Hidup selalu memiliki saat-saat yang baik dan buruk. Begitu pula dengan saya, Vivian Espin (22) dari Ekuador. Terkadang ketika saya memikirkan masa lalu, teringat kenangan yang menyakitkan. Saya menginginkan hal-hal yang berbeda seperti keluarga yang normal, atau mungkin merawat kedua orang tua. Saya tidak tahu, tapi saya yakin semuanya memiliki alasan.
Masa kecil saya begitu keras. Ayah seorang yang keras, namun ibu sangat patuh. Kami memiliki masalah keuangan dan banyak persoalan lainnya yang mempengaruhi kakak dan mental saya sendiri. Di masa kecil, ibu kerap mengajarkan saya bahasa Inggris dan pelajaran lainnya di rumah. Sehingga pada usia empat tahun, ibu memutuskan untuk mengirim saya ke sekolah.
Orang tua mengirim saya belajar di sekolah Katolik. Alasannya, ibu menginginkan saya untuk mendapatkan keimanan yang lebih baik kepada Tuhan. Apalagi, sekolah Katolik ini merupakan salah satu yang terbaik di kota tempat tinggalku dan ayah juga bisa membanggakan dirinya bahwa anaknya mampu mengenyam pendidikan di sekolah itu.
Sejak awal, usia saya memang lebih muda dibandingkan teman-teman sekelas. Teman-teman kerap menjahili saya. Mereka menempelkan permen karet ke rambut, mencuri barang-barang, membuang makanan saya ke tempat sampah, dan keusilan lainnya. Karena itulah, kepala sekolah lantas memutuskan untuk melindungi saya.
Setiap waktu istirahat, saya tidak diizinkan bermain bersama teman-teman di halaman sekolah. Saya justru menghabiskan istirahat di ruang guru atau kepala sekolah. Karena sekolah Katolik, maka hampir semua guru, kepala sekolah, dan direksi adalah biarawati. Saya pun mulai menjadi sangat dekat dengan mereka dan mereka pun menyayangi saya. Bahkan, mereka kemudian membiarkan saya untuk menginap di rumah dinas mereka yang berada di lingkungan sekolah.
Orangtuaku bercerai ketika usiaku hampir delapan tahun. Kejadian itu menjadi peristiwa yang paling traumatis dalam hidup saya yang mungkin tak akan pernah saya ceritakan kepada orang lain sekarang hingga masa nanti. Saya menjadi kerap menghabiskan waktu seorang diri. Pikiran terkadang mulai melayang. Memikirkan sesuatu yang yang tak ada jawabannya.
Usai bercerai, ibuku menjadi lebih relijius. Ibu pun mulai banyak mengontrol saya. Memang terkadang itu baik bagiku, tapi kadang sebaliknya. Akibatnya, saya seperti dibesarkan dengan rasa takut, ketidakamanan dan keraguan.
Saya menjadi suka menyendiri di tempat-tempat yang tenang. Satu-satunya tempat yang cocok untuk melakukan itu adalah di halaman sekolah yang luas dengan rumput hijaunya. Saya kerap berbaring di sana sambil memandang langit dan merasakan sejuknya hembusan angin. Semuanya terasa begitu damai.
Para biarawati begitu menghargai saya. Begitu banyak waktu yang dihabiskan bersama mereka. Saya juga merasa bahwa satu-satunya cara untuk bisa melarikan diri dari persoalan di rumah adalah dengan mencari perlindungan pada Tuhan. Sehingga pada usia 12 tahun, saya mengatakan kepada ibu bahwa saya merasa lebih suka tinggal di biara dengan para biarawati dan ingin menjadi bagian dari mereka.
Namun ibu tak mengizinkan. Ibu senang saya ingin dekat dengan Tuhan tapi saya diharapkan kelak bisa memberikan cucu bagi dirinya. Jadi, ibu tak membiarkan saya menjadi biarawati.
Setelah tak diizinkan menjadi biarawati, saya memutuskan untuk lebih dekat kepada Tuhan dengan mempelajari dan memahami isi Alkitab. Namun setelah saya banyak membaca isinya ternyata yang muncul dalam benak justru segudang pertanyaan. Saya merasakan banyak hal yang tak masuk akal, kontradiksi, dan di beberapa bagian pesan yang disajikan Alkitab tidak lengkap. Hal itu membuatnya bertambah penasaran untuk menemukan jawaban logisnya.
Saya lantas mulai membaca buku agama dan internet sangat membantu untuk melakukan itu. Banyak informasi mengenai Yudaisme, Buddhisme, Agnostisisme, Hindu, dan Kristen sendiri serta sekte-sektenya. Namun tak satu pun penjelasan yang diberikan oleh agama-agama itu yang memuaskan logikaku.
Sementara untuk mempelajari Islam, saya tidak tertarik karena sebelumnya saya kerap mendengarkan hal buruk mengenainya. Tetapi karena saya tak kunjung menemukan penjelasan logis atas berbagai pertanyaan di dalamdiri, akhirnya saya memutuskan untuk coba mengetahui tentang Islam. Mungkin, Islam bisa menjadi opsi terakhir untuk menemukan jawaban logis itu.
Ajaran Trinitas dalam Kristen tak pernah jelas bagi saya. Ketika saya mulai membaca penjelasan Islam mengenai esensi Tuhan, penjelasan logis mulai didapat. Pertanyaan berapa banyak sebenarnyakah Tuhan itu yang selama ini menghantui pikiran mulai terkuak. Islam mengatakan hanya ada satu Tuhan. Penjelasan ini bagi saya lebih bisa diterima akal.
Sejak itu, saya juga mulai membaca secara singkat tentang Nabi Muhammad. Saya mendapatkan ternyata Nabi sangat dekat dengan Musa. Ternyata Muhammad membawa pesan yang sama dengan semua nabi sebelumnya yang datangnya dari Tuhan. Penjelasan Islam ini membuat saya merasa telah menemukan agama yang benar.
Dalam hidup, saya mempunyai dua keinginan besar, yaitu pergi ke Mesir dan menikah dengan lelaki baik yang sungguh-sungguh mencintai dan menjaga saya. Mungkin usia saya 17 atau 18 tahun, saya tidak ingat pastinya, ketika saya mengungkapkan keinginan pindah agama menjadi Muslim kepada ibu. Saya katakan kepadanya bahwa saya suka pergi ke Islamic Center di kota dan mempelajari Islam.
Kontan, keinginanku itu membuat ibu marah. Dia mengatakan hanya orang-orang Kristen yang boleh tinggal di rumahnya. Ibu juga mengatakan jika aku serius menjadi Muslim maka harus pergi meninggalkan rumah. Karena tak ingin melukai perasaannya, saya lantas mengatakan bahwa itu hanya candaan.
Namun ibu menganggap keinginanku itu serius. Karena itu, dia meminta bibi unutk membawakan sebuah buku tentang Islam. Buku yang isinya ternyata menceritakan keburukan tentang Islam. Hal itu membuatku sempat merasa takut dan ragu terhadap Islam. Sehingga saya sempat menghentikan niat untuk menjadi Muslim. Namun saya juga tak ingin kembali ke Kristen karena merasa sudah tak nyaman dengan agama yang dianutnya sejak lahir itu.
Suatu hari, ibu mengubah agamanya dari Katolik menjadi Evangelis setelah mukjizat menghampiri salah seorang saudara lelakinya. Paman divonis menderita kanker dan dokter mengatakan usianya mungkin tinggal sepekan atau sebulan lagi. Namun dua tahun berlalu, dan paman masih tetap bersama kami.
Hingga beberapa bulan kemudian, saya bertemu dengan seorang yang luar biasa dari Arab Saudi. Dia seorang Muslim. Kami saling jatuh cinta. Kami pun sama-sama berkeinginan bertemu dan menikah di Mesir. Ini seperti sebuah mimpi besar yang akan menjadi kenyataan. Saya membayangkan bakal mendapatkan suami yang baik, penuh cinta, melindungi, romantis, seperti pangeran yang kerap dimimpikan oleh kebanyakan gadis.
Tapi saya menyadari tak mudah mewujudkan itu. Saya tak memiliki cukup uang untuk menempuh perjalanan ke Mesir. Saya berpikir lelaki idaman seperti itu tak mungkin ada di mana pun kecuali dalam mimpi saja.
Namun Tuhan berkata lain. Tuhan memberikan jalan bagi saya untuk mewujudkan mimpi ke Mesir dan bertemu dengan lelaki yang saya cintai. Saya pun menikah di sana. Tuhan memberikan semua apa yang saya inginkan.
Setelah datang ke Mesir, saya tak mau tergesa-gesa menjadi mualaf. Saya merasa belum yakin 100 persen. Sehingga suamiku memperkenalkan seorang wanita yang memiliki pengetahuan, kesabaran, dan keimanan. Wanita bernama Raya itu membantu saya untuk mengatasi semua keraguan dan kesalahpahaman tentang Islam.
Akhirnya, saya mengucapkan syahadat pada hari Sabtu, 30 Agustus 2009. Saya mau menjadi Muslim hanya karena sudah betul-betul meyakini keberadaan Allah yang Maha Esa dan Muhammad sebagai Rasulnya. Meski sudah menjadi Mualaf, namun dalam kehidupan sehari-hari saya belum bisa meninggalkan kebiasaan lama. Saya hanya berjanji kepada suami akan mulai menjalani kehidupan yang Islami bila waktunya sudah tepat. Hingga akhirnya itu membuat marah suamiku.
Akibat diriku yang tak kunjung mempraktikkan kehidupan Islam, suami lantas menceraiku. Saya merasa dunia seperti hancur berkeping-keping. Dalam putus asa, saya tak tahu kepada siapa lagi meminta bantuan selain kepada Raya. Untungnya, Raya mau menolong dan mengangkatku sebagai anaknya.
Mendengarkan kabar itu, ibu justru menyalahkan diriku. Dia katakan manusia tak pernah belajar dari pengalaman sehingga hal buruk terjadi. Namun perlahan kenyataan ini coba saya terima dengan ikhlas. Masalah keluarga ini lantas saya serahkan kepada Allah, Tuhan yang Maha Pemaaf.
Saya mulai kembali proses kehidupan sebagai Muslim dari awal. Saya putuskan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Saya pun mulai mengubah cara hidup mulai dari berpakaian dengan mengenakan jilbab. Saya bertekad untuk mengubah seluruh hidup saya. Saya ingin membuktikan kepada Allah, kepada orang-orang yang saya cintai dan diri sendiri, bahwa saya sekarang telah benar-benar menjadi sosok yang baru.
Alhamdulillah, Allah kembali memberikan pertolongan. Usai tekad dilaksanakan Allah menggerakkan hati suami untuk kembali kepada diriku. Hanya dengan pertolongan Allah, kami bisa bersama kembali.
sumber : republika.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar