Selasa, 17 Mei 2011
Sejarah Hidup Muhammad SAW: Tahun Duka Cita
Beberapa bulan setelah pencabutan blokade, secara tiba-tiba sekali dalam satu tahun saja, Nabi SAW didera duka cita yang sangat mendalam, yakni kematian Abu Thalib dan Khadijah secara berturut-turut.
Waktu itu Abu Thalib sudah berusia delapan puluh tahun lebih. Setelah Quraisy mengetahui ia dalam keadaan sakit yang akan merupakan akhir hayatnya, mereka merasa khawatir dengan apa yang bakal terjadi nanti antara mereka dengan Muhammad dan para sahabatnya. Apalagi setelah ada Hamzah dan Umar yang terkenal garang dan keras.
Oleh sebab itu, pemuka-pemuka Quraisy segera mendatangi Abu Thalib. "Abu Thalib, seperti kau ketahui, kau adalah dari keluarga kami juga. Keadaan sekarang seperti kau ketahui sendiri, sangat mencemaskan kami. Engkau juga sudah mengetahui keadaan kami dengan keponakanmu itu. Panggillah dia. Kami akan saling
memberi dan saling menerima. Dia angkat tangan dari kami, kami pun akan demikian. Biarlah kami dengan agama kami dan dia dengan agamanya sendiri pula," kata mereka.
Rasulullah datang tatkala mereka masih berada di tempat pamannya itu. Setelah diketahuinya maksud kedatangan mereka, beliau berkata, “Sepatah kata saja yang aku minta, yang akan membuat mereka merajai semua orang Arab dan bukan Arab."
"Ya, demi bapakmu," jawab Abu Jahal. "Sepuluh kata sekalipun silakan!"
"Katakan, tidak ada tuhan selain Allah! Dan tinggalkan segala penyembahan yang selain Allah," kata Nabi SAW.
"Muhammad, maksudmu supaya tuhan-tuhan itu dijadikan satu Tuhan saja?" tanya mereka.
Kemudian mereka berkata satu sama lain, "Orang ini tidak akan memberikan apa-apa seperti yang kamu kehendaki. Pergilah kalian!"
Ketika Abu Thalib meninggal, hubungan Rasulullah dengan pihak Quraisy lebih buruk lagi dari yang sudah-sudah. Dan sesudah Abu Thalib, disusul pula dengan wafatnya Khadijah.
Dua peristiwa itu meninggalkan duka cita dalam jiwa Muhammad SAW. Dan pihak Quraisy semakin keras mengganggunya. Yang paling ringan diantaranya ialah ketika seorang pandir Quraisy mencegatnya di tengah jalan lalu menyiramkan tanah ke kepalanya.
Tahukah orang apa yang dilakukan Rasulullah? Beliau pulang ke rumah dengan tanah yang masih di atas kepala. Fatimah, puterinya, lalu datang mencucikan kotoran tersebut sambil menangis. Tak ada yang lebih pilu rasanya dalam hati seorang ayah daripada mendengar tangis anaknya, lebih-lebih anak perempuan.
"Jangan menangis anakku," kata beliau kepada puterinya yang sedang berlinang air mata itu. "Allah akan melindungi ayahmu!"
Setelah peristiwa itu gangguan Quraisy kepada Muhammad SAW semakin
menjadi-jadi. Beliau merasa sangat tertekan.
Terasing seorang diri, beliau pergi ke Thaif, tanpa diketahui orang lain. Beliau berharap mendapatkan dukungan dan suaka dari warga Thaif dan mereka pun akan dapat menerima Islam. Namun ternyata mereka juga menolaknya secara kejam. Mereka menghasut orang-orang pandir agar bersorak-sorai dan memakinya.
Keadaan itu diketahui pula oleh Quraisy sehingga gangguan mereka kepada Muhammad SAW makin menjadi-jadi. Namun hal itu tidak mengurangi semangat Rasulullah dalam menyampaikan dakwah Islam.
Kepada kabilah-kabilah Arab pada musim ziarah, beliau memperkenalkan diri, mengajak mereka mengenal arti kebenaran. Diberitahukannya kepada mereka, bahwa ia adalah Nabi yang diutus, dan dimintanya mereka memercayainya.
Namun sungguhpun begitu, Abu Lahab, sang paman, tidak membiarkannya. Bahkan dibuntutinya ke mana pun beliau pergi. Dihasutnya orang supaya jangan mau mendengarkan.
Muhammad SAW sendiri tidak cukup hanya memperkenalkan diri kepada kabilah-kabilah Arab pada musim ziarah di Makkah saja. Beliau mendatangi Bani Kindah, Bani Kalb, Bani Hanifah dan Bani Amir bin Sha'sha'ah. Tapi tak seorang pun dari mereka yang mau mendengarkan.
Bani Hanifah bahkan menolak dengan cara yang buruk sekali. Sedang Bani Amir menunjukkan ambisinya, bahwa kalau Muhammad mendapat kemenangan, maka sebagai penggantinya, segala persoalan nanti harus berada di tangan mereka. Namun setelah dijawab, bahwa masalah itu berada di tangan Allah, mereka pun membuang muka dan menolaknya seperti yang lain.
Makin besar penolakan yang dilakukan kabilah-kabilah itu, makin besar pula keinginan Rasulullah untuk menyendiri. Pihak Quraisy pun kian gigih dalam melakukan gangguan kepada para sahabatnya. Beliau pun kian merasakan kepedihan.
sumber : Republika.co.id
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar