Rabu, 27 Oktober 2010

Tuntutlah Ilmu Sampai ke Negeri China

-Tony Wang 王贤豹-

Tuntutlah Ilmu Sampai ke Negeri China
(copy paste dari Agung Heru Setiawan)

“Tuntutlah Ilmu sampai ke negeri China” begitu kata petuah Arab. Jauh sebelum ajaran Islam diturunkan Allah SWT, bangsa China memang telah mencapai peradaban yang amat tinggi. Kala itu, masyarakat Negeri Tirai Bambu sudah menguasai beragam khazanah kekayaan ilmu pengetahuan dan peradaban.
Tak bisa dipungkiri bahwa umat Islam juga banyak menyerap ilmu pengetahuan serta peradaban dari negeri ini. Beberapa contohnya antara lain, ilmu ketabiban, kertas, serta bubuk mesiu. Kehebatan dan tingginya peradaban masyarakat China ternyata sudah terdengar di negeri Arab sebelum tahun 500 M.

Sejak itu, para saudagar dan pelaut dari Arab membina hubungan dagang dengan `Middle Kingdom’ – julukan China.

Untuk bisa berkongsi dengan para saudagar China, para pelaut dan saudagar Arab dengan gagah berani mengarungi ganasnya samudera. Mereka `angkat layar’ dari Basra di Teluk Arab dan kota Siraf di Teluk Persia menuju lautan Samudera Hindia.

Sebelum sampai ke daratan China, para pelaut dan saudagar Arab melintasi Srilanka dan mengarahkan kapalnya ke Selat Malaka. Setelah itu, mereka berlego jangkar di pelabuhan Guangzhou atau orang Arab menyebutnya Khanfu. Guangzhou merupakan pusat perdagangan dan pelabuhan tertua di China. Sejak itu banyak orang Arab yang menetap di China.

Ketika Islam sudah berkembang dan Rasulullah SAW mendirikan pemerintahan di Madinah, di seberang lautan China tengah memasuki periode penyatuan dan pertahanan. Menurut catatan sejarah awal China, masyarakat Tiongkok pun sudah mengetahui adanya agama Islam di Timur Tengah. Mereka menyebut pemerintahan Rasulullah SAW sebagai Al-Madinah.


The Great Mosque of Xi’an, one of China’s oldest mosques

Orang China mengenal Islam dengan sebutan Yisilan Jiao yang berarti ‘agama yang murni’. Masyarakat Tiongkok menyebut Makkah sebagai tempat kelahiran ‘Buddha Ma-hia-wu’ (Nabi Muhammad SAW). Terdapat beberapa versi hikayat tentang awal mula Islam bersemi di dataran China. Versi pertama menyebutkan, ajaran Islam pertama kali tiba di China dibawa para sahabat Rasul yang hijrah ke al-Habasha Abyssinia (Ethopia). Sahabat Nabi hijrah ke Ethopia untuk menghindari kemarahan dan amuk massa kaum Quraish jahiliyah. Mereka antara lain; Ruqayyah, anak perempuan Nabi; Usman bin Affan, suami Ruqayyah; Sa’ad bin Abi Waqqas, paman Rasulullah SAW; dan sejumlah sahabat lainnya. Para sahabat yang hijrah ke Etopia itu mendapat perlindungan dari Raja Atsmaha Negus di kota Axum. Banyak sahabat yang memilih menetap dan tak kembali ke tanah Arab. Konon, mereka inilah yang kemudian berlayar dan tiba di daratan China pada saat Dinasti Sui berkuasa (581 M – 618 M). Sumber lainnya menyebutkan, ajaran Islam pertama kali tiba di China ketika Sa’ad Abi Waqqas dan tiga sahabatnya berlayar ke China dari Ethopia pada tahun 616 M. Setelah sampai di China, Sa’ad kembali ke Arab dan 21 tahun kemudian kembali lagi ke Guangzhou membawa kitab suci Alquran. Ada pula yang menyebutkan, ajaran Islam pertama kali tiba di China pada 615 M – kurang lebih 20 tahun setelah Rasulullah SAW tutup usia. Adalah Khalifah Utsman bin Affan yang menugaskan Sa’ad bin Abi Waqqas untuk membawa ajaran Illahi ke daratan China. Konon, Sa’ad meninggal dunia di China pada tahun 635 M. Kuburannya dikenal sebagai Geys’ Mazars.

Utusan khalifah itu diterima secara terbuka oleh Kaisar Yung Wei dari Dinasti Tang. Kaisar pun lalu memerintahkan pembangunan Masjid Huaisheng atau masjid Memorial di Canton – masjid pertama yang berdiri di daratan China. Ketika Dinasti Tang berkuasa, China tengah mencapai masa keemasan dan menjadi kosmopolitan budaya. Sehingga, dengan mudah ajaran Islam tersebar dan dikenal masyarakat Tiongkok.


Id Khar Mosque

Pada awalnya, pemeluk agama Islam terbanyak di China adalah para saudagar dari Arab dan Persia. Orang China yang pertama kali memeluk Islam adalah suku Hui Chi. Sejak saat itu, pemeluk Islam di China kian bertambah banyak. Ketika Dinasti Song bertahta, umat Muslim telah menguasai industri ekspor dan impor. Bahkan, pada periode itu jabatan direktur jenderal pelayaran secara konsisten dijabat orang Muslim. Pada tahun 1070 M, Kaisar Shenzong dari Dinasti Song mengundang 5.300 pria Muslim dari Bukhara untuk tinggal di China. Tujuannya untuk membangun zona penyangga antara China dengan Kekaisaran Liao di wilayah Timur Laut. Orang Bukhara itu lalu menetap di di antara Kaifeng dan Yenching (Beijing). Mereka dipimpin Pangeran Amir Sayyid alias ‘So-Fei Er’. Dia bergelar `bapak’ komunitas Muslim di China. Ketika Dinasti Mongol Yuan (1274 M -1368 M) berkuasa, jumlah pemeluk Islam di China semakin besar. Mongol, sebagai minoritas di China, memberi kesempatan kepada imigran Muslim untuk naik status menjadi China Han. Sehingga pengaruh umat Islam di China semakin kuat. Ratusan ribu imigran Muslim di wilayah Barat dan Asia Tengah direkrut Dinasti Mongol untuk membantu perluasan wilayah dan pengaruh kekaisaran. Bangsa Mongol menggunakan jasa orang Persia, Arab dan Uyghur untuk mengurus pajak dan keuangan. Pada waktu itu, banyak Muslim yang memimpin korporasi di awal periode Dinasti Yuan. Para sarjana Muslim mengkaji astronomi dan menyusun kalender. Selain itu, para arsitek Muslim juga membantu mendesain ibu kota Dinasti Yuan, Khanbaliq.

Pada masa kekuasaan Dinasti Ming, Muslim masih memiliki pengaruh yang kuat di lingkaran pemerintahan. Pendiri Dinasti Ming, Zhu Yuanzhang adalah jenderal Muslim terkemuka, termasuk Lan Yu Who. Pada 1388, Lan memimpin pasukan Dinasti Ming dan menundukkan Mongolia. Tak lama setelah itu muncul Laksamana Cheng Ho – seorang pelaut Muslim andal.

Saat Dinasti Ming berkuasa, imigran dari negara-negara Muslim mulai dilarang dan dibatasi. China pun berubah menjadi negara yang mengisolasi diri. Muslim di China pun mulai menggunakan dialek bahasa China. Arsitektur Masjid pun mulai mengikuti tradisi China. Pada era ini Nanjing menjadi pusat studi Islam yang penting. Setelah itu hubungan penguasa China dengan Islam mulai memburuk.

Hubungan antara Muslim dengan penguasa China mulai memburuk sejak Dinasti Qing (1644-1911) berkuasa. Tak cuma dengan penguasa, relasi Muslim dengan masyarakat China lainnya menjadi makin sulit. Dinasti Qing melarang berbagai kegiatan Keislaman.

Masa Surut Islam di Daratan China

The Niujie Mosque in Beijing

Menyembelih hewan qurban pada setiap Idul Adha dilarang. Umat Islam tak boleh lagi membangun masjid. Bahkan, penguasa dari Dinasti Qing juga tak membolehkan umat Islam menunaikan rukun Islam kelima – menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah.

Taktik adu domba pun diterapkan penguasa untuk memecah belah umat Islam yang terdiri dari bangsa Han, Tibet dan Mogol. Akibatnya ketiga suku penganut Islam itu saling bermusuhan. Tindakan represif Dinasti Qing itu memicu pemberontakan Panthay yang terjadi di provinsi Yunan dari 1855 M hingga 1873 M.

Setelah jatuhnya Dinasti Qing, Sun Yat Sen akhirnya mendirikan Republik China. Rakyat Han, Hui (Muslim), Meng (Mongol) dan Tsang (Tibet) berada di bawah Republik China. Pada 1911, Provinsi Qinhai, Gansu dan Ningxia berada dalam kekuasaan Muslim yakni keluarga Ma.

Kondisi umat Islam di China makin memburuk ketika terjadi Revolusi Budaya. Pemerintah mulai mengendorkan kebijakannya kepada Muslim pada 1978. Kini Islam kembali menggeliat di China. Hal itu ditandai dengan banyaknya masjid serta aktivitas Muslim antar etnis di China.

Tokoh Muslim Terkemuka dari Tiongkok Dominasi peran Muslim dalam lingkaran kekuasaan dinasti-dinasti China pada abad pertengahan telah melahirkan sejumlah tokoh Muslim terkemuka. Mereka adalah:

Pelaut dan Penjelajah * Cheng Ho atau Zheng He: Laksamana Laut China yang menjelajahi dua benua dalam tujuh kali ekspedisi. * Fei Xin: Penerjemah andalan Cheng Ho. * Ma Huan: Seorang pengikut Ceng Ho.

Militer * Jenderal pendiri Dinasti Ming: Chang Yuchun, Hu Dahai, Lan Yu, Mu Ying. * Pemimpin pemberontakan Panthay: Du Wenxiu, Ma Hualong. * Kelompok tentara Ma selama era Republik China: Ma Bufang, Ma Chung-ying, Ma Fuxiang, Ma Hongkui, Ma Hongbin, Ma Lin, Ma Qi, Ma Hun-shan Bai Chongxi.

Sarjana dan Penulis * Bai Shouyi, sejarawan. * Tohti Tunyaz, sejarawan. * Yusuf Ma Dexin, penerjemah Alquran pertama ke dalam bahasa China. * Muhammad Ma Jian, penulis dan peberjemah Alquran terkemuka. * Liu Zhi, penulis di era Dinasti Qing. * Wang Daiyu, ahli astronomi pada era Dinasti Ming. * Zhang Chengzhi, penulis kontemporer.

Politik * Hui Liangyu, Wakil Perdana Menteri Urusan Pertanian RRC * Huseyincan Celil, Imam Uyghur yang dipenjara di China * Xabib Yunic, Menteri Pendidikan Second East Turkistan Republic * Muhammad Amin Bughra, Wakil Ketua Second East Turkistan Republic

Lainnya * Noor Deen Mi Guangjiang, ahli kaligrafi. * Ma Xianda, ahli beladiri. * Ma Menta, pengurus Federasi Wushu Tongbei Rusia.

(heri ruslan/RioL )

—————————

“Uthlubul ‘ilma walaw bishshiin”, tuntutlah ilmu sampai ke negeri China. Hadits ini diriwayatkan dari jalan Abu ‘Atikah Al Bashri, dari Anas bin Malik. Terlepas dari shahih tidaknya hadits tsb, kenyataan banyak ulama men-sitirnya dalam khutbah-khutbah, alasannya secara maknawi kalimat Tuntunlah Ilmu Sampai ke Negeri China adalah baik. Kata “China” bisa jadi hanya sekedar kiasan untuk mengingatkan umat akan pentingnya mencari ilmu/pengetahuan yg mana perlu diupayakan secara luas, bila perlu hingga ke negeri-negeri seberang.

Ada juga ulama yang menilai hadits di atas adalah palsu, alasannya karena pada jaman rasulullah SAW, bangsa Arab belum mengenal negeri China. Alasan ini mungkin kurang tepat, karena China adalah sebuah negeri tua yg sudah lama masyhur. Berikut ini sedikit kutipan sejarah awal mulanya bangsa Arab dan Islam masuk daratan China,

“Pada masa kepemimpinan Nabi Muhammad saw di jazirah Arab (antara 610-632 M), China dipandang sebagai wilayah dengan peradaban yang amat maju pada saat itu. Ekspedisi Islam yang “resmi” ke China dimulai pada masa pemerintahan khalifah Utsman ibn Affan, pemimpin ummat yang ketiga, sekitar 12 tahun setelah Nabi wafat (+/- 640 M). Setelah menaklukkan Bizantium dan Persia, pada tahun 650 M, khalifah Utsman mengirim ekspedisi ke China, dipimpin oleh Saad ibn Abi Waqqash, untuk menyampaikan ajakan kepada kaisar China agar memeluk agama Islam. Sebenarnya sebelum itu sudah cukup banyak pedagang-pedagang Arab yg mengunjungi China dalam rangka perjalanan bisnis, baik melalui darat maupun laut (jalur tersebut, terutama yang melalui darat kemudian dikenal dengan nama “jalur sutera”), sambil memperkenalkan ajaran Islam. Dinasti Tang mempunyai record untuk mengabadikan momen bersejarah tentang terjadinya kontak antara dua kultur ini. Bagi Muslim di China, kejadian ini dipandang sebagai momen kelahiran Islam di China. Untuk memperlihatkan kekagumannya pada Islam, dalam “History of Islam in China”, kaisar Yung Wei memerintahkan dibangunnya masjid pertama di China. Masjid kota Kanton yg didirikan sejak 14 abad yang lalu dan masih berdiri hingga saat ini. Salah satu kawasan pemukiman Muslim yang pertama kali berdiri di China ada di kota pelabuhan ini”. (http://www.facebook.com/l/a2a4f1POo3O2dnYkR9ZEy8rZXnw;www.budaya-tionghoa.org/modules.php?name=News&file=article&sid=175)

Maka kalau memang hadits itu palsu, maudhu’, dha’if, dll. Alasannya bukan karena negeri Chinanya, hadits itu palsu adalah karena perawinya yg tidak tsiqah, sebagaimana penjelasan para ulama berikut ini : Menurut Al Imam Ibnul Jauzi dalam kitabnya Al Maudhu’aat (1/216), “Hadits ini tidak sah dari rasulullah SAW, (karena) Abu ‘Atikah (perawinya) dinilai Bukhari sebagai munkarul hadits. Menurut Al Baihaqiy dalam kitabnya Al Madkhal (hal.242) juga dlm kitabnya Syu’abul Iman (4/291), “Hadits ini matannya masyhur, sedangkan isnadnya dha’if. Dan telah diriwayatkan dari beberapa jalan (sanad) yg semuanya dha’if.” Menurut Ibnu Hibban dalam kitabnya Al Majruhin (1/382), Abu ‘Atikah (perawinya) dinilai munkarul hadits. (sumber : “Hadits-hadits Dha’if dan Maudhu”, jilid I, Abdul Hakim Bin Amir Abdat, penerbit Darul Qolam Jakarta)

Menurut ahli hadits Syaikh Al Albani, “Riwayat ini bathil. Ini diriwayatkan oleh Ibnu Adi II/2207, Abu Naim dalam Akhbar Ashbahan II/106, Al Khatib dalam At-Tarikh IX/364 dan sebagainya, yang kesemuanya dengan sanad dari Al-Hasan bin Athiyah, dari Abu Atikah Tharif bin Salman, dari Anas bin Malik ra. Kelemahan hadits ini terletak pada Abu Atikah yang telah disepakati para muhadditsin sebagai perawi sanad yang sangat dha’if. Bahkan oleh Imam Bukhari dinyatakan munkar riwayatnya. Begitu pula jawaban Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya tentang Abu Atikah ini. (sumber : Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu’, jilid I, Muhammad Nasharuddin Al-Albani, GIP Jakarta 1995)

Perkara hadits di atas palsu atau bukan, wallahu ‘alam. Untuk menguatkan arti pentingnya dalam menuntut ilmu, sebaiknya digunakan saja dalil yang keshahihannya sudah disepakati semua ulama, salah satunya adalah : “Menuntut ilmu hukumnya adalah wajib bagi setiap muslim”. (HR.Muslim). Wallahu ‘alam bishshowwab.

[dari : Mukaddimah Labbaik edisi no.29, Rabi’ul Awal 1428H / Maret 2007]

SELESAI

Sumber : PITI


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Halaman Ke