itu kami (tentara muslimin) duduk berbaris, Abu Sufyan dengan dua baris pasukannya kaum musyrikin. Makkah mengepung kami sebelah atas. Orang-orang Yahudi Bani Quraizhah berada di sebelah bawah. Yang kami khawatirkan ialah serangan mereka terhadap para wanita dan anak-anak kami. Malam sangat gelap. Belum pernah kami alami gelap malam yang sepekat itu, sehingga tidak dapat melihat anak jari kami sendiri. Angin bertiup sangat kencang sehingga desirannya menimbulkan suara bising yang memekakkan. Orang-orang lemah iman, dan orang-orang munafik minta izin untuk pulang kepada Rasulullah dengan alasan rumah mereka tidak terkunci. Padahal sebenarnya rumah mereka terkunci.
Setiap orang yang minta izin pulang, diberi izin oleh Rasulullah, tidak ada yang dilarang atau ditahan beliau. Smeuanya keluar dengan sembunyi-sembunyi, sehingga kami yang tetap bertahan, hanya tinggal 300 orang.
Rasulullah berdiri dan berjalan memeriksa kami satu per satu. Setelah beliau sampai ke dekatku, aku meringkuk kedinginan. Tidak ada yang melindungi tubuhku dari udara dingin yang menusukku, selain sehelai sarung butut kepunyaan istriku, yang hanya dapat menutupi hingga lutut. Beliau mendekatiku yang sedang menggigil, seraya bertanya, “Siapa ini?”“Hudzaifah.” Jawabku.“Hudzaifah!” Tanya Rasulullah minta kepastian. Aku merapat ke tanah sulit berdiri karena lapar dan dingin.“Betul, ya Rasulullah!” jawabku.“Ada beberapa peristiwa yang dialami musuh; pergilah engkau ke sana dengan sembunyi-sembunyi untuk mendapatkan data-data yang pasti, dan laporkan kepadaku segera!” kata beliau memerintah.
Aku bangun dengan ketakutan dan kedinginan yang sangat menusuk. Maka Rasulullah berdoa, “Wahai Allah, lindungilah dia, dari depan, dari belakang, kanan, kiri, atas, dan dari bawah.”
Demi Allah! Sesudah Rasulullah selesai berdoa, ketakutan yang menghantui dalam dadaku, dan kedinginan yang menusuk-nusuk tubuhku hilang seketika, sehingga aku merasa segar dan perkasa. Tatkala aku memalingkan diriku dari Rasulullah, beliau memanggilku dan berkata, “Hai, Hudzaifah! Sekali-kali jangan melakukan tindakan yang mencurigakan mereka sampai tugasmu selesai, dan kembali melapir kepadaku!”Jawabku, “Saya siap, ya Rasulullah!”
Lalu aku pergi dengan sembunyi-sembunyi dan hati-hati sekali, dalam kegelapan malam yang hitam kelam. Aku berhasil menysuup ke jantung pertahanan musuh dengan berlagak seolah-olah aku anggota pasukan mereka. Belum lama aku berada di tengah-tengah mereka, tiba-tiba terdengar Abu Sufyan memberi komando.
Katanya, “hai pasukan Quraisy! Dengarkan aku berbicara kepada kamu sekalian. Aku sangat khawatir, hendaknya pembicaraanku ini jangan sampai terdengar oleh Muhammad. Karena itu telitilah lebih dahulu setiap orang yang berada di samping kalian masing-masing!”
Mendengar ucapan Abu Sufyan itu, aku segera memegang tangan yang di sampingku seraya bertanya, “Siapa kamu?”
Jawabnya, “Aku di anu, anak si anu!”
Sesudah dirasanya aman, Abu Sufyan melanjutkan bicaranya, “Hai pasukan Quraisy! Demi Tuhan! Sesungguhnya kita tidak dapat bertahan di sini lebih lama lagi. Hewan-hewan kita telah banyak yang mati. Bani Quraizhan berkhianat meninggalkan kita. Angin topan menyerang kita dengan ganas seperti kalian rasakan. Karena itu berangkatlah kalian sekarang dan tinggalkan tempat ini. Sesungguhnya aku sendiri akan berangkat.”
Selesai berkata begitu, Abu Sufyan langsung mendekati untanya, dilepaskannya tali penambat, lalu dinaiki dan dipukulnya. Unta itu bangun dan Abu Sufyan langsung berangkat. Seandainya Rasulullah tidak melarangku melakukan suatu tindakan di luar perintah sebelum datang melapor kepada beliau, sungguh telah kubunuh Abu Sufyan dengan pedangku.
Aku kembali ke pos komando menemui Rasulullah. Kudapati beliau sedang shalat di tikar kulit, milik salah seorang istrinya. Tatkala beliau melihatku, didekatkannya kakinya kepadaku dan diulurkannya ujung tikar menyuruhku duduk di dekatnya. Lalu kulaporkan kepada beliau segala kejadian yang kulihat dan kudengar. Beliau sangat senang dan bersuka hati, serta mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT.
Hudzaifah ibnul Yaman sangat cermat dan teguh memegang segala rahasia mengenai orang-orang munafik selama hidupnya. Sehingga kepada para khalifah sekalipun, yang mencoba mengorek rahasia tersebut tidak pernah bocor olehnya. Sampai-sampai khalifah Umar bin Khattab r.a. apabila ada orang muslim yang meninggal, dia bertanya, “Apakah Hudzaifah turut menyalatkan jenazah orang itu?” Jika mereka jawab ada, beliau turut menyalatkannya. Bila mereka menjawab tidak, beliau enggan menyalatkannya.
Pada suatu ketika khalifah Umar pernah bertanya kepada Hudzaifah dengan cerdki, “Adakah diantara pegawai-pegawaiku orang munafik?”Jawab Hudzaifah, “Ada seorang!”Kata Umar, “Tolong tunjukkan kepadaku, siapa?”Jawab Hudzaifah, “Maaf Khalifah, saya dilarang Rasulullah mengatakannya.”“Seandainya aku tunjukkan, tentu khalifah akan langsung memecat pegawai yang bersangkutan,” kata Hudzaifah bercerita.
Namun begitu, amat sedikit orang yang mengetahu Hudzaifah ibnul Yaman sesungguhnya adalah pahlawan penakluk Hamadzan dan Rai. Dia membebaskan kota-kota tersebut bagi kaum muslimin dari genggaman kekuatan Persia yang menuhankan berhala. Hudzaifah juga termasuk tokoh yang memprakarsai keseragaman mushaf Al-Qur’an, sesudah Kitabullah itu beraneka ragam coraknya di tangan kaum muslimin. Dan Hudzaifah, hamba Allah yang sangat takut kepada Allah, dia juga takut melanggar perintah dan larangan Allah, dan sangat takut akan sika-Nya.
Ketika Hudzaifah sakit keras menjelang ajalnya tiba, beberapa orang sahabat datang mengunjunginya tengah malam.
Hudzaifah bertanya kepada mereka, “Jam berapa sekarang?”Jawab mereka, “Sudah dekat Subuh.”Kata Hudzaifah, “Aku berlindung kepada Allah dari Subuh yang menyebabkan aku masuk neraka.”Kemudian dia bertanya, “Adakah tuan-tuan membawa kafan?”Jawab mereka, “Ada!”Kata Hudzaifah, “Tidak perlu kafan yang mahal. Jika diriku baik dalam penilaian Allah, Dia akan menggantinya untukku dengan kafan yang lebih baik. Dan jika tidak baik dalam pandangan Allah Dia akan menanggalkan kafan itu dari tubuhku.”
Sesudah itu dia berdoa, “Wahai Allah. Sesungguhnya Engkau tahu, bahwa aku lebih suka fakir dari pada kaya, aku lebih suka sederhana dari pada mewah, dan aku lebih suka mati dari pada hidup.”
Sesudah berdoa begitu ruhnya berangkat. Seorang kekasih Allah kembali kepada Allah dalam kerinduan. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Hudzaifah Ibnul Yaman.[sumber: Kepahlawanan Generasi Shahabat Rasulullah SAW]
sumber : PITI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar